Skip to main content

KRITIK SEJARAH FAZLUR RAHMAN; UPAYA MENCAIRKAN HADITS NABI


BOOK REVIEW
KRITIK SEJARAH FAZLUR RAHMAN;
UPAYA MENCAIRKAN HADITS NABI[1]

Review Buku Islamic Methodology In History Karya Fazlur Rahman



Abstraksi: Menelaah metodologi pemikiran Islam (Islamic Metodology) dari perspektif sejarah dewasa ini dirasa sangatlah perlu. Tujuannya adalah untuk melakukan kritik terhadap pemikiran Islam ortodok yang menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Dengan kembali membuka pintu ijtihad, umat Islam diharapkan bisa melakukan sebuah penafsiran yang kreatif, bebas, dan kontekstual terhadap sumber-sumber pokok ajaran Islam—al-Qur’an dan sunnah Nabi—sehingga bisa memberikan jawaban yang tepat bagi problem umat masa kini.
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam konteks pemikiran Islam, Fazlur Rahman[3] dikenal sebagai salah seorang pemikir besar. Ahmad Syafii Maarif, dalam tulisan pengantar buku Islam karya Fazlur Rahman terbitan Indonesia menyatakan, bahwa pada diri Rahman, berkumpul ilmu seorang alim yang alim dan ilmu seorang orientalis yang paling beken.[4] Penilaian semacam ini mungkin nampak berlebihan. Namun, bila karya-karyanya dibandingkan dengan karya ulama-ulama klasik maupun karya-karya orientalis, kita akan percaya akan kedalaman ilmu pengetahuannya.
Abdul A’la dalam pendahuluan bukunya, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, menyatakan bahwa Fazlur Rahman adalah salah seorang tokoh yang secara intelektual dididik dan dibesarkan dalam tradisi keagamaan Islam yang kuat dan dunia keilmuan Barat yang kritis. Pengembaraan intelektualitasnya akhirnya mengantarkan dia ke arah mazhab neo-modernisme[5] dengan wacana yang bersifat humanitarianistik dan sarat dengan pemikiran yang liberal, tapi tetap otentik sekaligus historis.[6] 
Melalui karya-karyanya; Prophecy in Islam (1958), Ibn Sina, De Anima (1959), Islam (1968), Major Themes of The Qur’an (1980), Islamic Education and Modernity (1982), kita bisa melihat bahwa pemikiran Rahman mencakup banyak bidang. Rahman menulis tentang filsafat, teologi, sejarah, agama, dan pendidikan. Pemikiran Rahman yang bersifat historis misalnya, nampak dalam bukunya Islamic Methodology in History, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Membuka Pintu Ijtihad terbitan Pustaka Bandung.
Buku Islamic Methodology in History pada mulanya ditulis dalam bentuk artikel-artikel yang dipublikasikan dalam jurnal Islamic Studies, mulai bulan Maret 1962 sampai Juni 1993. Namun, khusus bab 4, yang berjudul “Ijtihad in the Later Centuries”, adalah tambahan baru. Karya ini tidaklah bersifat kajian historis murni yang deskriptif, tapi juga mempunyai sisi preskriptif. Karya ini bertujuan untuk memperlihatkan evolusi historis terhadap aplikasi prinsip-prinsip dasar pemikiran Islam yang empat: al-Qur’an, sunnah, ijtihad, dan ijma’, yang menjadi kerangka bagi semua pemikiran Islam, dan juga untuk menunjukkan peran aktual keempat unsur tersebut dalam perkembangan pemikiran Islam.[7]
Dari karyanya tersebut, terlihat bahwa kegelisahan akademik yang dirasakan Rahman sebagai intelektual Muslim adalah kemandegan atau stagnasi intelektual yang dirasakan oleh sebagian besar umat Islam. Tak pelak, ketika umat Islam dihadapkan dengan berbagai problem kekinian, seakan-akan menjadi ‘gagap’ dan tak mampu memberikan jawaban yang semestinya. Semua itu, oleh Rahman disinyalir disebabkan oleh tertutupnya pintu ijtihad, meskipun tidak pernah diyatakan secara formal.[8]
Fazlur Rahman selama ini juga menyayangkan lesunya pembaharuan pemikiran Islam atau tidak adanya upaya-upaya kreatif dan berani, melalui proses pemikiran yang serius, jelas, dan sistematis, sehingga umat Islam belum mampu menghadari tantangan zaman (modernitas) sesuai dengan ajaran Islam. Selama ini, sikap ekstrim yang diambil umat Islam untuk menjawab persoalan kontemporer adalah laissez faire (masa bodoh) terhadap kekuatan-kekuatan baru yang menghanyutkan dan sikap melarikan diri ke masa lampau yang dilakukan secara emosional.[9] Sikap demikian pada akhirnya menambah kebekuan dalam metodologi pemikiran di kalangan umat Islam.
Untuk mengatasi problem intelektual akut yang terjadi di dunia Islam, Rahman menyarankan umat Islam agar meneladani generasi muslim awal, yang secara bebas, berani, dan bertanggung jawab menggunakan akal mereka untuk memahami sumber ajaran Islam yang pokok, yakni al-Qur’an dan Sunnah.[10] Bahkan, dalam banyak hal, generasi muslim awal cenderung menggunakan akal mereka terlebih dahulu, sebelum menengok pada al-Qur’an maupun Sunnah Nabi untuk menangangi kasus-kasus tertentu.[11]    
B.     Pentingnya Topik Penelitian
Dalam buku Islamic Metodhology in History, Fazlur Rahman memilih topik metologi Islam sebagai topik utama penelitian. Topik kajian Rahman ini tentu sangatlah tepat sebagai pijakan awal untuk melakukan pembaharuan terhadap pemikiran Islam yang selama ini dianggap hanya bersifat semantik dan mekanis, daripada interpretatif dan ilmiah. Kajian Rahman yang tidak hanya bersifat historis murni yang deskriptif, tapi juga mempunyai sisi preskriptif dan interpretatif, terutama saat mengkaji hadits diharapkan bisa memberikan kontribusi positif terhadap studi hadits yang selama ini banyak berfokus pada studi sanad dan matan.
Bagi Fazlur Rahman sendiri, nampaknya upaya metodologis untuk mencairkan kembali hadits-hadits Nabi ke dalam bentuk sunnah yang hidup (living sunnah) melalui studi sejarah merupakan sebuah keniscayaan. Jika umat Islam secara metodologis sudah bisa melakukan studi terhadap materi-materi hadits secara konstruktif dengan norma-norma kritisisme historis, dengan sendirinya kita akan mampu mengembangkan formula baru yang kontekstual dan adaptif terhadap persoalan umat masa kini.[12]  
C.    Pendekatan dan Kerangka Teori
Fazlur Rahman dalam karyanya ini setidaknya menggunakan dua pendekatan sekaligus, yakni pendekatan sosiologis-historis dan hermeneutis. Pendekatan sosiologis-historis digunakan Rahman ketika ia menarasikan secara baik ihwal konsep-konsep sunnah, ijtihad, ijma’ pada awal sejarah Islam, perkembangan hadits di masa lampau, gerakan hadits, perkembangan post formatif di dalam Islam, ijtihad di masa-masa awal, hingga perubahan sosial dan sunnah di masa lampau. Dengan pendekatan ini, nampaknya ia ingin mengantarkan pembaca untuk mengetahui secara baik perubahan atau evolusi historis terhadap aplikasi prinsip-prinsip dasar pemikiran Islam yang empat: al-Qur’an, sunnah, ijtihad, dan ijma’, yang menjadi kerangka bagi semua pemikiran Islam.
Sedangkan pendekatan hermeneutis digunakan Rahman ketika ia menginterpretasikan berbagai teori atau konsep yang berasal dari intelektual Muslim klasik maupun orientalis, baik ketika membahas konsep-konsep sunnah, ijtihad, dan ijma’. Bahkan, di dalam karyanya ini, secara serius Rahman banyak menginterpretasikan hadits-hadits yang bersumber dari Nabi, yang banyak dikutip oleh ulama Islam klasik, semacam Imam Syafii dalam gerakan verbalisasi atau formalisasi hadits. Dengan pendekatan ini, Rahman berhasil menafsirkan hadits menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut konteks historisnya yang jelas.[13]
Berdasarkan pendekatan yang digunakan di atas, nampak jelas bahwa Rahman menyarankan agar kita menjauhi pemahaman tekstual yang selalu menerima pengertian-pengertian harfiah dari suatu teks kegamaan. Rahman tidaklah menolak hadits, karena bagaimana pun juga, hadits tetaplah mempunyai fungsi untuk menuntun kita kepada Sunnah Nabi dan prinsip atau ideal moral dari sunnah tersebut. Dengan kata lain, Rahman ingin agar setiap penelaahan teks keagamaan haruslah dipadukan dengan semangat kritisisme historis dan historis sosiologis, serta menafsirkan secara bebas dengan mementingkan ideal moral dan prinsip-prinsip dan memberikan tekstur yang baru kepada ideal moral dan prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan sejarah kontemporer. Cara kerja penafsiran hadis Rahman bisa digambarkan sebagaimana berikut.

Dari kerangka teori di atas, nampak bahwa hadits tetap difungsikan untuk menangkap petunjuk Tuhan tapi tidak dengan mengikuti pengertian-pengertian tekstualnya. Hadis juga hanya difungsikan untuk menemukan Sunnah Nabi. Kemudian, untuk selanjutnya dilihat apakah nilai prinsipil universal yang terkandung di dalamnya yang bisa digunakan untuk menjawab problem kontemporer. Nilai ideal prinsipil universal itu hanya bisa diperoleh melalui pembacaan historis kritis dan sosiologis dengan kebebasan penuh dan bertanggung jawab.
baca juga:https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pemikiran-dan-gagasan-pendidikan-mukti.html
D.    Hasil Penelitian
Berdasarkan kerangka teori yang dibangunnya tersebut, Rahman mencontohkan beberapa praktik Umar bin Khattab saat mengambil suatu keputusan hukum, yang seringkali dianggap berseberangan dengan pengertian-pengertian tekstual hadits Nabi maupun ayat al-Qur’an. Misalnya dalam kasus pembagian tanah musuh yang telah dikalahkan pasukan Muslimin di masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Pada saat itu, Umar memerintahkan agar tanah-tanah hasil rampasan perang tidak dibagikan pada kaum pejuang dari kalangan umat Islam. Kebijakan ini bertentangan dengan kebijakan yang ditetapkan Nabi sebelumnya. Ketika kebijakannya itu mendapatkan protes dari para sahabat lainnya, Umar berdalih bahwa bila tanah-tanah itu diberikan kepada para pejuang, niscaya mereka akan berhenti berjuang. Beberapa waktu kemudian terlihat bahwa kebijakan Umar itu lebih didasarkan kepada pertimbangan keadilan sosial-ekonomi. Umar meninggalkan pengertian tekstual Hadis Nabi, dan beralih kepada kebijakan yang didasarkan kepada nilai keadilan. Nilai keadilan inilah yang sebenarnya menjadi nilai prinsipil universal ideal dari Sunnah Nabi. Bukan pengertian tekstualnya Hadis Nabi. [14]
Dari contoh penafsiran di atas, terlihat bahwa meskipun Umar secara formal jelas meninggalkan Sunnah Nabi di dalam sebuah masalah yang penting, tapi hal itu justru dilakukannya untuk menegakkan esensi dari Sunnah Nabi itu sendiri.[15] Nampak jelas pula bahwa Sunnah Nabi hendaknya tidaklah dipahami sebagai sebuah produk atau pun norma hukum yang kaku dan statis, melainkan sebagai sebuah norma atau produk hukum yang dinamis. Sehingga, kita bisa menggunakan ideal moral atau prinsip-prinsip Sunnah Nabi yang hidup untuk merumuskan formula hukum baru, yang sesuai dengan konteks kekinian.   
E.     Kontribusi terhadap Pengetahuan
Melalui karya Islamic Methodology in History ini, setidaknya ada empat kontribusi besar yang diberikan Fazlur Rahman dalam pengembangan pemikiran Islam. Pertama, karya ini memberikan pengetahuan baru ihwal metode kritik berbasis sosiologis historis terhadap hadis Nabi yang selama ini didominasi oleh metode kritik sanad yang menjadi manhaj paling absah untuk menilai otentisitas hadis. Kedua, karya ini memberi jalan alternatif atas kebekuan metodologis pemikiran Islam, khususnya pemikiran hukum Islam yang selama ini mensandarkan diri pada bangunan metodologis ulama madzab yang beraroma formalistik, skripturalistik, dan atomistik. Ketiga, seluruh bangunan pemikiran Rahman, khususnya yang terkait dengan pemikiran atas sumber-sumber syari’ah, (al-Qur’an dan Sunnah), adalah sumbangan signifikan untuk merekonstruksi metode-metode istinbath sehingga lebih relevan dengan problem-problem masa kini. Empat, karya ini menginformasikan kepada kita bahwa pintu ijtihad bagi umat Islam belum sepenuhnya tertutup, sehingga memungkinkan setiap intelektual Muslim untuk melakukan kajian terhadap teks-teks keagamaan secara ilmiah, bebas, dan bertanggung jawab.
F.     Kritik Pemikiran
Tidaklah mudah melakukan kritik terhadap pemikiran Fazlur Rahman dalam buku Islamic Methodology in History. Yang bisa penulis lakukan hanyalah membandingkan pemikiran Fazlur Rahman dengan pemikiran intelektual Muslim lainnya, yang sama-sama ingin melakukan kritik metodologis pemikiran Islam. Dalam hal ini, Ziauddin Sardar, seorang penulis, kritikus, dan intelektual Islam terkemuka patutlah dikedepankan.
baca juga: https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/quo-vadis-metodologi-tafsir-di-indonesia.html
Bila Fazlur Rahman mengusulkan kita untuk mencari ideal moral dari Sunnah Nabi atau teks keagamaan melalui kajian historis yang kritis untuk menjawab persoalan kontemporer, maka Sardar, dalam karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul “Kembali ke Masa Depan”, yang diterbitkan Serambi, berpendapat sebaliknya. Sardar menyatakan bahwa penafsiran historis selalu menyeret kita kembali kepada sejarah dan konteks masa silam yang sudah beku dan mengeras—atau lebih buruk lagi—kepada konteks yang diterima dan diromantisasi yang tidak pernah ada dalam sejarah. Karena inilah, Sardar mengusulkan kita untuk menggunakan syariat sebagai metodologi pemecahan masalah, bukan sebagai produk hukum yang sudah jadi.[16]
Jadi, usulan Fazlur Rahman agar kita mencari ideal moral dari suatu teks keagamaan, tidaklah bisa kita terima secara mentah. Sebab, untuk melakukan kajian teks kegamaan secara mendalam, kita dituntut untuk benar-benar memahami konteks sejarah di mana teks tersebut diturunkan secara utuh. Sudah pasti, untuk memahami konteks sejarah tersebut secara utuh tidaklah semudah membalikkan telapan tangan. Dengan kata lain, mengkaji konteks sejarah turunnya teks tidaklah bisa dilakukan secara serampangan.
Namun, sekiranya, kita berpaling pada pandangan Sardar, maka kesulitan semacam itu, tidaklah akan kita temui. Yang perlu kita lakukan hanyalah menggunakan kaidah-kaidah syariah yang sudah ada dan dirumuskan oleh ulama-ulama klasik untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan umat sepanjang zaman, semisal kaidah atau prinsip maslahah, yang mengedepankan kemaslahatan publik, atau prinsip ad-dharuriyyat al-khamshah yang menjamin hak-hak asasi manusia sebagai individu.

DAFTAR PUSTAKA
Abd A’La. Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia. 2003. Jakarta: Paramadina.
Fazlur Rahman. Islam.1993. Bandung: Penerbit Pustaka.
-------------------tt. Islamic Metodhology in History. 1964. Islamabad: Islamic Research Institute.
-------------------tt. Membuka Pintu Ijtihad. 1995. Bandung: Penerbit Pustaka.
Ziauddin Sardar. Kembali Ke Masa Depan: Syariat sebagai Metodologi Pemecahan Masalah. 2003. Jakarta: PT Serambil Ilmu Semesta.




[1] Makalah ini dipresentasikan pada 9 November 2014, untuk memenuhi tugas Book Review mata kuliah Pendekatan Pengkajian Islam.
[2] Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Islam.
[3] Fazlur Rahman, intelektual Islam Pakistan, memperoleh gelar M.A. dalam bahasa Arab dari Universitas Punjab, kemudian D. Phil. dari Universitas Oxford pada tahun 1951. Ia pernah mengajar di Universitas Durham untuk beberapa waktu, kemudian di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Central Institute of Islamic Research, Karachi sejak 1961-1968. Kemudian memutuskan mundur untuk menjabat sebagai guru besar tentang pemikiran Islam di University of Chichago, Amerika Serikat. Lihat Fazlur Rahman, Islamic Metodhology in History, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1964).
[4] Ahmad Syafii Maarif, “Sebuah Pengantar”, dalam Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1993), hal. vi
[5] Neo-modernisme adalah gerakan pembaharuan Islam yang muncul sebagai jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada gerakan-gerakan Islam yang mucul sebelumnya, yakni revivalisme pra modernis, modernisme klasik, dan neo-revivalisme. Gerakan ini hadir untuk mengkritisi dan sekaligus mengapresiasi aliran-aliran pemikiran Islam yang lain, yang timbul sepanjang sejarah perjalanan umat Islam, serta juga pemikiran yang berkembang di Barat.
[6] Abd A’La, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal. 1
[7] Fazlur Rahman, Islamic Metodhology in History, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1964), hal. v
[8] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), hal. 227
[9] Ibid, hal. 268
[10] Ibid, hal. 20
[11] Ibid, hal. 15
[12] Ibid, hal. 269
[13] Ibid, hal. 122
[14] Ibid, hal. 271-275
[15] Ibid, hal. 274
[16] Ziauddin Sardar, Kembali Ke Masa Depan: Syariat sebagai Metodologi Pemecahan Masalah, (Jakarta: PT Serambil Ilmu Semesta, 2003), hal. 31

Comments

Popular posts from this blog

Tokoh-Tokoh Empirisme

Tokoh-Tokoh Empirisme   Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume. baca juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-filsafat-pendidiakan.html a.John Locke (1632-1704)    Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke : Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). ...

SYARI’AH: SEJARAH PEMAKNAAN ISLAM

BOOKREVIEW KHALIL ABDUL KARIM SYARI’AH: SEJARAH PEMAKNAAN ISLAM  A.       Pendahuluan 1.       Latar Belakang Masalah Syari’at dalam perspektif islam, merupakan hukum-hukum Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Syari’at dalam pengertian ini adalah wahyu, baik dalam pengertian al-wahy al-mathluww (al-qur’an) maupun dalam pengertian al-wahy ghair al-mathluww (sunnah). Meminjam istilah Satria Effendi M. Zein, syari’at adalah al-Nushush al-Muqaddasah ( nash-nash yang suci) dalam al-qur’an dan al-sunnah al-Mutawatirah (hadis yang mutawatir ). [1] Syari’at dapat dipahami sebagai ajaran Islam yang sama sekali tidak dicampuri oleh daya nalar manusia. Syari’at merupakan wahyu Allah secara murni, karenanya ia bersifat mutlak, tetap, kekal, dan tidak boleh diubah. Dengan argumentasi ini, maka syari’at merupakan sumber fiqh, karena fiqh merupakan pemahaman yang mendalam terhadap al-Nushush al-Muqaddasah te...

Pengertian Filsafat Pendidiakan

Filsafat merupakan pandangan hidup yang erat hubungannya dengan nilai-nilai sesuatu yang dianggap benar. Jika filsafat dijadikan pandangan hidup oleh sesuatu masyarakat, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Jelaslah bahwa filsafat sebagai pandangan hidup suatu bangsa berfungsi sebagai tolok ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus dicapai. Adapun untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dilakukan dengan berbagai cara salah satunya lewat pendidikan. [1] Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Melalui pendidikan inilah, kita dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-sunnah. Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kita terhadap ajaran Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam yang kita terima. ...

PERAWATAN JENAH

PERAWATAN JENAH   Ada hal yag harus dilakukan bagi orang yang telah mati sebelum di lakukan perawatan terhadap jenazah antara lain, yaitu; 1.     Menutup matanya yang terbuka sambil berdoa إن الروح إذا قبض تبع البصر “sesungguhnya jika ruh telah di cabut, maka pandangan matanya mengikuti” 2.     Menutup mulutnya yang terbuka 3.     Melepas semua pakaian yang di kenakan dan menggantinya dengan selimut (kain yang menutupi mulai dari kepala hingga kaki) sebab pakaian yang melekat waktu kematiannya menyebabkan dia cepat rusak 4.     Hadapkanlah mayit tersebut kearah qiblat 5.     Gunakanlah sesuatu yang membuat ruang mayit tersebut menjadi harum, seperti kemenyan dan sebagainya. Artinya ruangan yang ditempati tidak bau. 6.     Dan perut mayit itu seyogyanya diberi benda asalkan bukan al-qur’an. Seprti hanya kaca dan lainya. 7.     Membebaskan mayit tersebut dar...

ISLAM LIBERAL DAN PENDIDIKAN ISLAM

JURNAL ISLAM LIBERAL DAN PENDIDIKAN ISLAM (Studi Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid) Email: subiantoro810@gmail.com Abstrak Tulisan ini memotret bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid terhadap Islam Liberal yang dulu Wacana Islam Liberal Indonesia menghentak republic ini dengan menawarkan wacana baru yang sangat kontradiktif dengan wacana islam mainstream yang cenderung revivalis, monolit, formalis-syariah sehingga mengarah intoleran karena tidak adanya kompromi, tetapi   menurut Abdurrahman Wahid bahwa Islam Liberal, datang sebagai warna yang menawarkan keislaman yang relevan dengan kondisi riel masyarakat Islam, bukan kontradiktif dengan realitas masyarakat tanah air, serta toleran Islam buat semua umat beragama, inklusif dan terbuka. dari sinilah islam liberal tidak hanya bermain dalam isu yang abstrak yang tidak bisa dipahami oleh orang lain, melainkan dapat merambah gagasan yang bersifat praktis dan memberikan harapan bagi masa depan kemanusiaan, karena islam...

Study Pemikiran Imam Zarkasyi Tentang Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia

A.                 Latar Belakang Pendidikan memang merupakan kunci kemajuan, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu masyarakat atau bangsa, maka akan diikuti dengan semakin baiknya kualitas masyarakat atau bangsa tersebut. [1] All of the problem that confront the muslim word today, so the educational problem is the most challengging. That future of the muslim world will depend upon the way it respons to this challenge,” yakni dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara bagaimana dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan ini. Statment ini menggaris bawahi bahwa masa depan Islam di Indonesia juga tergantung kepada bagaimana cara umat Islam merespons dan memecahkan masalah-masalah pendidikan yang berkembang di Indonesi...