Skip to main content

Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of The Qur’an


BOOK REVIEW
Cara Quran Membebaskan Perempuan
Karya Asma Barlas

ABSTRAK
Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Islam adalah satu dari sedikit agama yang telah menetapkan perbedaan antar jenis klamin dalam arsitektur sosial.[1] Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan hanyalah prestasi dan kualitas taqwanya.[2] Dalam islam, kaum perempuan dimanusiakan seperti layaknya laki-laki. Bahkan al-qur’an menyebut bayi perempuan yang lahir sebagai berita gembira dari Allah, dan oleh karena itu tidak pantas kehadirannya disambut dengan rasa malu seperti terjadi pada zaman jahiliyah.[3]
Tulisan ini merupakan review dari buku yang berjudul Cara Quran Membebaskan Perempuan karya Asma Barlas[4] tentang cara baca yang benar terhadap tafsir-tafsir yang menghasilkan faham misoginis dan patriarki. Penulis menyuguhkan penafsiran tentang perempuan dalam al-quran dengan menggunakan pendekatan yang cukup modern yakni menggunakan perspektif gabungan antara penggunaan sumber-sumber klasik dan sumber-sumber modern, terutama yang berkaitan dengan wacana feminisme dan hermeneutika. Buku ini membuktikan bahwa meskipun berbeda secara biologis, laki-laki dan perempuan itu setara, bahkan sama pada tataran ontologis. Kapasitas keduanya sebagai agen moral dan dalam tugas kemanusiaanpun tidak berbeda. Secara lengkapnya, karya ini membuktikan bahwa al-Quran mendukung penuh antara laki-laki dan perempaun, bahwa al-quran lebih banyak menekankan kewajiban daripada hak dalam soal hubungan orangtua-anak, bahwa posisi laki-laki/bapak tidak begitu menonjol dalam islam yang mengakibatkan budaya patriarki, bahwa poligami lebih terkait dengan distribusi keadilan sosial dan penyantunan terhadap anak yatim bukan sebuah lisensi bagi laki-laki untuk memiliki isteri lebih dari satu.
Tulisan ini akan memetakan latarbelakang penulis, pembahasan buku, menentukan pendekatan yang digunakan oleh penulis, sekaligus memposisikan pemikiran penulis tentang hasil karyanya dengan beberapa karya lain yang serupa. Sedangkan untuk memberikan warna dan memberikan kontribusi keilmuan, penulis menampilkan beberapa kritik atau masukan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan buku ini.



A.    Latar Belakang
Anggapan yang beredar dikalangan masyarakat Barat bahwa, Islam adalah sebuah patriarki agamis yang menganut model-model hubungan yang hirarkis dan ketidaksetaraan seksual serta mengharuskan penyerahan diri seorang perempuan terhadap laki-laki merupakan salah satu yang melatarbelakangi Asma Barlas menuangkan tulisannya yang merupakan sebuah kritik terhadap penindasan seksual yang terjadi dikalangan masyarakat Islam serta kritik terhadap cara baca al-quran secara patriarkis yang mengenyampingkan posisi perempuan.
Pengalamannya, ketika Pakistan dikuasai rezim Ziaul Haq yang memperkenalkan syariah sebagai hukum positif yang menurutnya (Barlas) memiliki konsekuensi yang merugikan bagi perempuan seperti contoh kegagalan dalam membedakan antara perkosaan dan perzinaan, dimana semua kasus menjadi objek rajam. Kasus yang melibatkan sebuah perkosaan terhadap perempuan yang akibat pemerkosaan itu mejadikan perempuan tersebut hamil. Pengadilan  mengambil kasus ini sebagai bukti bahwa si perempuan telah salah karena melakukan perzinaan dan menghukumnya dengan dirajam. Sedang pemerkosa sendiri terbebaskan dari tuntutan karena keadaan perempuan yang buta sehingga tidak mengenali si pelaku. Sekalipun si perempuan itu tidak buta, tetap akan kesulitan karena tidak ada saksi mata.
Pengalaman serupa juga dirasakan Barlas ketika tinggal di Amerika seperti, budak perempuan, jihad, dan sunat perempuan. Menurut Barlas, tidak ada konsep jihad dan sunat perempuan dalam Islam. Pemaknaan Islam sebagai agama yang aneh dan menyimpang menjadi sangat terkenal di mana-mana sehingga menyulitkan untuk membuat kesan baik khususnya yang dirasakan dirinya sebagai seorang perempuan muslim. Di mata dunia Barat, orang Islam dikesankan anti Kristen dan Yahudi sehingga hal inilah yang secara pribadi dirasakan Barlas sulit hidup di negara seperti Amerika. Pengalaman diatas merupakan latarbelakang Barlas menulis karyanya, dengan tujuan untuk menemukan kembali basis struktural bagi kesetaraan seksual, dan menolak klaim yang dibuat oleh kelompok konservatif Islam maupun oleh kelompok feminis yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang memihak patriarki. Barlas mengharapkan dengan adanya buku ini, bentuk pembacaan Islam yang egaliter dan antipatriarki sehingga akan menggantikan pemahaman misoginis dan patriarkis terhadapnya.
Seluruh penjelasan dalam buku ini merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Barlas sendiri, yaitu:
1.      Apakah kitab Al-quran mengajarkan atau menutup mata atas ketidaksetaraan atau enindasan?
2.      Apakah Al-quran mendorong atau mengizinkan pembebasan terhadap perempuan?

B.     Kerangka Pemikiran dan Metodologi/Pendekatan Penelitian
1.      Kerangka Pemikiran[5]
Kerangka pemikiran yang dibangun Barlas menunjukan bahwa Al-quran merupakan sumber kebenaran dan sekaligus sarana untuk mewujudkan kebenaran itu dalam bentuk tindakan. Sejak masa pewahyuannya, al-Quran memiliki “aplikasi praktis dan politis”, karena ajarannya menaruh perhatian pada “keadilan sosial-ekonomi dan egalitarianisme” dan “harus diaplikasikan dalam kehidupan dunia”.[6] Alquran tidak saja memberikan sebuah “kerangka pemersatu” bagi perilaku muslim, ia juga sumber bagi hukum islam klasik (syariat).[7] Al-quran menjadi semakin urgen bagi perempuan karena kaum muslim percaya bahwa legalisasi ketidaksetaraan jender yang terdapat dalam syariat berbeda dengan ajaran-ajaran al-quran dalam beberapa hal penting.
Sebagai wacana ilahi, al-quran tidak bisa ditiru, diubah, dipalsukan dan digugat. Nash al-Quran mempunyai keindahan yang mengagumkan[8], Itulah sebabnya mengapa teologi islam membedakan antara “wahyu Tuhan dan perwujudan duniawinya”. Dengan demikian, pembedaan itu memunculkan kemungkinan bahwa menafsirkan firman tuhan berarti menyesuaikan pesan dalam berbagai tingkatan. Teks-teks ilahi memang bersifat kekal, tapi kreativitas penafsiran manusia tidak ada batasnya. Proses penafsiran itulah yang sifatnya tidak akurat dan tidak lengkap yang membuka ruang untuk kritik dan historisitas bukan teks wahyu itu sendiri.
Ketika kaum muslimin memahami wahyu dalam lingkup sejarah, karena menganggap wahyu sebagai sesuatu yang suci dan benar maka mereka akan memandangnya sebagai sesuatu yang berada diluar konteks sejarah. Dengan demikian, dalam supra-historitasnya, al-quran tidak menafikan perannya sebagai kitab historis. Pada proses penafsiran, al-quran akan menghasilkan pendapat yang beragam yang kemudian pendapat itu memperoleh legitimasi karena adanya kebutuhan untuk menjadikan al-quran tetap relevan dalam setiap waktu dan situasi.[9]
Al-quran sebagai mushaf kemudian terjerat dalam kebercampuran ganda: disatu sisi dengan wacana ilahi dan disisi lain dengan tafsirannya sendiri, yang menciptakan persoalan berkepanjangan tentang bagaimana kita memahami ajarannya.[10] Konsep Barlas mengingatkan kita pada dataran low tradition [11], yang ditawarkan Fazlurrahman, sesungguhnya pemikiran itu sama seperti corak pemikiran-pemikiran manusia lain yang tidak bisa terlepas sama sekali dari keterkaitannya dengan “bahasa” dan “sejarah”. Bahasa terkait dengan konvensi, kontak sosial, adat istiadat, dan akar budaya setempat yang secara intens terkait dengan persoalan kapan, di mana, dan siapa. Setiap tahapan perkembangan budaya ternyata berpengaruh pada corak pemikiran keagamaan dan pemikiran keislaman yang berkembang di suatu tempat tertentu. Sebagai produk sejarah manusia, pemikiran tersebut tidak terlepas dari gerak perubahan sejarah sosial budaya yang melingkupinya.[12]
Meninjau teori Fazlur Rahman, penafsiran al-quran terdiri dari dua gerak ganda, yaitu dari situasi sekarang ke masa al-Quran diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Al-Quran adalah respons Ilahi melalui ingatan dan pikiran Nabi pada situasi moral sosial Arab pada masa Nabi, khususnya pada masalah-masalah masyarakat dagang Mekah pada masa itu. yang pertama dari dua gerakan itu terdiri dari dua langkah. Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan al-quran dengan mengkaji situasi atau problem historis, yang didalamnya pernyataan al-Quran tersebut merupakan jawabannya. Kedua, orang harus menggenalisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam latar belakang sosio historis yang sering dinyatakan. Adapun gerakan kedua yang harus dilakukan dari pandangan umum ini kepandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan pada masa sekarang.[13]
Mengingat budaya dimana sebuah wahyu diturunkan bukanlah ruang hampa, maka antara budaya dan agama jelas tidak mungkin dipisahkan. Menyadari hal itu, sangatlah logis bila ekspresi dan artikulasi keagamaan berwajah plural. Sekalipun Islam memiliki ajaran dasar yang diyakini sama, tetapi pada tingkat interpretasi dan tradisi terlihat tidak tunggal, baik dalam filsafat, tawasuf, fiqh, politik ataupun cabang ilmu keisaman lainnya.[14]
Dengan demikian, Barlas meyakini pada dasarnya al-quran itu suci, tidak dapat diubah dan digugat akantetapi menghasilkan cara baca yang beragam. Dengan demikian, proses penafsiran dan pewahyuan khususnya tentang kesetaraan jender tidak terlepas dari konteks sosio historisnya atau budaya. Perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan selain yang biologis sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial budaya. Oleh karena itu, jender selalu berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas.[15]
Apa yang ingin ditekankan oleh Barlas tentang al-Quran sebagai teks adalah tentang sifatnya yang tidak berbeda dengan teks-teks lainnya dalam hal keterbukaan untuk berbagai macam pembacaan setiap ayatnya. Dengan kata lain, tafsir-tafsir yang berkaitan dengan hak-hak perempuan selalu diasumsikan sebagai hal yang tidak bisa diubah meskipun jelas-jelas merugikan perempuan. dengan ini Barlas ingin menyatakan bahwa al-quran sebagai teks utama dalam Islam tidak bisa terlepas dari pluralisme pembacaan, kejamakan kepentingan tafsir, dan penuh dengan kata-kata polisemik, namun tidak berarti al-quran bermacam-macam. Sedangkan tafsir dianggap sebagai representasi dari apa yang dikehendaki dan ingin dikatakan oleh al-Quran. Tafsir disini hanyalah merupakan upaya penjelasan yang bersifat manusiawi terhadap al-quran bukahlah Kebenaran yang dinyatakan oleh kitab-kitab tafsir yang seolah-olah merupakan kebenaran al-quran itu sendiri.
2.      Pendekatan Penelitian
a.       Pendekatan Historis
Pendekatan sejarah yang Barlas maksud adalah pengungkapan karakter politik teksual/seksual yang berkembang dikalangan masyarakat Islam, terutama pada proses yang telah menghasilkan tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecendrungan patriarkis. menurut Barlas, pembacaan-pembacaan misoginis terhadap Islam tidak bersumber dari Al-quran melainkan dari upaya para mufasir dan komentator al-quran untuk melegitimasi adat kebiasaan pada zaman mereka dengan merincikannya dalam tafsir kitab suci. Argumen ini berlaku pada pada Islam Suni yang mana orang-orang suni secara umum percaya bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Penutupan ini bukanlah pada hukum semata tapi juga pada metodologi penafsiran. Bagaimanapun, penutupan itu tidak hanya berdampak pada penafsiran al-quran tapi juga mengakibatkan terhentinya keberlangsungan yang menakjubkan dalam wacana-wacana keagamaan muslim. Itulah sebabnya Barlas mendahulukan pendekatan historis.
b.      Pendekatan Hermeneutik
Pendekatan hermeneutik terletak pada epistimologi al-quran yang egaliter dan antipatriarki. Dalam hal ini Barlas menyusun dengan 3 langkah yakni:
1)      Menjelaskan karakter teks al-quran yang polisemi (teks bisa dibaca dengan berbagai cara) dan membuka berbagai kemungkinan pemaknaan, sebagai kritik terhadap pola penafsiran yang reduksionis dan esensialis, yakni bahwa kita hanya dibolehkan membaca al-quran dalam kerangka patriarki saja.
2)      Menolak relativisme penafsiran (semua pembacaan adalah sama-sama benar) tanpa menanggalkan komitmen terhadap polisemi tekstual dengan alasan tidak semua pembacaan dapat diterima sebagai pembacaan yang sah secara kontekstual terutama pembacaan yang memasukan berbagai bentuk zhulm ke dalam firman Tuhan untuk menindas perempuan. Menurut Barlas, jika kita menganut gagasan bahwa tuhan adalah adil dan tidak pernah berbuat zhulm, maka kita juga harus menghasilkan pembacaan al-quran yang tidak mengajarkan kedzoliman.
3)      Mencari kunci-kunci hermeneutik bagi pembaca al-quran yang berciri ontologi ketuhanan. Barlas sepenuhnya sejalan dengan pandangan mukmin bahwa tujuan keimanan adalah melakukan tindakan yang dapat “membantu pemahaman” untuk menggabungkan “pemikiran dengan keyakinan”.
Melalui pendekatan ini, Barlas ingin memperlihatkan bahwa al-quran menentang mitos-mitos patriarki dan bahwa al-quran secara inheren/simbolis tidak mengistimewakan laki-laki,  ayah atau kekuasaan ayah. Klaim-klaim yang dibangun Barlas diantaranya:
a.       Soal patriarkisme, Barlas menolak adanya patriarkisme dalam al-Quran apabila yang dimaksud dengan istilah ini adalah aturan kebapaan atau politik mengistimewakan laki-laki. Untuk membuktikan bahwa al-quran menolak patriarkisme dan sebaliknya mengajarkan egalitarianisme, Barlas menguraikan konsep Tauhid yang menjadi inti ajaran Islam. konsep ini digunakan untuk menolak adanya asumsi patriarkisme dalam Islam, misalnya konsep yang mengatakan bahwa Tuhan terdiri atas unsur anak dan bapak. Ajaran al-Quran secara tegas melarang kita menjenderkan tuhan ke dalam jenis klamin sosial tertentu. Sangat sulit ditoleransi jika kaum bapak/laki-laki adalah orang yang memiliki hak untuk dijadikan representasi dari Tuhan. Dalam konteks ini, Barlas melakukan penghapusan sikap dan bayang-bayang yang selama ini masih menggelayuti benak masyarakat Islam akan pilihan spesial Tuhan atas para bapak atau laki-laki untuk menjadi wakil resmi di muka bumi.
b.      Model pembicaraan tentang Tuhan dalam al-Quran dengan menggunakan istilah-istilah seperti Rabb[16] dan Allah yang tidak ada padanannya dalam konsep manusia. Demikian pula mengaburkan kosa kata seperti “huwa” dan “hu”.[17] Ibnu Rusydi mengungkapkan bahwa penggunaan kata “huwa” adalah bersifat metafor karena keterbatasan bahasa, kalau di katakan “hiya” maka akan menimbulkan problem kebahasaan. Penggunaan kata “huwa” merupakan esensi tauhid dalam Islam, yang membedakan dari agama-agama lain.[18]
c.       Tentang kesetaraan jender dalam Islam, al-Quran mengakui perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, namun perbedaan jasad tersebut tidak menyebabkan mereka berbeda dalam tataran etika dan moral. Berangkat dari al-Quran Q.s.6:98, Q.s.7:189, Q.s.30:21 menyatakan bahwa perempuan bukan hanya tak terpisahkan tapi juga sama secara ontologis, dimana laki-laki dan perempuan diciptakan dari nafs. Menurut al-Quran, alasan kesetaraan dan keserupaan kedua jenis klamin ini adalah bahwa keduanya diciptakan untuk hidup bersama dalam kerangka saling mencintai dan mengakui satu sama lain. Dengan demikian Barlas menegaskan bahwa al-Quran memperlakukan laki-laki dan perempuan sebagai pasangan (“A” dan “B”), bukan sebagai dua hal yang berlawanan (“A” dan “bukan A”).[19] Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tercermin pada kesetaraan dalam nilai-nilai kemanusiaa, kesetaraan dalam hak-hak sosial, kesetaraan dalam tanggung jawab, atau kesetaraan dalam segala bidang, termasuk kesetaraan dalam perhitungan di akhirat.[20]
d.      Tentang keluarga dan perkawinan, di dalam kehidupan keluarga, al-quran mendukung penuh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Al-Quran dalam kaitannya hubungan dengan orang tua dan anak, lebih banyak menekankan soal kewajiban diantara mereka dari pada soal hak. Selain itu, dalam al-Quran posisi laki-laki atau bapak tidak begitu menonjol. Antara bapak dan ibu memiliki hak yang setara terhadap anak-anak mereka.
Al-Quran menggunakan prinsip kesamaan dan keserupaan karakteristik manusia untuk mendefinisikan relasi suami-isteri dalam artian tidak ada pemimpin dan tidak ada yang dipimpin. Maksud Qawwamun dalam al-quran diartikan sebagai pencari nafkah bukan pemimpin. Penugasan itu hanya menunjukan bahwa al-quran tidak mengharapkan perempuan menjadi pencari nafkah akantetapi bukan berarti bahwa perempuan tidak boleh menafkahi dirinya sendiri, karena dalam Islam tidak adanya pelarangan bagi wanita bekerja diluar rumah selama pekerjaan itu sesuai dengan karakter kewanitaannya, sifat-sifat spesifik yang ada pada dirinya, tingkat kemampuan yang dimilikinya, serta tidak mereduksi citra feminitasnya[21] melainkan hal ini untuk menunjukan bahwa posisi perempuan dan laki-laki sederajat/setara. Tidak ada satu katapun yang menyebutkan bahwa dalam perkawinan perempuan diposisikan sebagai budak. Karena akad nikah merupakan penyerahan kewajiban perkawinan sekaligus penerimaan mereka sebagai suami isteri untuk hidup bersama selaku pasangan dan mitra berdampingan, menyatu dan terhimpun dalam suka dan duka. Hubungan suami isteri dalam rumah tangga muslim bukanlah hubungan dominasi antara satu pihak terhadap pihak lain, tetapi hubungan yang harmonis dan saling menghormati.[22]
Mengenai poligami, Barlas menghendaki agar pemahaman poligami tidak digeneralisasikan, artinya setiap laki-laki berhak melakukan poligami. Hendaknya tindakan tersebut dapat dipahami sebagai tindakan pemberian akses seksual kepada perempuan ketika jumlah mereka melebihi jumlah laki-laki. Misi utama dalam ayat ini bukanlah soal bagaimana seorang laki-laki boleh memiliki isteri lebih dari satu, melainkan distribusi keadilan sosial dan penyantunan terhadap anak yatim. Maka untuk mewujudkan keadilan sosial bagi anak-anak dan perempuan yang ditinggal mati oleh orang tua mereka tidak harus dilakukan melalui poligami, tetapi bisa juga dilakukan melalui tindakan-tindakan karitatif yang lain.
Melacak pemikiran Barlas, ada kemiripan dengan Fatima Mernissi, Kaum nasionalis yang berjuang melawan Prancis. Masa kecilnya yang ia habiskan di  harem  bersama ibu  dan  nenek-neneknya. Dari pengalaman inilah dia menggambarkan kehidupan harem dengan pesona yang kaya, tapi ia  tidak melupakan  penindasan di dalamnya. Melalui metode historis-sosiologis-objektif, Mernissi ingin mengembalikan watak sejarah secara kritis dari tradisi yakni dengan menempatkannya dalam konteks sosial, politik, kultural dan ideologinya.[23] Hal ini sangat penting karena sejarah digunakan untuk menghayati arti kehidupan dan persoalan yang layak untuk dikembangkan dan diperkaya untuk menyeleseikan masalah masa kini sehingga bisa menghantarkan ke masa depan.
Dengan asumsi dasar sebagai kerangka teoritik yang dibangunnya, yaitu apa yang disebutnya dengan Islam Risalah dan Islam Politis[24], adanya ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan yang bersifat gender bukanlah sebuah “takdir” atau ajaran dari agama, tetapi hanyalah merupakan konstruksi sosial  atau “buatan” manusia yang dapat berubah.[25]
Berbeda dengan Riffat Hassan yang beranggapan bahwa akar utama penyebab ketidakadilan gender di lingkungan umat Islam adalah karena adanya asumsi-asumsi teologis yang bias patriarkhi, yakni bahwa perempuan (Hawa) adalah makhluk kedua (secondary  creation) atau the second sex (makhluk jenis kelamin yang kedua) setelah laki-laki (Adam).[26]
Dalam buku lain yang merupakan terjemahan dari buku Forgotten Queens of Islam, Mernissi juga mengungkapkan  bagaimana jaryah-jaryah (budak) menjadi ratu yang ditakuti. Rayuan serta keahlian para budak tersebut khususnya dalam bidang musik, sastra, filsafat bahkan ilmu-ilmu menganalisa pemerintahan untuk membuat khalifah tertarik dengan bakat yang dimiliki para jaryah itu. Dari sinilah para jariyah yang tinggal di harem terjun ke ranah politik dengan gelar ratu yang disandangnya. Melalui pendekatan historis ratu-ratu muslim inilah, Mernissi mampu menggambarkan kehidupan perempuan pada masa itu tidak jauh dengan penindasan dan diskriminasi kecuali perempuan-perempuan yang mampu berdiri ditempat/ditahta paling tinggi dengan keahlian yang dimiliki.  
Gagasan inilah yang telah mendorong kaum wanita untuk percaya bahwa mereka harus lain dari pada yang lain untuk dapat dianggap setara dengan kaum pria dan mempunyai hak-hak istimewa. Mernissi tidak mengesampingkan fakta bahwa para ratu yang ditelaah mempunyai kepribadian yang biasa, ambisius, atau terbelah, sehingga mereka melakukan kesalahan-kesalahan besar, meremehkan faktor-faktor tertentu dan sebagian besar menemui kegagalan secara menyedihkan. Yang membuat orang-orang itu besar adalah usaha mereka untuk memanfaatkan sebaik-baiknya keadaan mereka yang biasa-biasa saja itu atau kelemahan-kelemahan mereka dan menantang nasib mereka serta sistem-sistem kekuasaan yang mendukungnya.[27] Penggambaran sosok ratu seperti Khayzuran, Radhiyyah, Sajarat al-Dur yang menaiki kursi kepemimpinan setelah menikah dengan khalifah dikarenakan keahliannya yang luar biasa dan keikutsertaannya di ranah politik dan militer sehingga    namanya tercetak pada mata uang dengan tulisan gelar yang disandangnya, membuktikan bahwa perempuan pada dasarnya sama dengan laki-laki dalam tatanan sosial namun yang membedakan adalah biologis, kualitas serta kiprahnya.
Tidak jauh berbeda dengan pandangan Husein Muhammad[28] tentang fiqh perempuan, dengan kitab-kitab fiqh klasik (kitab kuning) yang dijadikan rujukan atau pedoman kuat bagi masyarakat Indonesia. Kasus yang diangkat dalam bukunya menyesuaikan dengan fenomena-fenomena yang terjadi di Indonesia. Para pemikir feminis mengemukakan bahwa posisi-posisi perempuan yang dimarginalkan disebabkan karena faktor-faktor ideologi dan budaya yang memihak laki-laki, keadaan timpang tersebut boleh juga dijustifikasi oleh pemikiran kaum agamawan. Hal ini miasalnya terlihat pada penafsiran mereka atas ayat al-Quran surat an-Nisa:34. Yang mana para ahli tafsir menyatakan bahwa qawwam berarti pemimpin, penanggung jawab, pengatur, pendidik, dan sebagainya. Secara umum para ahli tafsir berpendapat bahwa superioritas laki-laki ini adalah mutlak. Superioritas ini diciptakan oleh Tuhan sehingga tidak akan pernah berubah. Akantetapi, sekarang semakin banyak kaum perempuan yang memiliki potensi dan bisa melakukan peran-peran yang selama ini dipandang hanya dan harus menjadi milik laki-laki. Banyak perempuan di berbagai ruang kehidupan yang mampu tampil dalam peran kepemimpinan domestik maupun publik, dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu, karakteristik yang menjadi dasar argumen bagi superioritas laki-laki bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi merupakan produk dari sebuah proses sejarah, yakni sebuah proses perkembangan yang terus bergerak maju dari nomaden menuju modern, dari ketertutupan pada keterbukaan, dari kebudayaan tradisional pada kebudayaan rasional dan dari pemahaman tekstual pada pemahaman substansial. Semuanya merupakan sebuah proses sejarah yang berlangsung secara evolutif dan dinamis.[29]
C.    Kesimpulan
Melalui pendekatan Hermeneutik dan Historis, mampu menemukan kembali cara baca yang egaliter dalam membaca al-Quran. Dimana posisi perempuan dan laki-laki itu sama tak ada perbedaan kecuali pada ranah moral dan ketaqwaan. Argumen historis melibatkan penyebutan secara khusus karakteristik teksual di masyarakat muslim, terutama pada proses yang menghasilkan penafsiran patriarki dalam al-Quran. Sedangkan letak hermeneutik terdapat pada epistemologi al-Quran yang egaliter dan antipatriarki. Yang mana penyusunan pendekatan ini melalui 3 langkah. Untuk mendukung klaim bahwa al-Quran bersifat antipatriarki, Barlas menganalisis beragam persoalan, mulai dari bagaimana al-Quran menggambarkan tuhan, bagaimana merumuskan teori tentang hak orang tua dan suami-isteri, hingga bagaimana ia memandang jenis klamin/jender.
Epistemologi antipatriarki al-Quran terletak pada karakteristik pengungkapan diri Tuhan, yang menafikan bukan saja pandangan tentang Tuhan sebagai ayah/laki-laki, tapi juga berbagai teori tentang hak ayah dan juga perbedaan jender. Hermeneutika bukan saja berfungsi sebagai petunjuk tentang bagaimana kita harus membaca al-Quran, tapi juga berfungsi sebagai argumentasi untuk menyanggah pandangan bahwa ia bertanggung jawab terhadap bagaimana ia dibaca atau tidak dibaca. Karena penyelewengan ayat al-Quran mencerminkan kegagalan moral dan hermeneutik.

D.    Kontribusi terhadap Pengetahuan
Secara pribai saya apresiasi dengan karyanya Asma Barlas ini, karena melalui buku ini Barlas mengajak kita membaca al-Quran dengan semangat pembebasan, membebaskan dari patriarkisme politik penafsiran tekstual dalam Islam. Melalui karyanya, ada beberapa kontribusi yang diberikan terhadap pengembangan pemikiran Islam kedepan, diantaranya:
1.    Karya ini memberi alternatif atas keterbatasan metodologi penafsiran, khususnya metode cara baca al-Quran, seperti pembacaan-pembacaan konservatif terhadap al-Quran merupakan akibat dari metode yang digunakan yang kebanyakan menggunakan atomistik atau metode-metode klasik.
2.    Karya ini menunjukan bahwa pintu ijtihad bagi umat islam belum sepenuhnya tertutup, sehingga memungkian bagi intelektual muslim untuk melakukan kajian secara ilmiah dan bertanggung jawab.
E.     Kritik Pemikiran
Sosok Asma Barlas yang moderat terhadap pandangannya dalam memposisikan perempuan dan laki-laki, yang berdasar bahwa al-quran itu suci sehingga tidak bisa diganggu gugat, hanya saja para penafsir perlu memperbaiki cara baca dalam menfsirkan al-quran sehingga tidak menggunakan jenis klamin/jender untuk mendiskriminasikan perempuan. Buku ini merupakan karya yang sangat penting, mengingat prilaku laki-laki terhadap posisi perempuan masih dibeda-bedakan. Buku ini cukup lengkap dalam mendiskusikan mengenai persoalan isu-isu perempuan didalam al-Quran dengan menggunakan perspektif gabungan antara sumber-sumber klasik dan sumber-sumber modern, terutama yang berkaitan dengan wacana feminisme dan hermeneutika. Meskipun demikian, bukan berarti buku ini tidak memiliki kelemahan. Setelah saya komparatifkan dengan buku-buku yang lain yang membahas tentang perempuan, berikut akan saya berikan beberapa catatan :
1.      Alangkah lebih baik dan lebih lengkap apabila buku ini mampu mencantunkan serta membedakan antara hukum adat dan hukum Islam yang sebenarnya, sehingga dapat terlihat perbedaan-perbedaan penafsiran yang dipengaruhi oleh konteks sosiologis, historis dan religius pada suatu zaman tertentu seperti karyanya Husein Muhammad.
2.      Banyak terdapat rujukan-rujukan, bahkan hampir sulit ditemukan sebuah pernyataan yang muncul tanpa disertai dengan rujukan dan kutipan. Hal ini mengakibatkan kesulitan untuk menemukan ide asli dari penulisnya sendiri.
3.      Terlalu banyak mengandalkan sumber-sumber sekunder, terutama untuk kajian tafsir al-quran. Istilah seperti qawwamuna atau dharaba dirujuk tidak langsung kepada kitab aslinya misalnya karya At-Thabari atau Ibn Katsir akan tetapi melalui Amina Wadud, Fazlur Rahman dll. Sehingga hal ini akan membuat kita merasa kesulitan menemukan dinamika baru dalam karya ini yang berkaitan dengan tafsir.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Manhaj Tarjid dan Pengembangan Pemikiran Keislaman, dalam Sri Suhandjati Sukri, 2002. Pemahaman Islam an Tantangan Keadilan Jender, Yogyakarta: Gama Media.
Barlas, Asma. 2003. Cara Al-Quran Membebaskan Perempuan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Mahfudz, Ahmad Sahal. Pernikahan Bukan Sekedar Formalisasi Kebutuhan Biologis, dalam Musthofa Bisri, 1997. Kado Pengantin, Rembang: Al-Ibriz.
Mernissi, Fatima.1991. Wanita di dalam Islam, Penerjemah: Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka.
Mernissi, Fatima. 1994. Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Penerjemah: Rahmani Astuti dan Enna Hadi, Bandung: Mizan.
Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 1 No. 2, Juli–Desember 2013
Muhammad, Husein. 2001. Fiqh Perempuan:Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta
Musdah Mulia, Siti. 2004. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaharu Keagamaan, Bandung: Mizan Pustaka
Nuriyah Abdurrahman Wahid, Sinta. 2005. Kemang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘uqud al-Lujjayn, Jakarta: Kompas.
Rahman, Fazlur. 1985. Islam dan Modernitas tentang Transformasi Itelektual, Bandung: Penerbit Pustaka.
Suhandjati Sukri, Sri. 2002. Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, Yogyakarta, Gama Media
Terjemahan Ibnu Rusydi, 2002. Perempuan Agama dan Moralitas: Antar Nalar Feminis dan Islam Revivalis, Jakarta: Erlangga.
Qardlawi, Yusuf. 1996. Jangan Menyesal Menjadi Wanita, Yogyakarta: DIVA Press.




[1] Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Penerjemah: Rahmani Astuti dan Enna Hadi
 (Bandung: Mizan, 1994), hlm.108.
[2] Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaharu Keagamaan, (Bandung: Mizan Pustaka, 2004). hlm.03
[3] Ibid., hlm.22.
[4] Asma Barlas perempaun asal Pakistan adalah seorang tokoh prolifik dikalangan intelektual perempuan Islam yang menjadi perempuan pertama bekerja untuk pelayanan luar negeri. Setelah diberhentikan dari tugasnya, kemudian ia bergabung sebagai asisten editor di surat kabar The Muslim.
[5] Gambar Ini Dibuat Oleh Ulises Ali Mejias-Butron dalam Asma Barlas, cara quran membebaskan perempuan..
[6] Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003) hlm. 86.
[7] Namun, Al-quran bukanlah kitab hukum dalam pengertian “himpunan berbagai aturan yang membentuk sistem hukum”.
[8] Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Penerjemah: Rahmani Astuti dan Enna Hadi
 (Bandung: Mizan, 1994), hlm.224.
[9] Asma Barlas, Cara,,, hlm. 96.
[10] Ibid, hlm.102.
[11] Yakni pada dataran realitas historis yang konkret, sangat berkaitan dan langsung bersentuhan dengan berbagai bentuk pemikiran yang lain, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, serta strategi pemahmaan dan keamanan.
[12] Lihat M. Amin Abdullah, Manhaj Tarjid dan Pengembangan Pemikiran Keislaman, dalam Sri Suhandjati Sukri, Pemahaman Islam an Tantangan Keadilan Jender, (Yogyakarta:Gama Media, 2002), hlm.27-28
[13] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Itelektual, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm.7-8. 
[14] Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Kemang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘uqud al-Lujjayn, (Jakarta: Kompas, 2005), hlm.54.
[15] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan:Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001).
[16] Rabb berarti pencipta dan pemelihara, dan merupakan kosa kata untuk merujuk pada Tuhan yang sering digunakan oleh al-Quran disamping kata Allah.
[17] Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan,,,,. hlm.58.
[18] Terjemahan Ibnu Rusydi, Perempuan Agama dan Moralitas: Antar Nalar Feminis dan Islam Revivalis, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm.185.
[19] Asma Barlas, Cara Quran....., hlm. 245.
[20] Terjemahan Ibnu Rusydi,,,, hlm.132.
[21] Yusuf Qardlawi, Jangan Menyesal Menjadi Wanita, (Yogyakarta: DIVA Press, 1996), hlm.183.
[22] Lihat Ahmad Sahal Mahfudz, Pernikahan Bukan Sekedar Formalisasi Kebutuhan Biologis, dalam Musthofa Bisri, Kado Pengantin, (Rembang: Al-Ibriz, 1997), hlm.67-76.
[23] Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, Penerjemah: Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka, 1991), hal 17.
[24] Islam Risalah atau Islam spiritual merupakan pesan Ilahi, cita-cita yang tercatat dalam Al-Qur’an, Kitab suci, yang berbeda dari Islam Politis yang adalah merupakan praktik kekuasaan, tindakan-tindakan manusia yang digerakkan oleh nafsu dan didorong oleh kepentingan pribadi, lihat Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, hal.13.   
[25] Mu’adalah Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 1 No. 2, Juli–Desember 2013, hal. 17-30.
[26] Ibid, hlm.17-30.
[27] Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, (Bandung: Mizan, 1994), hlm.139.
[28] pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, yang didirikan kakeknya tahun 1933 sampai sekarang dan seorang Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tahun 2008 mendirikan Perguruan Tinggi Institute Studi Islam Fahmina di Cirebon. Aktif dalam berbagai kegiatan diskusi, Halaqah, dan seminar keislaman, khususnya terkait dengan isu-isu Perempuan dan Pluralisme, baik di dalam maupun di luar negeri.

[29] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan:Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001).hlm.20-21.

Comments

Popular posts from this blog

DOUBLE MOVEMENT TEORI KAJIAN ISLAM FAZLUR RAHMAN

Baca Juga : https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/kritik-sejarah-fazlur-rahman-upaya.html

Beberapa Jenis Empirisme

Beberapa Jenis Empirisme 1. Empirio-kritisisme     Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik. baca jug:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-empirisme.html 2. Empirisme Logis      Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut : a. Ada batas-batas ba...

KRITIK SEJARAH FAZLUR RAHMAN; UPAYA MENCAIRKAN HADITS NABI

BOOK REVIEW KRITIK SEJARAH FAZLUR RAHMAN; UPAYA MENCAIRKAN HADITS NABI [1] Review Buku Islamic Methodology In History Karya Fazlur Rahman Abstraksi : Menelaah metodologi pemikiran Islam (Islamic Metodology) dari perspektif sejarah dewasa ini dirasa sangatlah perlu. Tujuannya adalah untuk melakukan kritik terhadap pemikiran Islam ortodok yang menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Dengan kembali membuka pintu ijtihad, umat Islam diharapkan bisa melakukan sebuah penafsiran yang kreatif, bebas, dan kontekstual terhadap sumber-sumber pokok ajaran Islam—al-Qur’an dan sunnah Nabi—sehingga bisa memberikan jawaban yang tepat bagi problem umat masa kini. A.     Latar Belakang Masalah Dalam konteks pemikiran Islam, Fazlur Rahman [3] dikenal sebagai salah seorang pemikir besar. Ahmad Syafii Maarif, dalam tulisan pengantar buku Islam karya Fazlur Rahman terbitan Indonesia menyatakan, bahwa pada diri Rahman, berkumpul ilmu seorang alim yang alim dan i...

Tokoh-Tokoh Empirisme

Tokoh-Tokoh Empirisme   Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume. baca juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-filsafat-pendidiakan.html a.John Locke (1632-1704)    Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke : Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). ...