GAMBARAN AWAL
DIRASAH ISLAMIYAH DI PTAI INDONESIA
1.Pendahuluan
Pada awalnya masyarakat Indonesia berharap bahwa pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) baik negeri maupun swasta ( lAIN, STAIN,UIN dan PTAIS) dapat memenuhi dua harapan sekaligus. Pertama adalah harapan yang terkait dengan eksistensinya sebagai lembaga “keilmuan” (akademis). Sebagai lembaga keilmuan, ía dituntut untuk dapat memenuhi tugas-tugas pendidikan dan pengajaran, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan agama Islam serta pengabdian pada masyarakat. Untuk itu, prasyarat minimal yang harus dipenuhi adalah kemampuan bahasa asing (Arab dan Inggris) bagi para dosen dan mahasiswanya, perpustakaan yang representatif baik dari segi gedung maupun koleksi buku-buku dan jurnal-jurnal studi keislaman dalam dan luar negeri untuk kegiatan penelitian dan penerbitan. Kedua adalah harapan yang terkait erat dengan kelembagaan PTAI ( lAIN, STAIN, UIN dan PTAIS) sebagai lembaga pendidikan “keagamaan” Islam. Harapan yang kedua ini, mempunyai dasar pemikiran, motivasi dan tujuan yang sedikit atau malah sama sekali berbeda dari tujuan yang pertama, lantaran sifat dasar “keilmuan” dan “keagamaan” yang memang berbeda.
Dengan begitu, berbeda dari keberadaan perguruan tinggi lain seperti IKIP, ISI, UGM atau IPB), maka PTAI menghadapi sebuah dilemma. Sebuah dilemma di atas dapat berakibat pada bertumpang-tindihnya misi keilmuan oleh misi keagamaan dan begitu pula sebaliknya. Adanya dilemma ini, selain berpengaruh pada bentuk dan model kelembagaan eksternalnya --seperti bentuk perpustakaan dan koleksi buku dan jurnal yang diidealkannya--, juga terlebih-lebih lagi berpengaruh pada motivasi atau dorongan dari dalam (inner motivation) yang dirasakan oleh para dosen dan mahasiswa yang bergulat dalam bidang keilmuan. Studi keilmuan mengandaikan perlunya pendekatan kritis, analitis, empiris, historis, sedang pendekatan lembaga keagamaan lebih menuntut para pengelola dan civitas akademiknya untuk lebih menonjolkan sikap pemihakan, idealitas, bahkan sering kali diwarnai corak apologis.
Para mahasiswa dan juga para dosen, seringkali, masih sulit membedakan secara tegas-proporsional di mana wilayah keilmuan dan di mana wilayah keagamaan. Sifat keilmuan yang lebih menuntut sikap kritis, analitis, metodologis, rasional, historis dan empiris serta penonjolan sikap sebagai “pengamat”, berbeda dengan sikap keagamaan yang lebih menuntut pada pemihakan subyektif-sepihak (involved), taqlidiyyah, amalan-amalan praktis dan penonjolan sikap sebagai “aktor”.
Adanya dilemma dan sekaligus ketegangan tersebut, sebenarnya, tidak perlu terlalu dirisaukan lantaran sebenarnya di dalamnya terkandung dinamika internal yang secara dialektis-timbal balik memberi manfaat bagi kedua sisi tuntutan tersebut. Masing-masing mempunyai fungsi dan perannya sendiri-sendiri, tanpa harus mengetepikan yang satu dan lainnya. Jika salah satu sisi tuntutan tersebut mencoba mendominasi dan lebih-lebih menyingkirkan yang lain, maka ketegangan yang semula bersifat kreatif tersebut berubah menjadi “dominasi” yang mematikan kreatifitas. Para agamawan yang committed dan involved akan kurang apresiatif terhadap kegiatan keilmuan dan begitu pula sebaliknya, para ilmuan dalam wilayah “Islamic Studies” bisa jadi kurang apresiatif terhadap nilai-nilai norma keagamaan yang bersifat eksistensial-substansial dan sekaligus fungsional.
Berbeda dari aktifitas dan ruang gerak apa yang sering disebut “Religious Studies” atau “Comparative Study of Religions” atau History of Religions” (Religion-wissenschaft), sikap mental dan metodologi kritis-historis-fenomenologis jauh lebih ditekankan, maka kinerja “Islamic Studies” (Dirasat lslamiyah) di lAIN, STAIN,UIN dan PTAIS, selama ini secara umum, agaknya, masih jauh lebih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, apologis sehingga kadar muatan analisa kritis, metodologis, historis-empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.
Sampai kapanpun pertanyaan bagaimana bentuk hubungan yang proporsional antara sifat keilmuan Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah di lAIN, STAIN,UIN atau PTAIS di satu pihak, dan sifat lembaga keagamaan Islam di lain pihak akan selalu timbul-tenggelam sepanjang masa. Anehnya, karena kontroversi yang berkepanjangan antara penganut dan pendukung dua trend pemikiran Keislaman, yakni antara pendukung Islam sebagai das sollen dan pendukung Islam sebagai das sein sepanjang sejarah kebudayaan Islam, yang terbungkus dalam berbagai format diskursus yang mewadahinya, baik dalam format diskursus Hukum (Fiqh), Kalam, Falsafah ataupun Tasawwuf, bahkan juga dalam diskursus Qur’anic /Hadis Studies, maka Islamic Studies sebagai Program studi merupakan bahan nilai kajian yang amat kaya nuansa sehingga tiada habis-habisnya digali oleh para ilmuan dan peneliti di berbagai perguruan tinggi ternama di dunia dan pusat-pusat Studi Keislaman di negara-negara Timur-Tengah, Amerika, Eropa maupun Jepang.
Islamic Studies yang bersifat empiris-historis-- yang sejauh mungkin tanpa harus meninggalkan aspek moralitas dan normatifitas aI-Qur’an-- adalah bentuk program studi yang prospektif untuk dikembangkan di lingkungan Universitas atau Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta dalam upaya menjabarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan khususnya tentang Pendidikan Tinggi. Harapan ini muncul mengingat Perguruan Tinggi Swasta Islam secara relatif Iebih leluasa dalam merancang masa depannya sendiri-sendiri dengan didukung oleh dana yang bersifat swakelola.
Merespon sinyalemen tersebut, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah berakar pada kesukaran seorang agamawan yang committed-involved untuk dapat membedakan secara jernih dan tegas batas-batas antara “aksiomatik positivistik monistik” dan “asumtif probabilistik pluralitik” keberagamaan manusia, Iebih-Iebih dalam wilayah keberagamaan Islam. Terjadi proses perleburan dan ketertumpangtindihan antara wilayah ontologi, epistemologi dan axiologi, sehiñgga berakibat sulitnya pembedaan dan pemilah-milahan secara akademis mana batas-batas. wilayah antara ketiganya?
2. Dilemma Islamic Studies Di Indonesia
“Islamic Studies” atau juga disebut “Dirasat Islamiyah” tidak lain dan tidak bukan adalah kegiatan keilmuan, untuk tidak mengatakan hanya sebagai kegiatan keagamaan. Jika Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah memang masuk dalam wilayah “Keilmuan”,maka telaah scientifik-akademis (keilmuan) terhadap bangunan atau rancang bangun keilmuan Islamic Studies tidak bisa tidak juga perlu dipertimbangkan. Berdasarkan telaah dan klaim akademis, hampir semua jenis kegiatan ilmu pengetahuan, baik natural sciences maupun social sciences, bahkan religious sciences, selalu mengalami apa yang disebut dengan pergeseran gugusan pemikiran keilmuan. Kegiatan ilmu pengetahuan selamanya bersifat historis, lantaran Ia dibangun, dirancang dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bersifat historis. .
Dengan begitu, sangat dimungkinkan terjadinya perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali, serta penyempurnaan rancang bangun epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan mandeg dengan sendirinya alias bersifat statis. Islamic Studies dalam artian kegiatan keilmuan sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk dapat dirubah, dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan sesuai dengan semangat jaman yang mengitarinya. Oleh karena itu studi keislaman sebenarnya tidaklah bersifat “statis”, yang tidak boleh diubah-ubah, dan tidak boleh dirumuskan kembali. Sebaliknya ia, adalah bersifat “dinamis”, qabilun Ii al-tagyir wa al-niqas wa al-tajdid, sesuai dengan arus dan tantangan perubahan jaman yang selalu dialami oleh manusia Muslim itu sendiri.
Dalam Islamic Studies, aturannya, juga berlaku apa yang diistilahkan oleh Thomas Kuhn dengan “normal science” dan “revolutionary science”. Jika pergeseran gugusan pemikiran dari wilayah “normal science” ke wilayah “revolutionary science” tidak dimungkinkan, maka sebenarnya predikat “Studies” tidak tepat lagi dikenakan padanya. Barangkali Ia lebih tepat disebut sebagai “Islamic doctrine” atau dogma. Kemungkinan terjadinya perubahan dalam wilayah Islamic Studies, sebenarnya tidaklah terlalu perlu dikhawatirkan lantaran inti pemikiran keislaman yang berporos pada Tauhid dan bermoralitas Qur’an akanlah tetap seperti itu adanya. Hanya saja rumusan-rumusan baru, pendekatan-pendekatan kontemporer, bahkan uraian yang aktual-kontekstual tidak dapat tidak harus diupayakan dan diprogramkan mengingat perubahan cara berpikir manusia era teknologi-modern, yakni, manusia abad ilmu dan teknologi industri serta globalisasi budaya tidaklah sama dan sebañgun dengan cara dan pola berpikir manusia era pra-scientific-agraris. Setidaknya, bahasa dan pola berpikir yang digunakan sudahlah harus disesuaikan dengan muatan pengalaman manusia modern era ilmu dan teknologi, tanpa harus meninggalkan warisan khazanah keagamaan Islam. Jika hal ini tidak dilakukan, maka diskursus “Islamic Studies” akan tertinggal dari laju dinamika zaman.
Yang ingin digaris bawahi adalah bahwasanya pemanfaatan berbagai metoda keilmuan dalam wilayah studi keislaman in the new style (fashion) bukanlah dimaksudkan untuk mereduksi ajaran agama Islam hanya sebatas sebagai fenomena sosial belaka, namun lebih dari itu. Lewat pemanfaatan berbagai metode dimaksud ini, manusia Muslim akan diperkernalkan bagaimana sesungguhnya manusla Muslim dalam wilayah ajaran (das sollen) dan bagaimana pula manusia Muslim dalam dataran senyatanya (das sein). Pergumulan antara keduanya sangat menarik untuk diketahui, dipelajari, direnungkan secara mendalam, dirumuskan sehingga akan dapat memberi sumbangan yang berharga bagi pengembangan studi keislaman. Dengan demikian, para peminat studi keislaman juga akan dapat diantarkan ke depan pintu gerbang memahami agama Islam tidak hanya sebagai doktrin yang bersifat monolitik, tetapi sekaligus juga dapat memahami Islam yang bersifat pluralistik. Keanekaragaman masyarakat Muslim di seantaro dunia adalah merupakan kenyataan yang tidak bisa dilepaskan sama sekali dan nuansa ajaran agama Islam yang bersifat doktrinal-monolitik.
3. Perlu“Tradisi Baru” Islamic Studies di Indonesia
Bertitik-tolak dari tradisi program studi Islamic Studies yang sudah mapan dan berjalan rutin di lAIN, STAIN,UIN dan PTAIS selama ini, adalah lebih banyak terkonsentrasikan pada apa yang disebut-sebut oleh para ahli antropologi sebagai “ortodoksi”. Yakni, formulasi tradisi Islam “literer”, “Ideal” yang diandaikan bersifat universal. Hampir seluruh kajian Islamic Studies di Barat, khususnya yang berkembang di Iingkungan orientalis in the old fashion’ maupun di Timur Tengah bersandar ke pada “teks-teks” dan “naskah-naskah” keagamaan yang disusun dan dikarang oleh para Fuqaha, Falasifah, Mutakallimun, Mufassirun dan pan tokoh Sufi pada suatu abad dan kondisi sosial tertentu, namun “formulasi” dan konsepsi” tersebut diandaikan memiiki sifat yang universal.
Tradisi kajian keagamaan yang semata-mata bersandar kepada studi “naskah”, “teks-teks” klasik tersebut yang disebut-sebut oleh para ahli antropologi sebagai “ortodoksi”. Dalam bahasa teknis keagamaan Islam istilah ortodoksi barangkali tepat untuk padanan “al-aql al-dini al-qadim al-lahuti” tersebut. Meskipun tradisi kajian keislaman yang lebih menitikberatkan pada aspek “al-aql al-dini al-qadim al-lahuti” tersebut masih berjalan dan berpengaruh kuat di berbagai tempat sampai sekarang, namun kegiatan keilmuan ini dirasakan terlalu mengecilkan arti dan makna “al-aql al-dini al-jadid al-istitla’i” atau “ortopraksi”. Kajian Islam, atau lebih tepat disebut kajian masvarakat Islam yang dimasukkan dalam kategori ortopraksi lebih menekankan pada aspek “ortopraksi” dalam kehidupan masyarakat Muslim senyatanya, yang beranekaragam coraknya di seluruh dunia Ortopraksi —sebagai pelengkap dari Ortodoksi— Iebih memfokuskan studi dan telaahnya terhadap apa yang senyatanya dipraktekkan dan digumuli, oleh sekelompok masyarakat Muslim tertentu dan pada masá tertentu pula.
Menyadari sepenuhnya, bahwa tradisi “al-aql al-dini al-qadim al-lahuti ” atau ortodoksi, sebenarnya, hanya mewakili sekelompok kecil-terbatas dalam masyarakat luas —untuk tidak mengatakan lapisan kelas elit masyarakat— yang mempunyai kemampuan baca tulis secara prima, sedang masyarakat Muslim di seantero dunia tidak seluruhnya dapat terwakili dalam budaya ortodoksi, maka muncullah kecenderungan Islamic Studies yang lebih memlokuskan kajiannya pada aspek perilaku dan pergumulan masyarakat Muslim dalam kehidupan mereka sehari-hari baik secara ritual maupun personal. Dengan lain ungkapan, masyarakat ilmuwan di lingkungan Islamic Studies mulai mengakui adanya perbedaan antara Islam sebagai sistem doktrin --yakni seperangkat kaedah Hukum (Fiqh) dan Akidah (Kalam), yang terwakili dalam istilah “ortodoksi”,— dengan kenyataan dan realitas pengalaman kehidupan sehari-hari yang secara nyata dilakukan dan dihayati oleh kaum Muslimin. Tampak sekali pengaruh metodologi antropologi budaya dalam kajian Islam model ini.
Hanya lewat pintu masuk pemahasan Islam yang didekati lewat pendekatan “ortopraksi”, maka kajian historis-empiris dalam wilayah Islamic Studies dapat dimungkinkan.untuk dikembangkan Iebih lanjut. Islam tidak lagi dapat dipahami secara monolitik, tapi dipahami secara pluralistik, “open ended”, historis-empiris’. Berbeda dengan kajian Islam yang bersifat ortodoksi, yang agaknya berusaha menerangkan keberagaman Islam dalam dataran yang bersifat idealistik-monolitik, maka kajian Islam dalam dataran ortopraksi ini sangat kaya nuansa, multidimensional approaches, multidiskursus, dan Iebih tampak wama sosiokulturalnya, dibandingkan warna legal-formalnya sesuai dengan jalinan dan anyaman pengaruh budaya setempat yang telah berkembang selama ratusan tahun sebelum hadirnya Islam maupun dengan proses dialog dengan budaya modern-teknologi kontemporer.
Lewat pendekatan kajian Islam sebagai ortopraksi, maka dimungkinkan munculnya uraian-uraian yang segar tentang keberagaman Islam yang bersifat unik, spesifik, khas, yang berbeda dari bangsa, wilayah, atau daerah yang satu dan lainnya, sekaligus akan memperluas cakrawala pemahaman perbedaan penghayatan dan pengamalan dan pergumulan Islam yang tumbuh subur di berbagai tempat di seluruh dunia. Secara historis empiris-kritis, uraian demikian dapat dimungkinkan dan tidak perlu terlalu dirisaukan oleh kekhawatiran yang berlebihan akan melencengnya ajaran Islam dari format ortodoksi. Bukankah ortodoksi itu sendiri juga diproduk oleh generasi tertentu dalam sejarah kebudayaan Islam? Antara keduanya, yakni antara sisi al-aql al-dini al-qadim al-lahuti dan al-aql al-dini al-jadid al-istitla’i atau antara sisi Ortodoksi dan Ortopraksi akan saling mempengaruhi, dan saling memberi masukan serta koreksi untuk perbaikan dan penyempumaan lebih lanjut. Masukan dan kritik akademis ini tidak mungkin dapat muncul secara wajar dan alami, jika keduanya secara eksklusif berdiri seridiri-sendiri.
Memperluas jangkauan dan scope Islamic Studies lewat pemahaman dan penekanan pada keberanekaragaman (pluralitas) ortopraksi berarti juga mengakui keberadaan dan sekaligus menggaris bawahi perlunya memanfaatkan metodologi ilmu-ilmu sosial yang berkembang sejak abad ke 18 dan l9. Sedang diskursus Islamic Studies —lewat format kajian al-aql al-dini al-qadim al-lahuti yang mulai terbentuk pada abad-abad ketika proses “ortodoksi” telah terbentuk secara kokoh pada abad ke 10 Hijriyyah,-- dibangun ketika ilmu-ilmu sosial (Social Sciences) belum ditemukan seperti yang dijumpai saat sekarang ini. Dalam hubungan ini, Hasan Hanafi, dalam penelitiannya, justru menilai menggarisbawahi kenyataan menghilangnya wawasan kemanusiaan (insaniyyat) dan kesejarahan (tarikhiyyat) dalam struktur bangunan keilmuan Islam.
Menurut Hassan Hanafi, perlu membangun kembali tradisi dengan menganggap berbagai khazanah keilmuan tersebut sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan bersifat historis agar dapat diapresiasikan dengan modernitas. Hassan Hanafi menunjuk sejumlah ilmu-ilmu atau pemikiran Islam klasik seperti Ilmu Kalam, Filsafat (al-Hikmah), Tasawuf, Usul Fiqh, Fiqh, Ilmu Tafsir, dan Ilmu Hadis, Ia menjelaskan bahwa pemikiran Kalam Klasik terlalu teoritis, teosentris,elitis, dan konsepsional yang statis. Sedangkan Hanafi menghendaki Ilmu Kalam itu bersifat antroposentris, praktis, populis, transformatif, dan dinamis. Untuk mentransformasikan ilmu-ilmu serta pemikiran klasik menjadi ilmu atau pemikiran yang bersifat kemanusiaan, Hanafi memberikan penawaran dengan beberapa langkah berikut ini.
Pertama, dekonstruksi. Langkah dekonstruksi ini dilakukan dengan menjelaskan aspek isinya, metodologi, dan juga penjelasan terhadap konteks sosio-historis yang melatarbelakangi kelahirannya, serta perkembangannya saat ini. Kemudian, memberikan penilaian atas kelebihan dan kekurangannya juga bagaimana fungsinya di masa sekarang.
Kedua, rekonstruksi. Langkah ini dilakukan dengan cara mentransfer teori-teori lama yang masih dapat dipertahankan -seperti rasionalisme- ke dalam perspektif baru yang didasarkan pada pertimbangan realitas kontemporer. Teori-teori tersebut selanjutnya dibangun menjadi sebuah ilmu yang berorientasi kepada kemanusiaan.
Ketiga, pengintegrasian. Langkah pengintegrasian ilmu-ilmu atau pemikiran klasik dan merubahnya menjadi ilmu kemanusiaan baru. Transformasi ilmu-ilmu yang ditawarkan Hanafi yaitu Usul Fiqh menjadi Metodologi Penelitian, Fiqh menjadi Ilmu Politik, Ekonomi, dan Hukum; Tasauf menjadi Psikologi dan Etika; Ilmu Hadis menjadi Kritik Sejarah; Ilmu Kalam/Teologi (dengan konsepnya seperti Imamah, Naql-Aql, Khalq al-Af'al dan Tauhid) secara berurutan menjadi Ilmu Politik, Metodologi Penelitian, Psikologi, dan Psikologi Sosial, Filsafat (dengan konsep-konsepnya seperti mantiq, Tabi'iat) secara berurutan menjadi Metodologi Penelitian, Fisika, Psikologi Sosial, dan Sosiologi Pengetahuan.
Untuk dapat mengapresiasi perlunya model kajian Social Sciences (ilmu-ilmu sosial), penguasaan metodologi ilmu-ilmu sosial yang berkembang pesat sejak abad-abad ke 18 dan 19, lebih-lebih lagi abad ke 20, agaknya, merupakan conditio sine qua non. Studi kritis-historis-empiris dalam wilayah Islamic Studies hanya dapat dimungkinkan jika metodologi yang dikembangkan oleb ilmu-ilmu sosial dapat disertakan dalam bangunan struktur Islamic Studies in the new style itu sendiri. Jika metodologi ilmu-ilmu sosial tersebut tidak mungkin dimanfaatkan untuk memperluas dan mengembangkan wilayah Islamic Studies, maka Islamic Studies agaknya tidak akan dapat bergeser dari wilayah tradisionalnya yang telah mapan, yakni wilayah gairu qabil li al-tagyir wa niqas wa al-tajdid. Munculnya trend pemikiran Islamic Studies lewat pintu masuk qabil li al-tagyir wa niqas wa al-tajdid, bukannya sama sekali akan menepikan tradisi kajian Islam dalam wilayah ortodoksi. Keduanya dapat berjalan bersama-sama, saling menyempurnakan kekurangan yang melekat pada masing-masing, jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, Hanya saja, yang satu memang Iebih menekankan “unitas”.. (keséragaman), teori, homogenitas, formalitas, sedang yang lain lebib menggarisbawahi pluralitas (keanekaragaman) penghayatan, praxis-historis, heterogenitas dan kekayaan kultural masyarakat Muslim di seluruh dunia.
4. Studi wilayah (Area studies) Sebagai Contoh Alternatif
Bermula dari kecenderungan dan keinginan untuk memahami lebih baik pergumulan pemikiran Islam dalam masyarakat Muslim di seluruh antero dunia, maka muncullah keinginan untuk memperluas materi Islamic Studies dalam banyak bidang. Untuk sekedar sebagai contoh/alternatif, yaitu Studi wilayah ( Area Studies) merupakqn pilihan alternatif, untuk kemudian ditambah atau dikurangi sesuai dengan idealisme dan kebutuhan Universitas dan Perguruan Tinggi Islam Swasta yang ingin menjadi “centre of excellent” dalam bidang tertentu, disertai pertimbangan yang matang akan kekuatan yang dimiliki, kehandalan staf pengajar dan peneliti, perpustakaan yang memadai dan sebagainya.
Adalah sudah matang waktunva sekarang, khususnya memasuki abad ke 21, di mana arus pemikiran postmodernisme mulai dikenal dalam wilayah pemikiran Muslim, maka kajian-kajian keislaman yang lebih bersifat studi kewilayahan (Area studies) mulai perlu memperoleh perhatian yang cukup dari para pengelola Universitas dan Perguruan Tinggi Islam Swasta. Dalam hubungan ini, sudah barang tentu, metodologi sosiologi, etnografi, antropologi, linguistik, psikologi dan penelitian sosial secara umum, tidak bisa tidak, juga harus menyatu dalam satu paket kajian Islam. Target yang ingin dicapai paling tidak adalah untuk memperluas cakrawala pemikiran dan penghayatan keislaman secara lebih luas, yang bersumber dari “praxis” keberagaman Islam di Asia Tenggara, Pakistan, Maroko, Turki atau Saudi Arabia dan sebagainya. Diupayakan jangan sampai terjadi pengetahuan orang Muslim di Indonesia terhadap Muslim Turki hanya terbatas pada penggunaan bahasa Turki sebagai ganti bahasa Arab dalam azan, --itupun hanya terjadi pada masa lalu yang sudah jauh dan lama— namun kurang begitu kenal pergumulan kultural antara pemikiran Islam pada perang dunia pertama dan post perang dunia pertama, dimana masyarakat Muslim Turki Kemalisme hampir-hampir juga terjajah seperti wilayah Muslim yang lain. Akan juga sebaliknya, jangan sampai terjadi pengetahuan manusia Muslim di wilayah Timur Tengah tentang masyarakat Muslim Indonesia hanya terbatas pada isu Kristenisasi, tanpa melihat kegiatan dan aktifitas keislaman dalam proses pendidikan dan dakwah di Indonesia.
Jika untuk meraih reputasi internasional dalam wilayah Islamic Studies pada dataran “ortodoksi”, lAIN, STAIN, UIN dan PTAIS sangat kewalahan (terlalu berat), dibandingkan dengan Universitas dan Pusat-pusat Studi Keislaman di negara-negara yang telah mempunyai tradisi Islamic Studies berpuluh tahun dengan didukung perpustakaan yang sangat lengkap, baik koleksi buku, jurnal maupun tenaga pustakawannya, maka pilihan untuk mengembangkan bentuk Islamic Studies dalam wilayah ortopraksi adalah pilihan yang cukup realistis. Pilihan ini sangat prospektif dan promising terutama jika didukung oleh good will dari pengelola Universitas atau Perguruan Tinggi Islam Swasta yang bersangkutan. Jika Perguruan Tinggi Islam atau Universitas Islam Swasta berdiri sendiri-sendiri merasa masih sangat lemah dalam berbagai segi, mengapa tidak dicari terobosan untuk saling mengisi, saling membantu dan bekerja sama dengan berbagai lembaga terkait?
Barangkali, masih agak sulit untuk membayangkan wujud konkrit dari Islamic Studies dalam scope “ortopraksi”, lantaran wilayah ini memang belum pernah tersentuh dan terpikirkan secara sungguh-sungguh dalam dunia Perguruan Tinggi Islam (swasta) di Indonesia. Jika dipetakan, setidaknya, ada enam wilayah keberagamaan Islam yang potensial untuk dikaji secara historis-empiris, yaitu:
1). Islam di Timur Tengah, sejak dan Saudi Arabia, Syuria, Iraq, Iran, Mesir, Libia, Maroko sampai Turki dan sebagainya. 2) Wilayah Afrika, sejak dari Ethiopia, Somali, Jibaoti, Kenya, Tanzania, Malawi, Mozambik, Sudan, Chad, Nigeria, Neger, Togo. Pantai Gading, Gambia, Uganda, Sinegal dan sebagainya. 3) Asia Selatan meliputi Pakistan, India, Nepal, Bangladesh, Srilangka. 4) Islam di negara-negara bekas Uni Sovyet, seperti Uzbekistan, Kazaktan, Turkmenistan, Siberia, dan lain-lain. 5) Islam di Rant, yakni Islam di Eropa yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah, Eropa Timur, Eropa Tenggara serta Amerika. 6) Islam di Asia Tenggara dan Asia Timur. Jangankan menyentuh keenam wilayah tersebut, untuk meneliti dan memahami Islam di Asia Tenggara saja masih sangat sedikit sekali ilmuan Indonesia yang dapat memberi andil dalam kajian ini. Ruang studi wilayah tersebut juga dapat dipersempit menjadi Islam di Jawa, di Toraja, di Ambon, Aceh dan begitu selanjutnya.
Menelaah dan mempelajari keberagamaan Islam di berbagai wilayah tersebut akan sangat bermanfaat, tidak saja akan memperkaya wawasan seorang Muslim tentang pergumulan pemikiran keagamaan Islam di berbagai wilayah tersebut sehingga memungkinkan terbukanya wawasan pemikiran “komparatif’--untuk tidak mengatakan melulu terfokus pada “alternatif’— tetapi cepat atau lambat juga akan mempunyai dampak sosio-kultural yang sangat luas.
5. Penutup
Tidak mudah memang mengembangkan pola dan tradisi Islamic Studies yang bersifat akademis di Perguruan Tinggi Islam Swasta. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi kritis terhadap pengálaman pengelolaan program studi Islamic Studies yang selama ini telah berjalan di lAIN, STAIN, UIN dan PTAIS. Persyaratan minimal dan kunci terpokok untuk membangun dan mengembangkan tradisi akademis dalam wilayah Islamic Studies adalah dukungan perpustakaan studi keislaman yang lengkap-representatif, metodologi pengajaran/penelitian yang akurat, kemampuan bahasa asing yang handal, serta staf tenaga pengajar/peneliti yang istiqomah dalam bidangnya serta kesediaan bagi pengajar/peneliti untuk menulis dan mempublikasikan basil penelitian dalam berbagai jurnal Studi Keislaman yang ada.
Kebutuhan yang mendesak untuk pengelolaan program studi Islamic Studies di PTAI yang memiliki bobot dan basis keilmuan sosial-empiris yang kuat. Salah satu dari cabang keilmuan sosial-empiris, baik sastra, psikologi, filsafat, sosiologi, ekonomi, antropologi, sejarah atau hukum, tidak bisa tidak perlu dimiliki oleh para dosen PTAI sehingga corak kajian Islamic Studies di PTAI nantinya akan mempunyai bobot keilmuan empiris yang relatif lebih kuat sehingga analisa dan sumbangan pemikiran keislaman dari PTAI dalam forum-forum keilmuan dan kemasyarakatan layak untuk dipertimbangkan oleh berbagai pihak baik dalam ruang lingkup nasional-keindonesiaan maupun internasional.
PUSTAKA ACUAN
Abdullah, M. Amin ( 1995).”Studi Islam Ditinjau dari Sudut Pandangan Filsafat Ilmu (Pendekatan Filsafat Keilmuan”, dalam Al-Jami’ah No. 58, Th.1995. hlm.93
Arkoun, M. (1986). Tarikhiyatuh al-Fikr al-Arabi al-Islami, terjemahan Hashim Salih. Beirut: Markaz al-Linma’ al-Qaumi
Arkoun, M.(1990). al-Fikr al-Islami: Naqd wa Ijtihad, terjemahan Hashim Salih. Beirut: Dar al-Saqi.
Arkoun, M. (2002). al-Fikr al-Usuli wa Istihalat al-Ta’sil Nahwa Tarikh. Terjemahan Hashim Salih. Beirut: Dar al-Saqi.
Barbour, Ian (1980). “Paradigms in Science and Religion”, dalam Gary Gutting (ed.). Paradigms and Revolutions, Appraisals and Applications of Thomas Kuhn’s Philosophy of Science. London, Notre Dame: University of Notre Dame..hlm.239.
Bousfield, John (1983). “Islamic Philosophy in South East Asia”, dalam M.B. Hooker (ed.). Islam in South East Asia. Leiden, E.J. Brill, hlm.96,128-129.
Choir, Tholhatul dan Ahwan Fanani ( ed.). (2009). Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hanafi, Hasan (1982). Dirasat Islamiyah. Mesir: Maktabah al- Anjalo al-Misriyah
Hanafi, Hasan (1992). Al-Turas wa al-Tajdid Mauqifuna min al-Turas al-Qadim. Beirut: Al-Mu'assasah al-Jam'iyyah.
Lubis, Nur A. Fadlil (1993).“Kecenderungan Kajian Islam di Amerika Serikat:Sebuah Survey Kepustakaan” Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV Th. 1993, hlm.68-84.
Purwasito, Andrik (1993). ”Institute Du Monde Arabe dan Pengalaman Belajar Dunia Islam di Perancis”, Ulumul Qur’an, No.1, Vol. IV, Th. 1993, hlm.16-19;
Ramadan, Tariq ( 2004). Western Muslims and the Future of Islam. New York: Oxford University Press
Saeed, Abdullah (2006). Islamic Thought An Introduction. London and New York: Routledge
Safi, Omid (ed.). (2003).”Introduction”, dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender and Pluralism. Oxford: Oneworld, hlm.2
Sulayman, Abdul Hamid A.(1993). Towards an Islamic Theory of International Relations: New Direction for Methodology and Thought. Herdon Virginia: IIIT
Takeshita, Masataka (1992). “Studi Islam di Jepang”, dalam Ulumul Qur’an, Volume III, No. 2, Th 1992, hlm.72-75.
Wahid, Abdurrahman (2006). Islamku, Islam Anda dan Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute
Comments
Post a Comment