PEMIKIRAN K.H. ABDUL WAHID HASYIM
Kiai
Wahid Hasyim adalah putra ulama besar negeri ini, yakni kiai hasim Asy’ari.
Ialah adalah ayah mantan Presiden Republik Indonesia yang ke-empat, alm. Gus
Dur. Diusianya yang sangat belia, kiai wahid Hasyim telah menjadi Mentri
Departemen Agama.
Pembaharuan-pembaharuan
yang dilakukannya di pesantren Tebuireng kala itu telah menjadikan Pesantren Tebuireng
mengalami kemajuan yang pesat. Sayang seribu sayang, ia meninggal di usia yang
masih sangat muda dalam kecelakaan mobil di Cimindi, daerah Cimahi dan Bandung. Meski meninggal di
usia 39 tahun, tapi ia telah menorehkan prestasi besar dalam hidupnya dan
jasanya bagi republik ini sungguh tak ternilai harganya.
Kiai
Wahid Hasyim terlahir dengan nama lengkap Abdul Wahid Hasyim lahir di Jombang
pada hari jum’at legi tanggal 5 Rabiul Awal 1333 H, berepatan dengan tanggal 1
Juni 1914 M. Ayahanda bernama KH. Hasyim Asy’ari, seorang pendiri Nahdatul
Ulama (NU). Ibunya bernama Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas, seorang kiai pengasuh
pondok pesantren sewulan madiun.
Kesehatan
Ny. Nafiqoh kurang baik selama mengandung Abdul Wahid. Ia sering mengalami
sakit-sakitan. Untuk itu, ia bernadzar, “jika nanti bayi yang aku kandung lahir
dengan selamat, ia akan kubawa menghadap kepada guru ayahnya (KH. Khalil) di
Bangkalan Madura.
Akhirnya,
Ny Nafiqoh melahirkan bayinya dengan
selamat. Semula sang bayi diberi nama Muhammad Asy’ari. Tetapi nama itu
diurungkan karena dianggap tidak sesuai. Sebagai anak lelaki pertama anak Abdul
Wahid dirasakan paling cocok.[1]
Dari
pernikanya dengan solehah ia dikaruniai enam anak, yakni:
1. Abdurrohman
Ad-Dakhil (Gus Dur)
2. Aisyah
3. Salahuddin
Al-Ayyubi
4. Umar
Wahid
5. Lily
Wahid
6. Hasyim
Wahid
Pembelajar
Yang Ulet
Lazimnya
anak seorang kiai, kiai Wahid Hasyim belajar kepada ayahnya sendiri di
lingkungan pesantren Tebuireng. Ia tergolong anak yang sangat cerdas. Sejak
usia 5 tahun ia sudah bisa membaca al-Quran yang langsung mendapat bimbingan
dari ayahnya. Dua tahun setelah bisa membaca al-Quran ia berhasil
menghatamkannya disuiannya yang baru tujuh tahun. Selain mendapatkan bimbingan
dari ayahnya sendiri, ia juga belajar di Madrasah salafiyah di Tebuireng di
pagi hari.[2]
KH.
Hasyim Asya’ari, menciptakan suasana kehidupan keluarga yang mendukung proses
pembelajaran. Sejak dini putra-putrinya diperkenalkan pengetahuan agama Islam
dan dibebaskan untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum. Dalam suasana seperti
itulah Abdul Wahid Hasyim kecil tumbuh dan berkembang.[3]
Di
umur tujuh tahun, selain sudah khatam al-Quran , kiai Wahid Hasyim juga sudah
mulai belajar kitab. Hal tersebut karena kecepatannya dalam menyerap setiap
ilmu yang diajarkan. Diantara kitab yang diajarkan adalah:
1. Kitab
Fathul Qarib
2. Minhajul
Qawim
3. Kitab
mutmimah
Untuk menjaga
konsentrasinya, ia beajar di kamar khusus untuk belajar kitab-kitab itu.
Ruangan tersebut memang disediakan oleh kiai Hasyim untuk putra-putranya
belajar kitab.
Kiai Wahid
Hasyim memang tergolong anak yang sangat cerdas. Diusianya yang terbilang
sangat muda, yakni 12 tahun, ia sudah membantu mengajar ayahnya di pesantren
Teuireng. Murid pertamnya adalah adiknya sendiri yaitu Abdul Karim Hasyim.
Sambil mengajar adiknya di malam hari, biasanya ia juga belajar dan membaca
buku-buku dalam bahas arab. Ketika usia 12 tahun ia pergi nyanti ke berbagai
pesantren di pulau jawa. Diantara pesantren yang pernah ia singgahi adalah
pesantren Siwalan, Panji Sidoarjo. Selain pesantren Siwalan ia juga nyantri di
pesantren Lirboyo, kediri. Tetapi ia hanya berada tiga hari saja di pesantren lainnya. Hal tersebut lazim
dilakukan oleh santri pada waktu itu.
Mereka yang berindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya disebut
santri kelana.
Masa berkelana
dari pesantren ke pesantren di luar pesantren Tebuireng, hanya dilakoni Kiai
Wahid sekitar 3 tahun saja. Setelah itu ia kembali ke Tebuireng dan mendapatkan
bimbingan dari ayahnya lagi. Semakin bertambah umurnya semakin cerdas otaknya.
Diusianya yang 15 tahun. Ia mempelajari bahasa-bahasa dunia. Tidak hanya bahasa
arab, ia juga mempelajari bahasa belanda, jerman, dan inggris. Ia juga sudah
mulai mengenal huruf latin.
Tiga tahun
setelahnya, tahun 1932 diusianya yang ke-18 ia pergi ketanah suci bersama sepupunya, Muhammad
Ilyas. Tidak hanya sekedar menunaikan ibadah haji mereka bedua juga mendalami
ilmu tafsir hadits, nahwu, shorof dan fiqih. Setelah berada dua tahun di tanah
suci mereka berdua pulang kiai Wahid Hasyim langsung membant ayahnya mengajardi
pesanten.[4]
Sepulang dari
makkah, kiai Wahid hasyim kemudian menikah dengan gadis cantik bernama solehah
putri kiai Bisri Sayansuri, pendiri pesantren Denayar Jombang. Ia menikah di
Denayar, Jombang pada jum’at 10 syawal 1356 H atau 1938 M. Setelah menikah ia
dan istrinya hanya tinggal di Denayar selama sepuluh hari. Ia kemudian mengajak
pindah istrinya ke Tebuireng dan menetap disana hingga tahun 1942.
Di usia 20-an
Wahid sudah menghabiskan waktunya untuk aktivitas Nahdlatul Ulama (NU) yang
didirikan oleh antara lain, ayahandanya Kiai haji Hasyim Asy’ari. Meski anak
sang pendiri, tapi karer di ormas terbesar ini ia rintis dari bawah dari
ranting Tebuireng sampai menjadi Ketua Pendidikan Ma’arif NU. Ketika NU
memisahkan diri dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik, tahun 1950,
Wahid terpilih sebagai ketua Biro politik NU.[5]
Makanan Favorit Wahid Hasyim:
Nasi putih dan Kulup
Kiai
Wahid Hasyim adalah anak kiai kondang dari Jombang. Meski demikian, tidak
membuatnya smbong dan memint sesuatu secara berlebihan. Ia menjalani
kehidupanya dengan sederhana. Sejak kecil ia tidak suka makan yang aneh-aneh.
Padahal jiakalau ia meminta makanan ini itu kepada ayahnya pasti dikabulkan.
Tetapi ia tidak melakukan hal itu. Kegemaranya adalah makan nasi putih dan
kulup( sayur mayur yang direbus).
Ia
tidak suka memakan ikan, daging, tahu dan tempe. Meski makananya terkesan tidak
bergizi, ia tidak pernah sakit karena
diimbangi dengan olah raga yang rutin.
Sebagaimana
seorang anak kecil yang kerap melakukan kesalahan kiai Wahid Hasyim pun tak
luput membuat kesalahan. Jika membuat kesalahanpun ia akan me mendapat marah
dari ayahnya. Tetapi jika yang memarahi ibunya ia akan menangis, karena kalau
sudah melihatnya menangis ibudanya Nafiqoh menenangkanya dengan beujar “ kamu
jangan suka menangis karena kalau sudah bear nanti akan jadi mentri”.
Demikianlah ujar sang ibu yang dikemudian hari menjadi kenyataan, karena ia
menjadi Mentri Departemen Agama.
Membaca atau Menulis Setiap Malam
Kiai
Wahid Hasyim di masa mudanya memiliki semangat belajar yang sangat tinggi.
Didukung kecerdasan yang dimilikinya, ia kemudian menjadi pemuda yang cerdas.
Tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Bahkan ia menguasai
beberapa bahasa dunia seperti bahasa Jerman, Belanda, Inggris diusia yang masih
sangat muda. Usut punya usut, hal tersebut tidak didapatkanya secara instan. Ia
tidak langsung biasa berbahasa Inggris, Belanda ataupun Jerman. Iamendapatkanya
dari ketekunan belajar setiap malam hingga larut.
Alkisah
di pesantren Tebuireng setiap malamnya selalu terdengar suara mesin ketik.
Suara tersebut berasal dri salah satu kamar di ujung pesantren Tebuireng. Saat
itu tahun menunjukan angka 1934 dan ditahun itu mesin ketik masih merupakan
barang mewah. Setiap malam para santri yang masih terjaga pasti merasa
terganggu dengan adanya suara ketik tersebut. Meski demikian, tak ada santri
yang berani memprotes karena yang mengetik adalah putra kiainya, kiai Wahid
Hasyim.
Malahan
banyak santri yang kemudian mengendap-ngendap di jendela mengintip kiai Wahid
Hasyim sedang mengetik. Meski tahu dirinya sedang diintip ia sama sekali tidak
terganggu. Ia malah membiarkan para santrinya tersebut melihatnya mengetik.
Saat itu usianya masih sangat muda. Sepulangnya dri Makkah ia langsung
diperintahkan sang ayah untuk membantu mengajar di pesantren tebuireng. Meski demikian
ia tidak pernah berhenti belajar setiap
malam.
Menurut
penuturan Muchit Muzadi, salah seorang alumni Tebuireng di masa Kiai Wahid
Hasyim sudah mengajar bahwa hampir setiap malam kiai Wahid Hasyim mengetik.
Kalau tidak mengetik ia pasti membaca. Dengan ketekunan seperti itu maka tidak
mengherankan jika kemudian kiai Wahid Hasyim menjadi intelektual muslim muda
berbakat saat itu.[6]
“siapapun
itu yang dengan tekun membaca, maka ia pasti akan menjadi seorang yang cerdas”.
Ayah yang Disiplin tapi Demokratis
Kiai
Wahid Hasyim adalah seorang ayah yang sangat disiplin kepada anak-anaknya.
Tetapi ia juga seorang ayah yang demokratis. Ia menanamkan kedisiplinan sejak
dini di keluarganya. Hukuman pun tidak segan dijatuhkan kepada siapapun yang
melanggar aturan.
Salah satu contoh dari kedisiplinan tersebut
adalah setiap hari anak-anak wajib membaca al-Qur’an dengan guru khusus yang
dipanggil ke rumah. Pernah suatu ketika
keempat anaknya, kabur dari tidur siang dari rumahnya di jakarta.
Sewaktu memeriksa kamar anak-anaknya, ia hanya menemukan anaknya yang kecil
Lily yang tersisa. Ketika sore hari keempat anaknya yaitu: Gus Dur, Aisyah,
Salahudin, dan Umar pulang, mereka hanya mendapati kedua wajah ayah bundanya
masam kepada mereka.
Meski
bersifat kaku karena menerapkan disiplin yang ketat, Kiai Wahid Hasyim adalah
sosok demokratis. Soal pendidikan, ia tidak mewajibkan anak-anaknya masuk
kepesantren. Ia memberikan kebebasan kepada anak-anaknya menentukan
pendidikannya.
Dari
keenam anaknya hanya Gus Dur yang mengenyam pendidikan pesantren, itupun karena
keinginanya sendiri. Salahundin dan adik-adik Gus Dur selepas SD melanjutkan ke
sekolah umum.
Tidak
hanya pendidikan saja, Kiai Wahid Hasyim juga memberikan kebebasan kepada
anak-anaknya dalam menyampaikan pendapat, termasuk soal politik sekalipun. Ia
membebaskan anak-anaknya ikutan nimbrung perbincangan di meja makan dengan para
tamunya yang kebnayakan adalah tokoh politik. Bukan hanya itu saja selain
memberi kebebasan anak-anaknya berbicara tentang politik ia juga sering
mengajak anak-anaknya berkunjung ke tokoh-tokoh politik nasional. Misal ke
rumah Soebardjo, tokoh partai isalm atau berkunjung ke rumah Masyumi seperti
Mohammad Natsir dan Prawoto mangkusasmito. Tidak hanya tokoh sealiran saja yang
ia kunjungi bersama anak-anaknya ia juga berkunjung ke rumah tokoh yang berbeda
paham dengannya misal Mohammad Yamin dan Mr. Sartono dari partai Nasional
Indonesia.
Demikianlah
Kiai Wahid Hasyim mengajarkan kebebasan dan perbedaan kepada anak-anaknya.
Sehingga di kemudian hari, para putr-putrinya tidak elergi terhadap perbedaan
pendapat atau pun perbedaan paham. Hal tersebut merupakan langkah cerdas yang
dilakukannya dalam mendidik anak-anaknya menjadi seorang demokratis yang
moderat. Tidak kaku dan menolak perbedaan pendapat. Malahan salah satu anaknya
yakni Gus Dur terkenal sebagai tokoh pluralisme Indonesia. [7]
Pembaharuan di Pesantren Tebuireng
Kiai
Wahid Hasyim adalah seorang yang terkadang menyukai hal-hal kontroversial.
Mungkin inilah yang kemudian menurunkan kepada anaknya, Gus Dur yang sepanjang
hidupnya penuh dengan hal-hal kontroversial. Pernah suatu ketika Kiai Wahid
Hasyim berpenampilan beda dari biasanya. Di masa kecilnya seperti warga
pesantren pada umumnya. Ia suka memakai sarng dan blangkon sebagai penutup
kepala. Tetapi ketika memasuki masa remaja, ia melakukan sesuatu yang
menggegerkan warga pesantren Tebuireng. Ia muncul dengan hanya memakai celana
panjang. Tentu hal tersebut membuatnya ditegur oleh ayahnya. Kiai hasyim.
Tetapi ia tetap bersikukuh. Ia mengatakan bahwa memakai celana panjang tidak
melawan agama. Berkat keteguhanya memegang prinsip, akhirnya sang ayah
mengalah.
Kisah
tersebut mungkin awal dari langkah Kiai Wahid Hasyim melakukan pembaharuan di
pesantren Tebuireng. Sepulangnya dari Makkah, ia membantu ayahnya untuk
mengajar di Tebuireng. Saat itulah ia menggunakan dengan sebaik-baiknya segala
ide cemerlang yang dimiliki. Ia mengusulkan kepada ayahnya untuk melakukan
perombakan kurikulum dari klasik ke tutorial. Ia juga menganjurkan para santri
untuk belajar huruf latin. Ide tersebut awalnya ditolak sang ayah, tapi
kemudian perlahan-lahan mengizinkannya juga.
Restu
melakukan perombakan kurikulum ditandai dengan berdirinya madrasah nizamiyah.
Madrasah ini lokasi belajar. Belajarnya bertempat
i serambi Masjid Tebuireng dengan murid pertama berjumlah 29 orang. Pelajaran
di madrasah ini menggunakan tiga bahasa, yakni Arab, Belanja, Inggris. Di
masanya, madrasah ini dianggap yang paling modern. Sebab karena selain belajar
ulmu agama, para santri-santrinya juga diajari berorganisasi dan berpidato.
Usaha
yang dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim tersebut awalnya mendapatkan penolakan
dari orang tua para murid. Mereka mengancam dan
menarik anak-anaknya dari pesantren Tebuireng. Tetapi setelah ia bisa
menjelaskan dengan baik maksud dari madrasah dari madrasah tersebut kepada
orang tua murid, permasalahan pun selesai. Orang tua para murid bisa menerima
dan malah berbalik mendukungnya.
Seperti
itulah pembaharuan yang dilakukan oleh Kiai Wahid Hasyim di Pesantren
Tebuireng. Berkat usaha tersebut hubungan Pesantren Teuireng dengna dunia
internasional waktu itu semakin erat karena ada dirinya yang bisa menerjemahkan
surat-surat yang masuk ke Tebuireng. Itulah Kiai Wahid Hasyim intelektual
muslim yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.[8]
Benarkah KH. Wahid Hasyim Hanya
Seorang Traditional?
Salah
satu kelemahan penalaran keislaman khususnya di Indonesia, adalah karena ushul
Fiqig hampir tidak hampir tidak pernah “dibawa-bawa” untuk memahami gejala
keislaman, sehingga pemikiran keislaman cenderung saling “menjauh”. Misalnya
pemahaman sejarah terputus dari analisa usul fiqih. Kajian politik juga
terputus dari ushul fiqih. Tidak saling “mendekati”.
Disini
terjadi disintegrasi dan diskoneksi justru pada saat pemikir-pemikir Islam
Indonesia menyerukan pertaubatan kurikulum, yaitu penyatuan kembali metafisika
dan fisika sebagai fondasi utama peradaban. Mentransfer IAIN menjadi UIN..
keinginan “integrasi dan interkoneksi” justru bisa berbalik menjadi
keterasingan dari warisan klasik.
Kaum
“tradisional” cenderung memperkuat sistem pendidikan pesantren sama sekali
mengabaikan kemungkinan mendirikan sekolah modern dan memasukan ilmu-ilmu umum
(sekuler) ke dalam kurikulum. Penekanan pada pendidikan agama ini menyebabkan
kaum ‘tradisional” menjadi tokoh agama.
Jadi
tidaklah mengherankan jika lulusan pesantren lebih mahir membaca kitab gundul
dibandingkan lulusan non pesantren. Lulusan pesnatren pada umumnya adalah ahli
agama. Peradaban mereka bersifat relegius. Kelangkaan pakar non relegious di
lingkungan “tradisional” mengakibatkan hampir semua Universitas Nahdlatul Ulama
gulung tikar pada tahun 1970-an.
Disisi
lain kaum “modernis” mengeritik pesantren bukan kelemahan-kelemahannya, sambil
memperkuat pendirian sekolah-sekolah modern. Penekanan yang berlebihan pada
sekolah-sekolah modern ini menjadikan kaum “modernis” sebagai pengembang
peradaban ‘sekuler” tetapi kekurangan pakar keagamaan.[9]
Penolakan
sanksi ahli yang dilakukan kedua belah pihak menghalangi akselarasi pengalaman.
Setelah kehilangan lebih dari setengah bad, kaum ‘tradisionalis” berusaha
mencapai kekuatan kaum “modernis”. Disisi lain kaum “modernis” berusaha
mendirikan pesantren. Jadi kaum “modernis” menjadi kaum “tradisional” sementara
kaum “tradisionalis” menjadi kaum “modernis”mendirikan lembaga perguruang
tinggi Islam, “konstitusionalis” dalam rangka menjadi hukum Islam sebagai
pemberi jiwa Undang-undang Dasar Indonesia bahkan “fundamental” ketika
menentang penjajahan Belanda sebagai ia dinobatkan sebagai pahlawan
kemerdekaan.
Sebagai seorang “fundamentalis”, ia terbebas
dari moral defeatism (istilah dipakai Hasan al-Banna da Sayyid Qutb untuk
mengutuk kaum “modernis” karen a kerja sama dengan penjajah jepang. Sikapnya
ini dapat dilacak dalam perubahan-perbahan radikal dlam bidang pemikiran dan
kelembagaan yang dihadapi umat Islam Indonesia di abad ke-20.
Sebagai
bagian dunia Islam, Indonesia tidaklah terlepas dari pengaruh gelombang harfiah
“kembali kepada Quran dan Sunnah. Pada abad ke-19, gelombang ini memurnikan
peradaban Islam dan memerdekaan umat
Islam “ Indonesia” dari penjajahan asing, seperti terlihat dalam gerakan Paderi
(1821-1837) dan Perang Jawa( 1825-1830). Semangat pembahasan gerakan “ kembali
kepada Al-Quran dan Sunnah’ menarik banyak kaum muda seperti Abdul Kalam Azad
“muda” di India dan Sukarno “muda”.
Namun
demikian ulama “tradisional” memandang
gerakan ini lebih sebagai Wahabisasi Islam. Gerakan yang mempermiskin pemikiran
Islam, bahkan memaksa penafsiran literalis dan tidak toleran. Gerakan ini
cenderung absolutis dan ekslusifis karena membidahkan setiap penafsiran yang
tdak sejajar denganya.
Keberhasilan
Wahid hasyim pada prinsipnya merupakan cerminan sikapnya yang anti-esensialisme
seperti yang diajarkan usul fiqih. Ushul fiqih menentang “esensialisme”
meruduksi multiorientasi multidimensional manusia pada slah satu aspek kemanusiaan
saja. Ushul fiqih sangat fleksibel, tetapi esensialisme hitam-putih, sebagai
seorang Kiai yang notabenya merupakan lambang suprimasi ketradisionalan, ia
berani membuka diri memasukan mata ilmu-ilmu umum, yang sampai saat ini
sekalipun masih belum boleh diajarkan di sejumlah pesantren.[10]
Tragedi Di Cimindi
Tanggal
19 April 1953 adalah hari berkabung. Sehari sebelumnya santu tanggal 18 April
1953 Abdul Wahid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU.
Dengan berkendaraan mobil Chevrolet, Abdul Wahid bersama seorang sopir dan
beberapa wartawan dari Pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema
Muslimin dan putra sulungnya, Abdurrahman. Abdul Wahid Hasyim dengan Argo
Sutjipto duduk di jok belakang.
Ketika
mendekati daerah Cimindi sebuah daerah antara Cimahi –bandung waktu itu diguyur
hujan sehingga jalan menjadi licin, sedangkankeadaan lalu lintas cukup padat. Sekitar
pukul satu siang ketika memasuki daerah itu, mobil yang ditumpangi Abdul Wahid
mengalami selip dan sopir kesulitan untuk menguasai laju kendaraan.
Di
belakang Chevrolet itu, ada iring-iringan kendaraan. Sedangkan dari arah depan
ada truk melaju kencang yang berhenti secara mendadak untuk menghindari
tabrakan.
Karena
mobil Chevrolet itu oleng dan melaju cukup kencang bagian belakangnya menbentur
truk dengan keras. Akibat benturan itu Abdul Wahid dan Argo Sutjipto terlempar
ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah dan tak sadarkan
diri. Abdul Wahid terluka di bagian
wajah dan lehernya. Sedangkan sang sopir dan abdurrahman tidak mengalami cedera
sedikit pun.
Karena
kejadian kecelakaan jauh dari kota, usaha pertolongan dari rumah sakit datang
terlambat. Baru pulul 4 sore mobil ambulans datang untuk membawa korban ke
Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Pada hari Ahad tanggal 19 April 1953, tepatnya
pukul10.30 pagi KH. Abdul Wahid hasyim meninggal dalam usia 39 tahun. Beberapa
jam kemudian tepatnya pukul enam petang Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang
Khalik.
Jenazah
KH. Abdul Wahid di bawa je Jakarta untuk disemayamkan di sana sebelum
diterbangkan ke Surabaya. Kemudian di bawa Ke Jombang untuk dimakamkan di
Pesantren Tebuireng.
Musibah
ini mengejutkan masyarakat. Mereka menyayangkan kepergian KH. Abdul Wahid dalam
usia yang masih muda. Jika pada umumnya kematangan dan karer seseorang baru
dimulai pada usia 40, KH. Abdul Wahid justru telah merengkuhnya pada usia di
bawah itu, ada yang menilai, kematian itu teramat cepat datangnya, secepat
dirinya meraih prestasi.[11]
Analisis
Pelajaran
yang patut kira tiru dari pemikiran pendidikan Wahid Hasyim. Kita sebagai orang
tua adalah
Kiai
Wahid Hasyim adalah seorang ayah yang sangat disiplin kepada anak-anaknya.
Tetapi ia juga seorang ayah yang demokratis. Ia menanamkan kedisiplinan sejak
dini di keluarganya. Hukuman pun tidak segan dijatuhkan kepada siapapun yang
melanggar aturan.
Salah satu contoh dari kedisiplinan tersebut
adalah setiap hari anak-anak wajib membaca al-Qur’an, banyak membaca buku
membuat, banyak mendalami ilmu agama.
Badiatul Roziqin, badiatul Muchlisin
Asti, junaidi abdul Munif. 2009.101 Jejak Tokok Islam Indonesia. Yogyakarta:
e-Nusantara.
Heryy Mohammad. 2006.
Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: GEMA INSANI Pres.
Yudian
Wahyudi, Ph.D. 2007.Maqashid Syariah
Dalam Pergumulan Politik, Berfilsafat hukum Islam dari Harvard ke Sunan
Kalijaga. Nawesea,
[1] Badiatul
Roziqin, badiatul Muchlisin Asti, junaidi abdul Munif, 101 Jejak Tokok Islam
Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009, hal. 30.
[3]
Ibid,......101 Jejak Tokoh Islam
Indonesia, hal. 31.
[4] Ibid,...
Kiai-kiai Kharismatik dan Penomenal , hal. 231.
[6]
Ibid,.... Kiai-kiai
Kharismatik dan Penomenal , hal.234.
[7]
Ibid,....
Kiai-kiai Kharismatik dan Penomenal , hal.237
[8] Ibid,...
Kiai-kiai Kharismatik dan Penomenal , hal. 239.
Comments
Post a Comment