Skip to main content

Kritisasi pemikiran Hassan Hanafi untuk Kajian Islam Kontemporer

Kritisasi pemikiran Hassan Hanafi untuk Kajian Islam Kontemporer

Sebelumnya telah dipaparkan bagaimana umat Islam harus dihadapkan dengan imperialisme dan ideologisme Barat. Sederhananya dapat dibayangkan bagaimana dan apa yang terjadi dengan kehidupan social, budaya, politik, ekonomi dan perkembangan pemikiran Islam di era ini. Sebagai akibat koloni militer, kebudayaan dan kebudayaan, berdampak sangat buruk bagi perkembangan dan kajian keilmuwan Islam dalam menghadapi tantangan modern. Selama ini menurut hanafi Islam hanya berkutat kepada metodologi klasik yang hanya yang hanya berkutat pada kajian yang cenderung mengulang-ulang.
baca juga: https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/biografi-hassan-hanafi-dan-kegelisahan.html
Umat Islam yang dijajah merasa sebagai diluar lapangan permainan, yang hanya skeptis, statis dan serba salah untuk melakukan perubahan serta ikut dalam permainan tersebut. Secara psikologis semangat umat Islam telah terkikis dan habis, masa Islam menjadi terbelakang dan lambat dalam mengikuti perkembangan dan mengahdapi keilmuwan lainnya. Melihat hal ini Hassan Hanafi mengkritik dan memberikan penilaian dengan pertama-tama ia kembali pada Realitas dunia Islam sesungguhnya, menurutnya umat Islam terbagi dalam dua kelompok yaitu penguasa dan yang dikuasai. Hassan Hanafi menempatkan pada yang kedua, apa yang diperlukan untuk membangkitkan ghirah Islam adalah membangun kembali khazanah Islam klasik. 
Menurut Hassan Hanafi penyebab terbesar kemandegan keilmuwan Islam adalah karena dominannya praktek sufiesme yang bergandengan tangan dengan Asy’arisme. Aktivitas intelektual yang khas dalam Islam yang membedakan dengan lainnya adalah Teologi kalam . Sumber Kalam juga adalah Al -Qur’an, yang secara Teoretik mengetur seluruh aspek kehidupan manusia. Semenjak kelahiran Islam, umat muslim terus mencoba untuk menafsirkan dan menggali isi pesan-pesan Tuhan tersebut. Namun menurut Hassan Hanafi, aktivitas intelektual ini selalu berkaitan dengan semangat zaman dan sistem kekuasaan pada masa itu dan teologi kalam tidak terkecuali.
baca juga: https://kopiirengadrees.blogspot.com/b/post-preview?token=APq4FmAcjQ_bT99b_d2bU6U6Hd___S9NF4AerFQ4VZILkkGu4FkyrUeqEKBWTsjk2m8Ux6PpmAHtk_zlZtmyhew2ilzPEqywQJr0qeO68M63300uGpjUxdx7KGcLQWdRp-RkpJ95boKg&postId=3719376226982582953&type=POST
Kemunculan salah satu aliran kalam adalah Muktazilah yang menjadi paham resmi pada masa Abasiyyah pada tahun 212 H. Ciri yang menonjol dari Muktazilah adalah rasionalisme, dan ia dibangun pada prinsip sosial yakni kebebasan manusia dan keadilan Tuhan. Sebagai reaksi atas rasionalisme Muktazilah muncullah Asy’ariyah yang kemudian menempatan di arus pemikiran Islam yakni sunni. Aliran ini sesungguhnya tidak anti rasionalisme melainkan menampilkan ketidaksemournaan akal denga mengikutsertakan pengerahuan ghaib. Menurut Hassan Hanafi , salah satu hasil serangan Al Ghazali terhadap ilmu rasional adalah “jalan sufiesme” dan Asy’ariyah, yang dampaknya terasa hingga kini. 
Realitas dunia Islam inilah yang menurut Hassan Hanafi mengharuskan Rekontruksi Rasionalisme saat ini jauh lebih dibutuhkan dari pada merobohkan rasionalisme. 
Hassan Hanafi membangun rasionalisme, kebebasan, demokrasi, pencerahan dan humanisme. Sebagai sebuah konsep ideal yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi, yang merupakan tulang punggung pengkajian pemikiran Islam yang modern. Hassan hanafi menjabarkan sebuah revolusi pemikiran agama, bahwa rasio ditransformasikan ke aktifitas bebas, lalu kedalam sistem yang liberal yang menjadi pendukung kapitalisme yang berbasis persaingan bebas dan keuntungan. 
Mungkinkah revolusi yang ditandai konversi paradigma tersebut terjadi dalam ilmu-ilmu agama?, berpijak pada hal tersebut dan pola yang dikembangkan oleh Thomas Khun, maka sudah menjadi kemungkinan untuk menemukan paradigma baru dalam menjawab permasalahan dan tantangan zaman. Paradigma yang telah dibuat pijakan oleh para ulama terdahulu yang muncul sesuai dengan varian kondisi ruang dan waktunya serta kecenderungan profesionalnya perlu dipertanyakan dengan melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat terakhir ini. Adanya perubahan (revolusi) tersebut terjadi karena dihadapkan pada perbedaan varian kondisi ruang dan waktu. 
Hasan Hanafi dengan konsep kiri Islamnya, telah mencoba menawarkan paradigma baru tersebut, dalam ajaran pokok Islam, yakni Tauhid. Konsep atau ajaran Tauhid yang hanya dipandang dan dilekatkan pada ke-Esaan Tuhan secara vertical/ Theosentris perlu dirubah dan diperluas sebagai suatu konsep ketauhidan makhluk Nya terhadap sesama secara horizontal / Antroposentris. Dari sinilah titik pembahasan ilmu tauhid mengalami proses perubahan, berubah dari sifat Tuhan dan perbuatannya menuju ke Bumi manusia, peradaban, kebebasan dan persatuan. 
Selama ini tauhid atau teologi mutlak difahami sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya tidak lagi dipahami sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam wacana kalam klasik, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat teosentris, yang secara etimologis merujuk pada akar kata theos dan logos. Kata ini seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sungguh ‘ilm al-kalam, ilmu tentang perkataan. Tuhan dalam hal itu tercermin dalam kata logoly, sebab Tuhan tidaklah tunduk pada ilmu. Tantangan selanjutnya dari redefinisi teologi adalah merumuskan ulang konsep-konsep doktrin teologis agar sejalan dengan semangat pembebasannya. Seperti yang dirumuskan oleh Hasan Hanafi dalam Teologi Pembebasan, pada dasarnya peracikan ulang ini merupakan hasil reflesi kritis yang tentu berlandaskan pada Al Qur’an dan Sunnah sebagai teks dan pemahaman melihat konteks kekinian sebagai realitas. Setidaknya ada tiga monsep teologis yang perlu dirumuskan ulang untuk mendukung pembebasan:
Pertama, konsep Tauhid. Pada dasarnya konsep ini adalah ujung poros dalam keseluruhan teologi Islam klasik. Namun di sini Hassan Hanafi ingin mereformulasi dua unsur, unsur paradigma modern dan paradigma klasik, dari tradisionalisme dan modernisme/rasionalisme. Manusia dengan segala potensinya sebagai pusat yang mengendalikan rekayasa histori, dapat melakukan perubahan dengan mendudukkan sejarah sebagai esensi dari seluruh proses perubahan. Oleh karena itu Tauhid harus dipahami sebagai penggambaran adanya unity of godhead (kesatuan ketuhanan). Dari kesatuan ketuhanan inilah kemudian dapat ditarik sebuah pemahaman konsep suatu keyakinan adanya unity of mankind (kesatuan kemanusiaan). Kesadaran teologis akan kesatuan kemanusiaan menegaskan bahwa tauhid menolak segenap bentuk penindasan atas kemanusiaan seperti yang menjadi kegelisahan Hassan Hanafi. Dalam konteks keilmuwan keIslaman, kesatuan kemanusiaan itu menghendaki adanya unity of guidance (kesatuan pedoman hidup, al-Qur’an dan Hadits) , secar mengerucut akan ditemukan sebuah tujuan yaitu memberi arahan kepada adanya unity of purpose of life (kesatuan tujuan hidup) untuk apa manusia hidup dan untuk apa manusia berada di dunia ini. 
Kedua, konsep Keadilan Sosial. Pentingnya konsep ini berdasarkan pada kesadaran bahwa ketidakadilan sosial, kemiskinan, keterbelakangan, penindasan, kebodohan, eksploitasi, diskriminasi dan dehumanisasi adalah produk dari proses sosia via structur-cultural dan system yang tidak adil akibat proses sejarah panjang umat manusia. Artinya, realitas sosial yang tidak adil bukanlah kehendak Tuhan (taqdir), seperti umum diyakini teologi-teologi klasik selama ini, melainkan hasil dari proses sejarah yang didesain atau dipaksa atau disengaja. Juga tidak bisa kita menyalahkan pada jiwa mentalitas budaya manusia dalam mendesain sejarah seperti keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan akibat dampak langsung dari diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatif, dan menindas. Dalam pembahasan teologi Islam klasik, tema tersebut cenderung dimarginalkan. Wacana keadilan, misalnya, dalam teologi klasik cenderung terfokus semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-‘adl). Sebaliknya, dalam teologi reformulatif ini, ia justru menempati posisi sebagai prime theme (tema utama), menjadi satu bagian penting dari keseluruhan konsep teologisnya. 
Ketiga, konsep Spiritualitas Pembebasan. Prinsip ini adalah konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas manusia (umat) di satu sisi dan atas tujuan Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain. Proses reflektif itu bermuara pada satu titik yaitu semangat spiritual pembebeasan. Ini yang sesungguhnya mewarnai seluruh bangunan paradigma teologi Islam yang transformatif dan merujuk pada pembebasan. Pembebasan dalam kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang menindas, tapi juga secara terus-menerus pada upaya membebaskan manusia dari keberpihakan wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu, misalnya spiritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran aktif dalam proses kontekstualisasi teks-teks keagamaan atas realitas kekinian.

Comments

Popular posts from this blog

DOUBLE MOVEMENT TEORI KAJIAN ISLAM FAZLUR RAHMAN

Baca Juga : https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/kritik-sejarah-fazlur-rahman-upaya.html

Beberapa Jenis Empirisme

Beberapa Jenis Empirisme 1. Empirio-kritisisme     Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik. baca jug:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-empirisme.html 2. Empirisme Logis      Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut : a. Ada batas-batas ba...

KRITIK SEJARAH FAZLUR RAHMAN; UPAYA MENCAIRKAN HADITS NABI

BOOK REVIEW KRITIK SEJARAH FAZLUR RAHMAN; UPAYA MENCAIRKAN HADITS NABI [1] Review Buku Islamic Methodology In History Karya Fazlur Rahman Abstraksi : Menelaah metodologi pemikiran Islam (Islamic Metodology) dari perspektif sejarah dewasa ini dirasa sangatlah perlu. Tujuannya adalah untuk melakukan kritik terhadap pemikiran Islam ortodok yang menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Dengan kembali membuka pintu ijtihad, umat Islam diharapkan bisa melakukan sebuah penafsiran yang kreatif, bebas, dan kontekstual terhadap sumber-sumber pokok ajaran Islam—al-Qur’an dan sunnah Nabi—sehingga bisa memberikan jawaban yang tepat bagi problem umat masa kini. A.     Latar Belakang Masalah Dalam konteks pemikiran Islam, Fazlur Rahman [3] dikenal sebagai salah seorang pemikir besar. Ahmad Syafii Maarif, dalam tulisan pengantar buku Islam karya Fazlur Rahman terbitan Indonesia menyatakan, bahwa pada diri Rahman, berkumpul ilmu seorang alim yang alim dan i...

Tokoh-Tokoh Empirisme

Tokoh-Tokoh Empirisme   Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume. baca juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-filsafat-pendidiakan.html a.John Locke (1632-1704)    Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke : Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). ...