Pemikiran dan gagasan Pendidikan Mukti Ali
A. Riwayat Hidup
Mukti Ali yang nama kecilnya Boedjono, lahir pada tanggal 23 Agustus 1923 di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Idris atau Haji Abu Ali (Nama yang di gunakan setelah naik haji) adalah seorang pedagang tembakau yang cukup sukses. Ia di kenal sebagai orang tua santri yang sholeh dan dermawan. Pada usia 7 atau 8 Tahun, Mukti Ali didaftarkan pada sekolah milik Belanda yang belakangan pada tahun 1941 menjadi HIS. Namun, pada waktu yang bersamaan ia juga terdaftar sebagi siswa madrasah di Cepu yang kegiatan belajarnya berlangsung di siang hari. Pada kedua sekolah tersebut Boedjono, di kenal sebagai siswa yang berprestasi dan bersahaja. Menurut cerita teman-temannya waktu itu, selain memperlihatkan nilai mata pelajaran yang gemilang, ia juga di pandang sebagai anak dari sebuah keluarga kaya yang bersikap bersahaja.
Setelah tamat dari HIS, pada tahun 1940, Boedjono dikirim oleh ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantantren Termas, Kediri, yang jarakna sekitar 170 KM dari rumahnya. Di pondok Pesantren Termas inilah, tahap lain dari perjalannya hidup Boedjono muda bermula. Ia diterima di tingkat menengah di pondok pesantren ini yang metode belajarnya menggunkan sistem madrasi, sistem sekolah dengan mengunkan kelas yang menyerupai sekolah Belanda. Sewaktu di pesantren ia banyak tertarik kepada tarikat Naqsabandiyah yang di pimpin oleh KH. Hamid Dimyati, namun ia di nasehati agar namanya yang semula Boedjono di ganti menjadi Abdul Mukti Ali, dan dianjurkan agar meninggalkan amalan tarikat dan berpaling pada bidang pemikiran atau logika Islam, sebagimana terdapat dalam kitab karangan Imam Al-Ghozali yang berjudul Milhaq al-Nadhar.
Selanjutnya setelah ikut dalam pergerakan pengembangan paham nasionalisme dan perjungan kemerdekaan RI bersama para tokoh perjuangan kemerdekaan, pada tahun 1946 Mukti Ali terpilih sebagai anggota Dewan Wakil Rakyat untuk Kabupaten Blora, mewakili Masyumi. Selanjutnya Mukti Ali melanjutkan Studinya sebagai mahasiswa tingkat persiapan pada fakultas Studi Agama pada Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Selanjutnya bersama adiknya pada akhir Maret 1950, Mukti Ali berangkat ketanah Suci menunaikan Ibadah Haji sambil menuntut ilmu. Namun, tidak sampai satu tahun Mukti Ali tinggal di Makkah setelah menunaikan ibadah haji, Mukti Ali memutuskan untuk berangkat ke negara lain. Mukti Ali lantas mempertimbangkan melanjutkan studi ke kairo, Mesir. Tetapi pada akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Karachi, Pakistan dengan pertimbangan bahwa di kota Karachi terdapat beberapa teman, seperti Imron Rosyadi yang di harapkan dapat membantunya.
Berkat kemampuannya yang baik dalam bahasa Arab, Belanda, dan Inggris, Mukti Ali diterima di program sarjana muda di fakultas Sastra Arab Universitas Karachi. Ia mengambil program sarjana Islam sebagai bidang spesialisasi. Setelah lima tahun, Mukti Ali menamatkan programnya di tingkat sarjana muda dan dilanjutkan program Ph.D di Universitas Karachi, ia merencanakan kembali ketanah air. Namun, ia dilarang pulang oleh Anwar Haryono yang pada waktu itu sedang mengunjungi Keduataan Besar RI di Karachi, dan menganjurkan Muti Ali agar melanjutkan studinya ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Montrael Kanada.
Ketika belajar di Universitas McGill inilah, Pemahaman Mukti Ali tentang Islam berubah secara fundamental. Ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan metode studi agama-agama, dan pertemanan yang akrab dengan profesor-profesor kajian Islam di Universitas itu, khususnya Wilfred Cantwell Smith, seorang ahli Islam berkebangsaan Amerika dengan pemahaman yang simatik atas Islam. Dalam hubungan ini, Mukti Ali mengatakan bahwa ia benar-benar dibuat berpikir oleh program kajian Islam di Universitas McGill itu yang di ajarkan dengan pendekatan yang sistematis, rasional, dan holistik. Di McGill juga Mukti Ali mendapatkan, bahwa belajar Islam, atau agama apa pun, mestinya diarahkan pada usaha bagaimana sebuah tradisi keagamaan itu bisa menjawab masalah-masalah masyarakat modern. Atas dasar ini, ia menegaskan perlunya memperkenalkan pendekatan yang empiris atas Islam sebagai jalan untuk menafsirkan ulang khazanah pemikiran Islam dalam konteks modernitas. Pendekatan atas Islam seperti itu yang selama ini diabaikan oleh metode belajar tradisional di pesantren akan membawa Islam dan umatnya bisa menerima, bahkan bersikap simpatik, terhadap wacana kemodern. Misalnya kebebasan intelektual, konsep kenegaraan, hak-hak wanita dan dialog antar umat beragama.
Berdasarkan keterangan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa Mukti Ali adalah seorang ulama yang intelektual dan berpandangan luas tentang Islam dalam hubungan dengan berbagai masalah kenegaraan, politik, hubungan antara agama dan sebagainya.pada dirinya terpadu antara pendidikan agama yang kuat, kemampuan bahasa asing dan metodelogi keilmuan serta pengalaman berkomunikasi dengan dunia internasional.
B. Gagasan dan pemikiran dalam bidang pendidikan
Gagasan dan pemikiran Mukti Ali selain masalah dialog dan penciptaan kerukunan antarumat beragama serta pembersihan citra Kementrian Agama sebagi alat perjuangan politik golongan Islam tertentu, serta membentuk Majelis Ulama Indonesia pada akhir 1975, Mukti Ali juga memiliki gagasan, pemikiran dan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan pendidikan Islam. Hal ini dapat di lihat dari berbagai kebijkannya sebagai berikut;
Pertama, kebijakan tentang pembenahan lembagi pendidikan Islam. Upaya ini antara lain dilakukan dengan mengambil inisiatif untuk membentuk berbagai rencana itu dengan depatemen lain, khususnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah melalui proses panjang dan hati-hati, lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri atau yang dikenal dengan SKB Tiga Menteri, No. 6 Tahun 1975 dan No.037/U/a975. Dalam SKB Tiga Menteri tersebut ditegaskan: (1) agar ijazah madrasah dalam semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat, (2) agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas dan (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70%
Pelajaran umum, dan 30 % pelajaran agama. Melalui kebijakan SKB ini paling kurang ada dua hal pentingt bagi masa depan pendidikan Islam di Indonesia. Pertama, dalam rangka integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Kedua, dengan memasukkan kurikulum pelajaran umum dalam jumlah jam yang besar, diharapkan pembenahan madrasah untuk ditransformasikan menjadi lembaga pendidikan yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia Muslim akan dapat diwujudkan. Dengan cara demikian, pengakuan masyarakat terhadap keberadaan lembaga pendidikan Islam di masa mendatang semakin kuat.
Kedua, kebijakan tentang modernisasi lembaga pesantren. Meskipun Mukti Ali tetap menjaga kemandirian pesantren dengan mempertahankan sistem atau bahkan kurikulum yang sudah berjalan, keinginannya untuk membawa pesantren ke pusat perhatian pemerintahan Orde Baru sangat besar. Melalui SKB Menteri Agama dengan Menteri Pertanian No. 34 A Tahun 1972, mengadakan program bersama dengan Departemen Pertanian untuk mengadakan pembinaan pondok pesantren dalam bidang pertanian dan perikanan. Kerja sama itu juga dilakukan dengan departemen-departemen lain, yang intinya ditunjukan untuk memberikan pembinaan-pembinaan manajerial bagi penglolaan lembaga pendidikan Islam.
Ketiga, kebijkan tentang pembenahan IAIN. Segera setelah Departemen Agama mencanangkan perluasan pendidikan tinggi bagi umat Islam, sebagaimana tercantum dalam Realita 1 Tahun 1969-1973, umat Islam secara beramai-ramai atas nama yayasan agama, organisasi, pesantren atau pribadi, mendirikan IAIN. Menurut laporan Depatemen Agama disebutkan bahwa pada pertengahan Tahun 1973 jumlah lembaga pendidikan tinggi Islam se Indonesia ada sekitar 112 IAIN, tersebar di seluruh pelosok tanah air. Ada yang di kota besar dan ada juga yang di kecamatan bahkan di pedasaan. Mempertimbngkan perkembangan ini, Mukti Ali kemudian meneliti kelayakan IAIN yang berjumlah besar itu. Hasilnya berdasarkan keputusan Derektur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama (Binperta) No. 32 Tahun 1975, dari 112 IAIN itu hanya 13, semuanya terdapat di kota provinsi dan yang memenuhi syarat-syarat menjadi lembaga pendidikan tinggi agama, diberi izin untuk beroprasi. Selebihnya ditutup. Sementara IAIN yang berada di kota kabupaten, seperti Cirebon, Serang, dan Mataram, yang dipandang memenuhi syarat di jadikan IAIN cabang yang secara Administratif berada dibawah supervisi IAIN yang berada di provinsi. Mukti Ali memandang kebijakan itu sebagai sesuatu yang mendasari rencana pengembangan IAIN selanjutnya.
Keempat, kebijakan peningkatan mutu IAIN. Kebijakan ini dilakukan dengan cara meningkatkan mutu tenaga pengajar di IAIN. Dalam kaitan ini, Departemen Agama mulai mengirimkan dosen-dosen untuk belajar ke luar negeri, antara lain Timur Tengah, Amerika Serikat, Belanda dan Kanada. Menurut catatan Departemen Agama, hingga tahun 1972, jumlah dosen IAIN dan pejabat Departemen Agama yang dikirim belajar ke Barat ada sekitar 55 orang.
Comments
Post a Comment