Rekontruksi Ilmu KeIslaman Klasik
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi ilmu-ilmu Islam
klasik, Hassan Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat
konseptual sistem kepercayaan sesuai dengan perubahan konteks sosial-politik
yang terjadi. Menurutnya Ilmu Islam klasik lahir dalam konteks sejarah ketika
inti keIslaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang
oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan
untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Meski
demikian, Hanafi menegaskan bahwa secara umum pemikiran akidah klasik terlalu teoritis,
elitis, dan konsepsional yang statis. Hanafi menginginkan doktrin akidah
yang bersifat antroposentris, praktis, populis, transformatif, dan dinamis.
Untuk mentransformasikan ilmu-ilmu serta pemikiran klasik menjadi ilmu atau
pemikiran yang bersifat kemanusiaan (humanitarian), ada tiga langkah yang
ditawarkan oleh Hanafi :
Pertama, langkah
dekonstruksi. Langkah ini dilakukan dengan menjelaskan aspek isi,
metodologi, dan juga penjelasan terhadap konteks sosio-historis yang
melatrbelakangi kelahirannya, serta perkembangannya saat ini. Kemudian,
memberikan penilaian atas kelebihan dan kekurangannya, juga bagaimana fungsinya
di masa sekarang.
Kedua, langkah
rekonstruksi. Langkah ini dilakukan dengan cara mentransfer teori-teori lama
yang masih dapat dipertahankan seperti rasionalisme ke dalam perspektif baru
yang didasarkan pada pertimbangan realitas kontemporer. Teori ini selanjutnya
dibangun menjadi sebuah ilmu yang berorientasi kepada kemanusiaan.
Ketiga, langkah
pengintegrasian. Langkah ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan ilmu-ilmu
atau pemikiran klasik dan merubahnya menjadi ilmu kemanusiaan baru. (Hanafi,
1981 & Hanafi, 1992)
Dalam bidang Ilmu Ushuluddin, Hassan Hanafi memandang Mu’tazilah
sebagai refleksi geraakan rasionalis, naturalis dan kebebasan
manusia. Dan bahwa konsep Tauhid lebih merupakan prinsip rasional murni
daripada konsep personifikasi seperti Asy’ariyah. Transendensi/tanzih
menjelaskan lebih baik tentang hakekat rasio daripada antropomorfisme dan
bahwa penyatuan antara zat dan sifat lebih dekat pada keadailan dari pada
membedakan diantara keduanya. Bahwa manusia bebas dan bertanggung jawab atas
segala perbuatannya, ia punya kekuatan menetukan mana baik dan mana buruk.
Hassan Hanafi cenderung banyak mendukung Muktazilah
sebagai inspirasi untuk Islam menjadi lebih maju dan berkembang ketimbang
Asy’ari cenderung sebagai penyebab kemandekan Islam selama ini, karena sibuk
dalam hal spiritual mereka. Hassan Hanafi mengintroduksi Muktazilah, karena
memang Hassan Hanafi dengan kiri Islamnya mengembangkan kerangka berpikir
Rasionalisme, kebebasan dan demokrasi serta eksplorasi terhadap alam menjadi
lebih luas. Hassan Hanafi juga mengelaborasi Khawarij karena Hassan
Hanafi pun mendukung revolusi Islam dan teguh merebut hak-hak rakyat dan
mengembalikan martabat mereka sebagai manusia yang utuh yang mempunyai
kebebasan.
Ada beberapa prinsip pengembangan lainnya dalam ilmu
Ushuluddin yang dianalisa oleh Hassan Hanafi sebagai pegangan, yang disampaikan
secara terserak-serak ketika ia mengkritik tulisan-tulisan ulama-ulama
terdahulu, yang kemudian bisa dianggap sebagai cikal bakal formulasi akidah
humanitarian nya, yaitu:
Pertama, ilmu
ushuluddin adalah ilmu yang memberikan kepada orang banyak konsepsi-konsepsi
tentang alam dan motif-motif untuk berbuat. Ilmu ini merupakan alternative
satu-satunya bagi semua ideologi politik, terutama setelah gagalnya semua
ideologi modernisasi sekuler, karena dogma-dogma keimanan yang menjaga jati
diri masyarakat dan kepribadian nasional (Hanafi, 1981: 37). Karena itu, ilmu
ini tidak hanya memerlukan pijakan dasar akaliah, melainkan juga pijakan dasar
kenyataan. Tauhid harus dikaitkan dengan perbuatan, Allah dengan Bumi, Zat
Tuhan dengan kepribadian manusia, sifat-sifat Tuhan dengan nilai-nilai
kemanusiaan, Kehendak Tuhan dengan kebebasan manusia, Kemauan Tuhan dan gerakan
sejarah (Hanafi,1981: 32).
Kedua, ilmu
ini tidak dipelajari dengan tujuan mendapatkan sorga atau keselamatan dari
neraka, melainkan untuk membela kepentingan umat, pembebasan tanah mereka,
pembagian kembali kekayaan mereka secara adil dan merata, pelepasan kebebasan
mereka dalam berbicara, berbuat dan berkeyakinan; penyatuan mereka dari
keterkoyakan, penghentian keterbelakangan mereka, pengambalian mereka dari
keterasingan ke jati diri, dan mobilisai anggota-anggota mereka. Balasan yang
diharapkan hanyalah berjalannya kebudayaan setelah lama berhenti. (Hanafi,
1981: 45)
Ketiga, ilmu
hanya dihasilkan dari pengalaman, individual atau oleh orang banyak, yang
mengungkapkan pengelaman keseluruhan generasi pada waktu tertentu dan dalam
salah satu tahap sejarah. Obyektivitas ide tidak menghilangkan kehidupan
pemikir, bahkan kehidupan dan pengalaman pemikir merupakan tempat ditemukan
obyektivitas ilmu dan kemencakupannya. (Hanafi, 1981: 48).
Keempat, akal
dan kenyataan merupakan dasar penerimaan kebenaran. Pengetahuan mengenai yang
benar dan yang salah tidak datang dari atas, melainkan dari perenungan atas
data-data pemikiran dan kenyataan. Pengetahuan teoritis tidak merupakan
anugerah, melainkan diperoleh melalui analisis rasional yang cermat terhadap
ide-ide dan kenyataan dan dengan meneliti terjadinya berbagai peristiwa. Ini
tidak berarti penolakan terhadap adanya ukuranukuran kebenaran dan garis-garis
yang mengatur pemikiran. Ini semua ada, muncul dari tabiat akal sendiri, dan
ditangkap dengan intuisi, tidak berasal dari luar. Jadi sesuatu baru dikatakan
benar, manakala akal telah menyelidiki dan membuktikannya dalam kenyataan bahwa
itu memang benar (Hanafi, 1981: 8). Yang menjadi sandaran adalah penyelidikan
bebas, keyakinan akan kemampuan umat untuk melakukan kreasi dan menyebarkan
nalar pembaharuan dalam semua akidah (Hanafi, 1981: 8).
Kelima, yang
mesti dilakukan sekarang bukanlah membela akidah, melainkan mengadakan
bukti-bukti akan kebenaran internal akidah dengan jalan analisis rasional
terhadap Pengalaman pengalaman kesadaran pribadi dan bersama, dan penjelasan
atas jalan-jalan realisasinya untuk membuktikan kebenaran eksternalnya dan
kemungkinan penerapannya di dunia (Hanafi, 1981: 34). Kemuliaan ilmu ini tidak
berasal dari obyeknya (Tuhan), melainkan dari bekasnya dan kemampuannya untuk
menggerakkan manusia, memobilisasi orang banyak dan masuk dalam gerakan sejarah
(Hanafi, 1981: 38). Akidah adalah pusaka dari nenek moyang, revolusi adalah
mobilisasi. Akidah adalah keyakinan manusia dan rohnya, revolusi adalah
tuntutan masanya (Hanafi, 1981: 40).
Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak
harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi
untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia
dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang
terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam
realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk
tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan argumen-argumen
antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa
di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.
Dalam kajian Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh , Hassan Hanafi
banyak mengikuti Imam Malik karena ia menggunakan pendekatan Maslahat atau
masalih murshalah serta membela kepentingan umat muslimin. Kiri Islam Hassan
Hanafi bukanlah Mazhab baru dalam Islam , namun ia memilih diantara berbagai
mazhab dan berpendapat bahwa Malikiyah lebih dekat pada Realitas dan memberikan
keberanian baru kepada Mujtahid saat ini untuk mengambil keputusan hukum
berdasarkan kemaslahatn umum, bukan fiqh Hanafi yang hanya dominan pada dimensi
kewajiban atau Syafi’i yang mencoba memadukan Maliki dan Hanafi atau kelompok
Hijaz dan Iraq atau Hambali yang hanya memegang validitas teks semata.
Ini bukan berarti Hassan Hanafi melakukan diskriminasi
atas mazhab-mazhab fiqh, tetapi ingin mengembalikan umat muslim kepada periode
awal mulanya. Maksudnya adalah baahwa para pendahulu pun melakukan ijtihad pada
situasi sosialnya begitupun seharusnya masyarakat modern yang dihadapkan
situasi social yang lebih pelik tentunya pintu ijtihda menjadi sebuah keharusan
bagi tiap muslim yang memenuhi kriterianya, tentunya bercermin kepada konsep
maslahat Imam Malik.
Penggunaan akal secara optimal bercermin pada Imam
Hanafi, pemaduan rasio dan realita bercermin pada Syafi’i dan komitmen pada
teks bercermin pada Hambali20. Hassan Hanafi menerima keabsahan dan kesahihan
Alqur’an dan Sunnah, karena Syaria esensinya berdiri diatas kemaslahatan,
sehingga menerima keduanya sama saja dengan menerima kemaslahatan. Sehingga
dalam kajian kritisnya dalam penetapan hukum syar’iterhadap keduanya Hassan
Hanafi bertolak ukur pada esensi kemaslahatan.
idul fitri , dan lain sebagainya. Tetapi lebih
memperhatikan pada permasalahan ekonomi, jihad ilmiyah, sistem social dan
plitik, ditambah lagi bagaimana mengahadapi gempuran kolonialisme, kapitalisme,
liberalisme, kemiskinan dan lain sebagianya.
Umat Islam terlalu sibuk mengkaji permasalah ibadah
yang selama ini seolah – olah adalah sebuah tujuan utama, padahal di luar itu
ibadah adalah sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan –tujuan tadi. Bagi
Hassan Hanafi, Syahadat bukan semata mata persaksian “ bahwa Allah adalah
Tuhan dan Muhammad adalah Rasulullah saw” semata, melainkan sebuah
persaksian atas zaman, melihat fenomena zaman, lalu mengidentifikasinya dan
menilainya dari prespektif Syari’at. Syahadat adalah persaksian, bukan
menganggap tidak ada atau pura-pura tidak tahu atau menutupi realitas kita.
Bukan pula persaksian yag bohong, terlalu takut untuk memperbaiki dan
menyatakan kebenaran tentang realita era modern saat ini.
Dalam melihat syahadat, Hassan Hanafi mengupasnya
dengan mengaitkannya dengan tujuannya yaitu rekontruksi baik pada ilmu
maupun tatanan sosial. Syahadat adalah persaksian yang aktif, yakni persaksian
yang dimulai dari bentuk negatif sebagai negasi atas kekuatan penindas dan
tuhan –tuhan palsu yang ada disekitar kita , lalu penetapan illa Allah , hanya
Allah yang memiliki kehendak seluas-luasnya yang patut disembah dan di Imani.
Sedangkan Shalat memeberi kepekaan waktu dan melakasanakan segera tanpa
menunda-nunda. Zakat adalah persekutuan harta kepada orang yang tak berpunya,
yang memberikan pesan bahwa di bangsa ini masih sedikit yang kaya dan banyak
yang miskin. Sedangkan puasa adalah kepekaan atas nasib sesama yang menderita,
mempunyai pesan untuk melihat realita social disekitar kita.Terakhir Haji,
adalah persekutuan seluruh umat Islam dunia paling sedikit setahun sekali untuk
saling berbagai dan mempelajari masalah-masalahnya, bahwa mereka adalah umat
yang satu, sebagaimna mereka mempunyai Tuhan yang satu, bukan umat yang
terpecah belah karena tuhannya banyak. Dalam bidang filsafat, Hassan Hanafi
banyak mengikuti pemikiran Ibnu Rusyd, dengan menghindari illuminati dan
metafisika, dengan mendayagunakan rasio untuk mereflesksikan dan
menganalisa hukum-hukum alam.
Filsafat penggunaan rasio sejatinya pertama dicetuskan
oleh al Kindi dan bertumpu pada rasio – ilmiyah memandang bahwa
filsafat sebagai dasar agama, menguasai hukum alam dan menundukannya demi
kemaslahatan umat manusia. Maka tumbuhlah perspektif rasional, ilmiah dan
natural sebagai konsep re –kontruksi social. Celakanya hal ini kemudian
berubah menjadi filsafat ilumninasi ditangan Ibnu Sina dan al Farabi. Rasio
dipangkas kemampuannya dan karena itu manusia hanya mengharap pertolongan ke
langit untuk memahami hakekat alam . Dengan demikian kemampuan teoretik –
kontemplatif menjadi lebih utama dari pada praktis produktif .
Inilah yang Hassan Hanafi kritik dari proses dan produk pendidikan kita.
Ditangan Ibnu Sina dan al Farabi Filsafat berubah menjadi
Tasawuf, sampai kemudian datang Ibnu Rusyd menempatkan kembali akal dan alam
pada proporsinya masing-masing.
Hassan Hanafi menolak Tasawuf serta mememandangnya
sebagai penyebab kemandegan dekandensi kaum Islam, yang digagas oleh Ibnu
Taimiyah , al Kawakibi dan imam Khomaeni. Tasawuf sejatinya muncul karena
gerakan anti kemewahan, arogansi, gila kekuasaan, kompetinsi duniawi, dimulai
saat perlawanan aliran oposisi dari ahlul bait yang dimulai dari saat
Ali dan Husain , mengalami kekalahan. Ketika pemerintahan digantikan oleh Dinasti
Umayah mulai mapan dan banyak para sahabat yang gugur, maka orang-orang
tulus mulai meninggalkan kemapanan dan gelimangnya harta yang menjadi penyebab
perpecahan dan pertumpahan antar kaum muslimin.
Islam selalu berubah sesuai perkembangan zaman yang
dihadapinya secara horizontal menjadi gerakan vertikal yang keluar dari
kehidupan dunia.Islam yang semula menjadi cita cita kesejarahan berubah menjadi
cita cita historis. Islam yang semula milik semua umat Islam, tiba –tiba
menjadi Islam eksklusif milik kaum sufi tarekat semata .
Dalam Ilmu Hadits, umat muslim cenderung lebih
mengutamakan matan/isi dari pada sanad/periwayatan, seolah-olah umat Islam
tidak mampu melakukan kritik pada sanad seperti yang dikembangkan oleh
para ulama dahulu dalam ilmu rijal al-Hadis, menurut Hassan Hanafi
sesungguhnya kita mampu untuk melakukan kritik matan dilihat dari apakah
sebuah teks Hadits masuk akal atau tidak, kewajarannya dan sebagainya. Kita
juga mampu melakukan kritik internal setelah pendahulu kita mengmbangkan
tradisi kritik eksternal, terutama karena rasa kebangsaan kita (baca : Arab ).
Seringkali ketetapan dibentuk dari teks Hadits yang
diterapkan tanpa melalui kritik internal, banyak Hadits yang nilainya lemah digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan hadikts yang valid diabaikan.Karemna itu
prioritas kita kepada makana Hadits, bukan pada perawinya, dan selanjutnya
memprioritaskan kepada kata –kata nabi dari pada pribadinya. Jangan sampai kita
meniru ahl kitab yang mementingkan menulis sirah nabi mereka sehingga
ajaran-ajarannya justru diabaikan.
Dalam ilmu tafsir, Hassan Hanafi berupaya untuk
melampaui tafsir historis yang selama ini dipergunakan banyak ahli
tafsir klasik. Seolah–olah Al- Qur’an hanya berkecimpung untuk realitas, ruang
daan waktu tertentu saja karena hanya menampilkan peristiwa masa lalu saja.
Hassan Hanafi menawarkan membangun tafsir prespektif, supaya Al Qur’an
mendiskripsikan manusia, hubungan dengan manusia lainnya, tugasnya di dunia, kedudukannya
dalam sejarah , dan bagiamana membangun sistem social dan politik. Selama ini
tafsir hanya sebatas pada tafsir dari ayat ke ayat, dari surat ke surat yang
terkesan fragmentaris dan di ulang-ulang, inilah kenapa perlunya
membangun tafsir tematik dengan cara menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan
dianalisis sehingga muncul konsepsi universal tentang Islam, dunia, manusia dan
sistem social. Selain Tematik, juga membangun tafsir revolusioner dengan
mentranformasikan akidah ke dalam ideology revolusi. Selama ini kita melihat
tali penghubung antara Allah dan bumi sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an,
sehingga kita mampu membebaska pemikiran bahwa yang dimaksud dengan Bumi adalah
“tanah yang dijanjikan” seperti yang dipahami oleh kaum zionis, yang mengaitkan
Tuhan dengan tanah yang dijanjikan .
Dari sini kemudian Hassan Hanafi mengaitkan ilmu
akidah dengan kebudayaan rakyat, Tauhid dengan persatuan umat, kenabian dengan
gerak sejarah, manusia dengan sejarah, revolusi dengan bumi, gerakan dengan
zaman, sehingga dengan hal ini dapat membuat manusia tidak diam dan
terbelakang.
Cita – cita Hassan Hanafi adalah kebangkitan peradaban
universal yang muncul dari dimensi kemajuan ilmu keIslaman klasik, kita bangga
memiliki warisan keilmuwan klasik yang ditinggalkan oleh para ulama mujtahid
terdahulu, tinggal bagaimana kita bisa menganalisa dengan pisau kritisasi saat
dihadapakan dengan situasi sosial, politik maupun prinsip-prinsip keagamaan
yang terus berkembang, baik dalam tatanan internal maupun erksternal tentunya.
Kiri Islam yang dicetuskan oleh Hasana Hanafi bukanlah sebagai manifesto
politik karena kata kiri-nya, melainkan sebuah orasi kebudayaan seperti
terlihat dalam kata Islam-nya. Hassan Hanafi berusaha menguak kembali
faktor-faktor pendorong khazanah kita, seperti rasionalisme, naturalisme, kebebesan
dan demokrasi yang saat ini amat kita perlukan dan memunculka n kembali sesuatu
yang telah hilang dari khazanah keIslaman yaitu manusia dan sejarah.
Comments
Post a Comment