Fiqh
menurut Etimologi
Fiqh menurut bahasa
berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir
tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami
perkataanku." ( Thaha:27-28)
Pengertian
fiqh seperti di atas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91, dan
Surah Al- Taubah: 122.
dan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya panjangnya
shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.”
(Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Da>rimi> no. 1511)
baca juga: https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/hubungan-fiqh-dan-syariat.html
baca juga: https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/hubungan-fiqh-dan-syariat.html
Fiqh
dalam terminologi Islam
Dalam
terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami
oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di genersi
kemudian, karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi
masing-masing generasi.
Pengertian
fiqh dalam terminologi generasi Awal
Dalam
pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dst.), fiqh
berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana
tersebut dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
"Mudah-mudahan
Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia
menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak
orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang
lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan
seorang Faqih." (HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah)
Ketika
mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:"Ya Allah, berikan kepadanya
pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR Bukhari
Muslim) Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa
Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang
Thaif, ia berkata: "Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para
cendekiawan kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun." (HR
Bukhari).
Dan
ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada
para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf
mengusulkan untuk menundanya, karena di kalangan jama'ah bercampur sembarang
orang, ia berkata: "Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)."
(HR Bukhari).
Makna fiqh yang universal seperti di atas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan "al- Fiqh al- Akbar." Istilah fuqaha dari pengertian fiqih di atas berbeda dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan
akan datang pada manusia suatu zaman di mana para faqihnya sedikit sedangkan
Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan
norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang
memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan
hawa nafsunya sebelum beramal." (HR Malik).
Lebih
jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan di atas, “Shadru al Syari'ah”, Ubaidillah
bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama identik
atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung
kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu
sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir
saja." Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud
Fuqaha adalah orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan
praktek, karenanya penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang
baru."
Definisi
tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: "Orang
faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami
agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri
dari privasi kaum muslimin, ta'afuf terhadap harta orang dan senantiasa
menasihati jama'ahnya."
Pengertian
fiqh dalam terminologi Mutaakhkhirin
Dalam
terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu' yaitu:"mengetahui hukum
Syara' yang bersifat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci.Syarah/penjelasan
definisi ini adalah:- Hukum Syara': Hukum yang diambil yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an
dan As-Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah.- Yang bersifat
amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan. Dalil-dali yang
rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus sholaah",
bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh. Dengan definisi di atas,
fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat dharuriah (aksiomatik),
seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya hamr, dsb. Tetapi juga mencakup
hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu
atau tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup
sebagiannya saja?
Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.
baca juga: https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/fiqh-islam-mencakup-seluruh-perbuatan.html
Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.
baca juga: https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/fiqh-islam-mencakup-seluruh-perbuatan.html
Fiqih
secara istilah mengandung dua arti:
1.
Pengetahuan
tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf
(mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari
dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As
sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
2.
Hukum-hukum
syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang
pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin
mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh,
ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah
untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung
dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat,
rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Comments
Post a Comment