BOOKREVIEW
KHALIL ABDUL
KARIM
SYARI’AH:
SEJARAH PEMAKNAAN ISLAM
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang Masalah
Syari’at dalam perspektif islam, merupakan hukum-hukum
Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Syari’at dalam pengertian ini
adalah wahyu, baik dalam pengertian al-wahy
al-mathluww (al-qur’an) maupun dalam pengertian al-wahy ghair al-mathluww (sunnah). Meminjam istilah Satria Effendi
M. Zein, syari’at adalah al-Nushush
al-Muqaddasah (nash-nash yang
suci) dalam al-qur’an dan al-sunnah
al-Mutawatirah (hadis yang mutawatir).[1]
Syari’at dapat dipahami sebagai ajaran Islam yang
sama sekali tidak dicampuri oleh daya nalar manusia. Syari’at merupakan wahyu
Allah secara murni, karenanya ia bersifat mutlak, tetap, kekal, dan tidak boleh
diubah. Dengan argumentasi ini, maka syari’at merupakan sumber fiqh, karena
fiqh merupakan pemahaman yang mendalam terhadap al-Nushush al-Muqaddasah tersebut. Fiqh apabila diartikan sebagai
pemahaman, berarti merupakan proses terbentuknya hokum melalui daya nalar
manusia, dalam pengertian ini fiqh sama dengan nilai ijtihad.
Syari’at Islam merupakan ajaran Allah yang
komprehensif, mengatur segala hal baik menyangkut hubungan antar sesama
manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Pencipta-Nya (Allah) syari’at
diturunkan untuk membimbing manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Karena itulah Allah menurunkan wahyu-Nya dan mengutus
Rasul-Nya untuk menjelaskan kepada umat manusia segala tatanan ajarannya.[2]
Agama di mata manusia merupakan sesuatu yang sangat
berharga, bermakna bahkan ada yang sangat fanatik sekali dalam mempertahankan
kebenaran agamanya kecuali hanya bagi minoritas tertentu saja yang tidak
mementingkan agama dalam kehidupannya. Sementara itu, menurut hasil penelitian
para antropolog, diketahui bahwa dalam setiap bentuk masyarakat, betapa pun
sederhananya, di samping “religi” juga terdapat unsur apa yang disebut “sistem
nilai budaya” (cultural value system)
yang ternyata sangat efektif pengaruhnya, terutama dalam hal memberi arah dan
orientasi bagi kehidupan masyarakat. Agama dan tradisi
lokal dipandang sebagai dua komponen yang sulit dipisahkan antara yang satu
dengan lainnya. Agama dan tradisi lokal bersentuhan dengan begitu intens,
sehingga sulit untuk melakukan diferensiasi antara nilai-nilai agama dan
tradisi lokal itu sendiri. Hubungan antara keduanya sering disebut dengan
istilah antocracy atau cosmik totality.
Agama
dan tradisi lokal merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dikaji
dan diteliti sedari dulu sampai sekarang. Dalam sejarah kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial agama dan tradisi lokal merupakan dua hal yang tidak
dapat terpisahkan. Tradisi lokal mempunyai posisi yang penting dalam agama dan
masyarakat. Dimana antara keduanya saling tarik menarik, siapa yang harus rela
mengalah demi yang lain, padahal keduanya sama-sama dibutuhkan dalam
sebuah masyarakat sejak dulu sampai sekarang. Hal ini disebabkan adanya
kecenderungan alamiah manusia untuk meyakini yang Maha Tinggi, demikian juga
mereka mempunyai kebiasaan melakukan apa yang biasa dilakukan oleh nenek
moyangnya, itulah yang dinamakan tradisi. Dalam unkapan Jawa terkenal dengan
istilah “mikul dhuwur, mendhem jero” (menjunjung tinggi nama baik,
memendam segala yang merusak nama baik), yaitu melestarikan adat para leluhur.[3]
Terdapat banyak perspektif dalam membaca fakta
sejarah, utamanya lagi terhadap sejarah peradaban umat islam. Perbedaan cara
pandang tersebut sebagai akibat dari kekayaan khazanah pengetahuan tentang
sejarah yang berbeda. Hal itu dipicu dari keragaman teori sejarah dan banyaknya
kepentingan pembaca dalam memahami fakta masa lalu yang dicermatinya
Keragaman cara baca pandang terhadap fakta sejarah
ini hendaknya, tidak melahirkan konflik. Karena sejarah pada prinsipnya
merupakan fakta tunggal yang “rela” untuk diinterpretasikan oleh siapapun. Akan
tetapi seyogyanya tetap berangkat pada kaidah-kaidah ilmiah dan akademik
sehingga obyektivitasnya dapat lebih dipertanggungjawabkan.[4]
Menurut Khalil Abdul Karim, Kajian tentang dunia
arab, terutama fase prakerasulan Muhammad Saw. Telah banyak dilakukan para
intelektual, baik dari dunia belahan Timur maupun Barat. Kajian tersebut,
mayoritas berkesimpulan yang senada bahwa masnyarakat Arab pra-Islam adalah
jahiliyah, bodoh, dan sesat. Dalam situasi demikian, islam datang sebagai penyelamat.[5]
Kalangan du’at
( sebutan untuk kalangan Islam kanan) banyak yang mengilustrasikan fase
prakerasulan Muhammad dengan predikat-predikat keji dan menggambarkan bangsa
Arab di semenanjung Arabia ketika itu dengan gambaran-gambaran minor, sehingga
terbentuk image kuat di alam pikiran
(umat islam) bahwa era tersebut merupakan era kekelaman, kebodohan, dan
kesesatan, di mana penduduk pada masa itu pun tak lebih dari kelompok
orang-orang barbar yang bengis, irasional, tak berbudaya, dan bermoral bejat.[6]
Menurut Asghar Ali Engineer, gurun pasir di
sekitar Makkah, tempat kelahiran Islam adalah tempat yang tidak ramah dan
memperlihatkan cara hidup yang keras dan primitif.[7] Sebagaimana yang telah disebutkan, Makkah, tempat
kelahiran Islam, berada di pinggiran
guru pasir yang sangat luas. Gurun ini dihuni oleh penduduk yang disebut badui.[8]
Implikasi tersebut, merambah kebanyak hal dalam
kehidupan umat Islam, terutama menyangkut persoalan syari’at. Syari’at islam merupakan
ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hambanya yang
diturunkan melalui rasul-Nya, Muhammad saw, untuk mengatur hubungan manusia
dengan tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya.[9]
Syari’at islam meliputi akidah dan syari’at yang diyakini sebagai produk murni
islam yang dibawa oleh Muhammad saw, tanpa ada campur tangan dari manapun.
Doktrin ini menyebabkan kefanatikan bagi umat Islam sendiri. Islam menjadi
beku, upaya dialog, dianggap menentang dan memusuhi, serta penggalian terhadap
sejarah secara kritis dianggap merongrong kewibawaan agama yang membahayakan.
2.
Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah diatas, maka
rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pemikiran Khalil Abdul Karim tentang hubungan syari’at Islam
dan tradisi bangsa Arab pada masa pra-Islam?
b. Bagaimanakah relevansi pemikiran Khalil Abdul Karim dengan konsep
konsentrisitas, kontinyuitas dan konvergensi dalam budaya Islam lokal di
Indonesia?
3. Pentingnya topik pembahasan
Pentingnya topik pembahasan dalam buku Khalil
Abdul Karim yang berjudul, Syari’ah:
Sejarah Perkelahian Pemaknaan, merupakan upaya untuk membongkar
warisan atau peninggalan-peninggalan Arabisme yang diwarisi oleh Islam dari
bangsa Arab. Hal ini bertujuan untuk memahami Islam secara benar. Pembahasan
buku ini memiliki nilai yang sangat penting, sebab kajian seperti ini akan
menjadi kunci metodis untuk membuka kebenaran pemahaman tentang Islam. Terutama
dalam persoalan-persoalan yang menjadi polemik dilapangan kajian Islam, seperti
syura, khilafah, hijab, niqab, memandang perempuan, perempuan bekerja di luar rumah,
partai, oposisi,dan sistem hukum.[10]
Tujuan buku yang berjudul Syari’ah: Sejarah Perkelahian pemaknaan[11]
berusaha memahami bahwa beberapa
saat sebelum Islam diperkenalkan dan diperjuangkan oleh Muhammad saw sebagai
pondasi peradaban baru, bangsa arab dan bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya
telah memiliki peradaban. Secara berturut-turut diungkapkan berbagai aspek
peradaban Arab pra-Islam, diantaranya: agama, politik, ekonomi, dan seni
budaya.
4.
Metodologi pemikiran Khalil Abdul
Karim
Metodologi merupakan aspek tersulit dari pembahasan
tentang pemikiran seorang tokoh. Untuk dapat memahami metodologi pemikiran Khalil
Abdul Karim, secara sederhana dapat dilakukan dengan cara menelususri
perkembangan pemikirannya. Khalil termasuk tokoh yang banyak bergelut di bidang
historiografi Islam, hingga banyak menghasilkan magnum opus yang menyita
perhatian banyak pihak. Pemikiran kritisnya terhadap sejarah Islam hasil
penalaran kalangan Islamis, yang menurutnya hanya diisi dengan mitos-mitos yang
tidak realistis, membuatnya menyatakan bahwa sejarah perlu ditulis ulang.
Karena dalam hemat Khalil, pemahaman yang benar terhadap sejarah Islam merupakan
kunci metodologis terpenting untuk memahami Islam secara benar.
Secara lebih
rinci, dalam pembahasan buku ini mempergunakan pendekatan historis yaitu: asal-usul, pertumbuhan dan perkembangan suatu objek
keagamaan (ajaran pemikiran, kebiasaan, kelompok masyarakat, sikap hidup dan
seterusnya). Dari segi
metodologis ini, Khalil berpandangan bahwa referensi-referensi klasik perlu
ditelaah ulang dan dianalisis dengan pendekatan antropologis. Pendekatan
antropologis adalah agama dalam
pengamalan kelompok manusia yang menganutnya. Salah satu hal yang menjadi
perhatian utama adalah fungsi agama dalam masyarakat atau kelompok yang
menganutnya. Yang mesti diingat terus dalam penelitian antropologis adalah
penghormatan kepada tradisi yang diteliti sebagai sesuatu yang asli dan
fungsional, tidak boleh ada penilaian normatif terhadapnya.
Menurut Abdul Karim, antropologis adalah tinjauan dari
aspek penciptaan budaya oleh manusia. Tinjauan ini dimaksudkan untuk
mendapatkan keterangan sampai seberapa jauh aspek-aspek manusiawi yang
mempengaruhi lahirnya kebudayaan, terutama pembinaan moral bangsa. Suatu
ketentuan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa manusia merupakan makhluk
budaya, dalam arti dengan seluruh potensi yang dimiliki, mampu melahirkan
cipta, rasa, dan karsa.[12]
B.
Pemikiran Khalil Abdul Karim
1. Biografi dan karya Khalil Abdul Karim
Khalil Abdul-Karim (خليل عبد
الكريم ) lahir di kota Aswan
Mesir. Tokoh kontroversial ini lahir pada tahun 1929 di satu desa kecil
yang masuk dalam Propinsi Aswan. Sebuah daerah di kawasan selatan Mesir yang
berbatasan langsung dengan Sudan. Setelah setelah lulus SMA, Ia pergi ke Kairo
untuk belajar Hukum di Universitas Fu’ad al-‘Ulum Kairo. Di perguruan tinggi
terkemuka Mesir, Khalil Abdul Karim mempelajari ilmu hukum secara tekun di
fakultas hukum (Kuliyyat al-Huqûq).
Khalil Abdul Karim menyelesaikan jenjang S1 Pada bulan
Mei tahun 1951. Kemudian, menjadi pengacara magang di lembaga hukum yang didirikan
oleh Abdul Qadir ‘Awdah, Ibrahim al-Thayyeb dan bergabung dengan Pengacara
sindikat.
Selama dua tahun, menghabiskan waktunya sebagai pengacara
di kantor pengacara terkemuka Persaudaraan muslim. Khalil Abdul Karim adalah
seorang pengacara terlatih dan paling populer di Kairo. Aktif pendalam
pembelaan kasus-kasus yang berkaitan dengan kebebasan berbicara dan berpikir. Selain
sebagai pengacara, turut bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Khalil Abdul
Karim, berkeliling ke beberapa wilayah di Mesir dalam rangka mendakwahkan dan
menyebarkan ajaran serta ideologi Ikhwan al-Muslimin kepada segenap lapisan
masyarakat Mesir. Akibat aktivitas politiknya, pada masa pemerintahan Gamal
Abdul Nasher tepatnya di tahun 1954 Khalil Abdul Karim untuk pertama kalinya
mendekam di tahanan. Pada tahun 1965, Khalil Abdul Karim kembali di tahan untuk
kedua kalinya.
Tokoh
kita ini meninggalkan karya berupa buku berjumlah 13 buah yang banyak menuai kontroversi. Karya
pertamanya berjudul "al-'Amal wa al-'Ummâl wa Mawqif al-Islam Minha"
yang terangkum dalam serial "Kitab al-Ahâliy". Buku ini sesungguhnya
merupakan sekumpulan naskah pidato politiknya dalam rangka kaderisasi partai
yang isinya dengan sangat keras menghujat Islam. Wajar bila buku ini tak
diterbitkan penerbit manapun.
Praktis, publik mengenal bukunya yang berjudul "al-Judzur al-Tarikhiyyah
li al-Syari'at al-Islamiyat" sebagai karya Khalil Abdul Karim pertama
yang diterbitkan secara luas. Karya-karyanya yang lain adalah: "Li
al-Syari'at La li Thatbiq al-Hukm", "al-Usus al-Fikriyah li
al-Yasar al-Islamiy", "Mujtama' Yatsrib; al-'Alaqat bayn
al-Rajul wa al-Mar'at fi al-'Ahdayn al-Muhammadiy wa al-Khalifiy",
"al-'Arab wa al-Mar'at; Hafariyat fi al-Isthir al-Mukhayyam",
"Qurays; min al-Qabilat ila al-Dawlat al-Markaziyat", "Syadw
al-Rababat bi Ahwal Mjtama'
al-Shahabat", "al-Nash al-Mu'assis wa Mujtama'uhu",
"al-Islam; Bayn al-Dawlat al-Diniyyat wa al-Dawlat al-Madaniyyat",
dan "Fatrat al-Takwin fi Hayat al-Shadiq al-Amin".
Khalil Abdul Karim yang masyhur sebagai pengacara
dan pemikir progresif telah wafat pada tanggal 14 April 2002 dan dimakamkan di kampung halamannya, Aswan.[13]
2.
Tradisi Lokal Arab Pra-Islam
a.
Ritus-ritus Peribadatan
1)
Peribadatan warisan suku Arab
a)
Pengagungan Baitul Haram (Ka’bah) dan Tanah Suci Sebelum islam terdapat dua
puluh Ka’bah di Semenanjung Arab, tetapi seluruh suku Arab sepakat untuk
menyucikan Ka’bah yang ada di Makkah dan berusaha keras untuk bisa melakukan
ibadah haji. Spirit ini sama-sama dimiliki oleh seluruh suku Arab, baik yang
sudah miliki Ka’bah sendiri.[14] Ibnu kalabi dalam kitabnya, al ashnam menyatakan bahwa bangsa arab begitu mengagungkan Ka’bah
dan Makkah. Mengikuti jejak nenek moyang Ismail, dalam mengagungkan Ka’bah,
beribadah haji dan umrah.
b)
Haji dan umrah
c)
Haji berarti menyengaja atau mengunjungi, maksudnya sengaja mengunjungi
ka’bah dan sekitarnya untuk melakukan kegiatan ibadah kepada Allah SWT pada
waktu tertentu, dengan cara tertentu dan secara tertib.[15] Sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah
menunaikan ibadah haji pada bulan Dzulhijjah. Setiap tahun pada musim haji,
mereka berdatangan ke Makkah dari segala penjuru untuk menunaikan kewajiban
ibadah haji.
d)
Sakralisasi bulan ramadhan
Ayat Al-qur’an yang mengangkat derajat bulan
Ramadhan dan menaikkan nilainya sudah sangat masyur: “bulan Ramadhan adalah
bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia”. Di dalamnya terdapat malam kemuliaan (laitul qadar) yang lebih baik dari seribu bulan. Sakralisasi bulan
mulia ini merupakan salah satu tradisi yang diwarisi Islam dari bangsa Arab
yang menjadi sumber dasar islam.
e)
Mengagungkan bulan-bulan haram
Bangsa Arab menganggap bulan Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, muharram dan Rajab sebagai bulan-bulan suci (al-Asyur al-Hurum), karena bulan-bulan tersebut merupakan rentang
waktu pelaksanaan ibadah haji menuju ka’bah terbesar dan paling suci, yaitu
Ka’bah Makkah.
f)
Penghormatan atas Ibrahim a.s dan Ismail a.s
Bangsa Arab mengisahkan bahwa orang yang pertama
kali berbahasa Arab dari keturunan Ibrahim adalah Ismail, yaitu ketika datang
ke Makkah dan singgah di pemukiman suku Jumhur, Allah kemudian mengajarkan bahasa
arab kepadanya. Ketika islam datang, kemudian turut menetapkan penghormatan kepada Ismail a.s. Begitu juga bangsa Arab,
jauh sebelum kemunculan Islam sudah meyakini bahwa Ibrahim dan Ismail a.s
adalah orang yang mendirikan bangunan Ka’bah di Makkah al-Mukarramah dan yang
mewajibkan kepada mereka untuk berhaji. Selanjutnya mengagungkan Ka’bah serta
mengikuti jejak tradisi Ibrahim dan Ismail.
g)
Pertemuan umum pada hari Jum’at
Abu salmah mengatakan: orang yang pertama kali
mengucapkan ‘amma ba’d adalah Ka’b
bin Lu’ai. Ia juga yang pertama kali mengatakan hari jum’at dengan nama jum’at.
Hari jum’at (yaum al-Jum’ah) disebut
dengan hari “Urubah (yaum al-Urubah). Begitu
Islam datang, para sahabat Anshar di Yatsrib dikenal dengan sebutan Madinah
menjalankan tradisi ini. [16]
2)
Warisan Suku Hanifah
Sebelum Islam, sebuah gerakan keagamaan yang memiliki kehadiran istimewa
telah berkembang secara khusus di tiga daerah Hijaz: di Yasrib di bawah
pimpinan Abu Amir ar-Rahib, di Thaif dipimpin oleh Umaiyah bin Abi Shalt,
seorang penyair, intelektual, dan di makkah dipimpin oleh beberapa orang
seperti Zaid bin Amr bin Nufail (paman Umar bin Khattab), Waraqah bin naufal
(putra paman Khadijah, si ummul mu’minin),
Abdullah bin jahsy (keponakan Hamzah bin Abdul Muthalib), ka’ab bin Luai bin
Ghalib (kakek tertua Nabi Saw.)
Menurut keyakinan mereka, bahwa keesaan (al-Wahdaniyah) adalah agama nabi Ibrahim. Meskipun gerakan itu
terbatas ruang geraknya, namun eksistensinya tidak dapat ditolak. Eksistensinya
sudah sangat jelas sebagaimana disebut dalam beberapa atsar dan hadist. Para pengikut Mutahannifuh
tersebut dicirikan dengan:[17] Menjauhi penyembahan berhala dan tidak ikut serta
dalam perayaan-perayaan dan musim-musim agama, Mengharamkan sembelihan daging
yang ditujukan pada berhala,dan tidak mau memakan dagingnya, Mengharamkan riba,
Mengharamkan minum khamar dan memberikan hukuman bagi peminumnya, Mengharamkan
zina dan menghukum pelakunya, Beri’tikaf di dalam gua Hira untuk berkhalwat di
bulan Ramadhan dan memperbanyak berbuat kebaikan, memberi makan orang miskin
sepanjang bulan ramadhan, Memotong tangan pencuri, Mengharamkan memakan bangkai,
darah dan daging celeng, Melarang untuk mengubur bayi perempuan hidup-hidup dan
memberatkan atau mempersulit pendidikannya, Menjalankan puasa, mengkhitan alat
kelamin, mandi jinabat.[18]
b.
Ritus-ritus Sosial
Dari segi ritus-ritus sosial, warisan atau peninggalan-peninggalan Arabisme
yang diwarisi sebelum Islam datang dari bangsa Arab adalah sebagai berikut:
jampi-jampi dan mantera, pemeliharaan onta (binatang ternak), poligami, pembedaan
Arab dan non Arab, pembedaan Arab urban dan Arab baduwi, pandangan terhadap
pertanian dan petani, asal-usul pungutan sepersepuluh, Al-istijarah dan Al-jiwar, kehormatan
nasab, dan perbudakan.
c.
Ritus-ritus Hukuman
1)
Al-Aqilah adalah diyat (denda)
yang ditanggung oleh sebuah suku dalam suatu kasus pidana berupa pembunuhan
tidak disengaja ataupun semi sengaja. Jika diyat pengganti nyawa pembunuhan
tidak disengaja ataupun semi sengaja dibebankan secara wajib maka diyat
tersebut ditanggung oleh al-aqilah.
2)
Menurut Khalil Abdul Karim, dalam Syaik Muhammad Ahmad Thanthawi menyatakan
bahwa masyarakat Arab pra-islam telah mengenal sistem qasamah dan menerapkannya di kalangan mereka. Qasamah adalah sumpah
lima sepuluh orang yang berasal dari locus tertentu yang didalalnya ditemukan
korban pembunuhan misterius yang tidak diketahui identitas pembunuhnya,
sementara wali (keluarga korban) pembunuhan kepada penduduk untuk membayar
diyat.
d.
Ritus-ritus Peperangan
Kepala suku atau panglima tertinggi suku dalam peperangan atau amir suku
dalam penyerangan berhak mengambil seperempat rampasan perang yang berhasil
direbut dari musuh. Sementara tiga perempat dibagi-bagi pada pasukan. Dalam
sebuah hadist, uday bin hatim yang menjadi panglima perang dua masa menyatakan:
“Aku mendapat seperempat pada masa jahiliyah dan seperlima pada masa Islam.”
Seorang panglima pada masa jahiliyah mendapat seperempat harta rampasan perang,
sementara pada masa Islam ia hanya mendapat seperlima.[19]
Setelah kedatangan Islam, bagian untuk pemimpin panglima atau amir tetap
dipriorotaskan, hanya saja menguranginya dari seperempat menjadi seperlima. As-salb adalah sesuatu yang diambil oleh
suatu pasukan dari orang yang dikalahkan atau dibunuhnya, berupa baju besi,
senjata dan kuda. Sedangkan Ash-shafiyy adalah sesuatu yang diambil
oleh panglima perang dari hasil rampasan perang dan dipilih untuk dirinya sebelum
dibagi-bagikan.
e.
Ritus-ritus Politik
1)
Khalifah
Telah menjadi tradisi tersendiri di kalangan suku-suku Semenanjung Arab
bahwa pemimpin suku secara mayoritas dipilih dari kalangan elit yang memiliki
pengaruh dan kekuasaan dalam masyarakat. Misalnya, seorang yang paling tua
usianya diantara anggota-anggota suku, memiliki keberanian, pengalaman,
memiliki harta kekayaan, dan kemurahan hatinya.
Pemilihan kepala suku ditangani oleh Majelis Suku (parlemen suku) yang
terdiri dari orang-orang yang berpengaruh, kepala-kepala keluarga di lingkungan
suku, setiap anggota yang telah mencapai usia 40 tahun dan memperolah hak
keanggotaan dengan kebebasan penuh untuk berbicara di tingkat
pertemuan-pertemuan majelis. [20]
Menurut Khalil Abdul Karim, dalam kutipan Dr. Husein Fauzi an-Najjar
menyebut model pemerintahan seperti ini sebagai pemerintahan patriarki yang
dipresentasikan oleh kepala suku (Syaikh
al-Qabilah. Kaum muslimin tidak merasakan perubahan berarti antara pola
pengaturan urusan mereka pada masa Jahiliah dengan apa yang dilakukan Islam,
kecuali dari segi nilai-nilai (paradigma) yang mempengaruhi dan mengaturnya.
Kepemimpinan Muhammad atas komunitas Islam tidak berbeda jauh dengan
kepemimpinan kakek buyutnya. Qushaiy atas suku Quraisy. Dr. an-Najjar ingin
menegaskan bahwa sistem pengelolaan urusan public dalam Islam tidak berubah
dari sistem yang dulu pernah ada sebelum Islam yang disebut sebagai Jahiliyah. Yang berubah hanyalah
nilai-nilai (paradigma), merupakan persoalan etis, bukan administratif atau
politis. Sudah merupakan hal akiomatis, jika nilai-nilai terus bergerak
membaik, sebab penataan akhlak (moral) adalah fungsi primer agama disamping
tentunya akan persoalan kehidupan mendatang (akhirat). Kerangka sistem tetap
sama sebelum islam datang.
Menurut Abdul Karim ,dalam kutipan an-Najjar mengambil kesimpulan tegas
bahwa “nabitidak pernah mengisyaratkan sesuatu yang harus diikuti oleh kaum
muslimin dalam memerintah masyarakat Islam yang telah berkembang pesat dan
menyebar luas. Nabi tidak meletakkan prinsip-prinsip baku bagi sebuah sistem
pemerintahan. Beliau tidak mengubah sedikitpun apa yang telah berlaku dan
dipegang oleh suatu kaum dalam mengelola urusan-urusan profane mereka”.
Pemilihan Abu bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah di Tsaqifah Bani Saidah
juga dilakukan dengan mekanisme yang sama sebagaimana yang diwarisi kaum
muslimin dari bangsa Arab pendahulu mereka. Yaitu melalui mekanisme musyawarah
yang dipresentasikan dalam majelis permusyawaratan kaum muslim yang kala itu
terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar.[21]
Begitu juga Umar bin khattab r.a sebagai khalifah kaum muslimin
menggantikan Abu Bakar juga dilakukan dengan mekanisme yang sama meski ada
rekomendasi dari abu bakar untuk menunjuk umar sebagai penggantinya sebelum ia
meninggal dunia. Akan tetapi, umar tidak secara otomatis mencapai posisi
tersebut, Kecuali setelah digelarnya musyawarah yang dihadiri oleh Abdurrahman
bin Auf, Ustman bin Affan, Said bin Zaid, Asyad bin Hudhair dan sahabat-sahabat
lain dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
2)
Syura
Menurut penulis, dalam kutipan Abdul Qadir Audah syari’at Islam
melegitimasi prinsip syura dalam (QS.
asy-Syura, 42:38) firman Allah: sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antar mereka dan (QS. ali Imran,
3:159) Allah befirman: bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Legitimasi teori ini bukan terjadi karena konsekuensi kondisi jama’ah, sebab
kala itu bangsa Arab berada dalam titik kebodohan, kemunduran, dan terbelakang.
Akan tetapi, syari’at menetapkan hal tersebut sebelum segala sesuatu merupakan
prasyarat sebuah syari’at yang sempurna, abadi, dan terjaga dari penggantian
dan pengubahan.
Syura adalah sistem Arab original dan merupakan salah satu tradisi
suku-suku Arab tribal yang sudah membumi dan turun-temurun hingga sekarang. Ia
tumbuh bukan untuk mengusai kepala atau pemimpin suku, melainkan lebih
merupakan mekanisme penjaringan ide-ide terbaik yang berlangsung di lembaga
Majelis Permusyawaratan Suku.
C.
Analisis Pemikiran Khalil Abdul
Karim tentang syari’at Islam dan tradisi Arab Pra-Islam dengan konsep konsentrisitas,
kontiyuitas, dan konvergensi dalam
tradisi Islam budaya lokal.
1. Pemikiran Khalil Abdul Karim sebagai Implementasi Konsep konsentrisitas,
kontinyuitas, dan konvergensi dalam
tradisi Islam budaya lokal Kebudayaan adalah hasil dari cipta,
rasa, dan karsa manusia. Sebagai suatu pengertian, kebudayaan dapat diartikan
sebagai perkembangan kecerdasan akal pada umumnya pada suatu masa atau daerah,
sedangkan menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah “keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. [22]
Kebudayaan mempunyai unsur pokok
yaitu: potensi perekonomian, sistem politik, tradisi-tradisi yang menyangkut
tingkah-laku dan sopan santun, perbendaharaan dan ilmu kesenian. Perkembangan
dan kemajuan kebudayaan didukung oleh beberapa faktor yaitu, faktor geografis, ekonomis,
dan psikologis, yang meliputi agama, bahasa, dan pendidikan. [23]
Dapat ditegaskan bahwa pemikiran
Khalil Abdul Karim sebagaimana buku yang berjudulnya, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan, adalah tergolong buku sejarah yang memfokuskan
diri pada tela`ah akar sejarah tradisi fiqh. Sementara itu dilihat dari materi
kesejarahan yang diangkat, buku Karim juga bisa dikatakan sebagai bercorak antropologi
sosial. Anthropologi didefinisikan sebagai studi terhadap semua aspek kehidupan
dan budaya manusia. Pilahan-pilahan studi ini di antaranya adalah antropologi
sosial yang di antara konsennya adalah sistem sosial, sistem religi dan sistem
pengetahuan.[24]
Dalam kajian antropologi fungsi
sistem kekerabatan par excellence
adalah dalam hal pengaturan
perkawinan. Pengaturan perkawinan oleh sistem kekerabatan lebih banyak
berorientasi pada hubungan gender, yakni konstruksi sosial berkaitan dengan
status dan posisi seseorang (suami/istri) dalam sistem sosial tertentu. Karena
lekatnya bentuk perkawinan dengan sistem kekerabatan, perkawinan dalam
masyarakat sering kali dikatakan sebagai salah satu variabel yang menentukan
status seseorang dalam masyarakat.
Meski demikian ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam memilih unsur-unsur budaya mana yang perlu, mana
yang tidak perlu, mana yang baik, dan mana yang buruk dan disesuaikan dengan
perekembangan zaman. Pemikiran Khali Abdul karim, di dalam tradisi Arab
Pra-islam yang terdapat ritus-ritus ubudiyah, sosial, hukuman, peperangan,
politik dapat diwujudkan dalam konsep triloginya yang terkenal dengan nama
“Trikon”. Konsep ini merupakan hasil ramuan berdasarkan pengamatan Ki Hajar
Dewantara tentang budaya timur dan barat. Trikon pengertiannya sebagai berikut.
Kontinyu : Menuju dengan alam budaya sendiri.
Konvergen : Berbaur dengan alam budaya diluarnya,
untuk menuju Konsentris :Hasil persatuan dari kedua alam budaya, namun
kepribadian alam budaya sendiri masih ada.
2. Kontribusi dan Signifikansi Pemikiran Khalil Abdul Karim dalam Dinamika
Tradisi Islam Budaya Lokal. Di sinilah letak strategis dari
pemikiran Khalil Abdul Karim bahwa dalam rangka penyelesaian konflik yang sudah
terjadi secara berkepanjangan dan berlarut-larut harus ditemukan titik terang
secara substansi, apa yang menjadi sumber dari semua konflik yang telah
mlahirkan ketegangan antara Islam, syari’at Islam dalam mnghadapi kearifan
lokal di mana pun ia berada.
Jadi merunut pemikiran Khalil Abdul
Karim yang sudah di urai di dalam makalah ini, yaitu harus dikembalikan
pada realitas Islam pada masa Islam awal tentang bagaimana proses Islam itu
diturunkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw pada masyarakat Arab pra-Islam.
Pada kenyataannya Islam begitu arif dan bijaksananya membaca situasi dan
kondisi masyarakat yang ada di sekitarnya. Islam tidak pernah begitu keras
menentang, memberantas, menolak, memberangus dan memusnahkan apa yang sudah
ada.
Teori Khalil Abdul Karim trsebut sangat
relevan bila ditawarkan menjadi solusi terhadap gerakan purifikasi agama
(pemberantasan dari segala amalan agama yang dianggap bi’ah) yang telah
dipraktikkan selama ini di Indonesia dengan menyebar lebel ‘kembali kepada
Islam murni’.[25]
Karenanya, buku Khalil Abdul Karim, Syari’ah;
Sejarah Perkelahian Pemaknaan, kiranya pantas menambah Khazanah pustaka
peminat kajian fiqh, terlepas dari beberapa kelemahan buku ini. Wacana
pergumulan fiqh dan budaya akan selalu up to date seiring dengan
menguatnya tensi kelompok moderat dan puritan.
D.
Penutup
Dari uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Khalil Abdul Karim adalah seorang kritikus sejarah yang sangat
kontroversial di zamannya dan karya-karyanya dalam bentuk buku banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti Hegemoni Quarasy, Syari’ah,
dan lain-lain. Sejak selesai mahasiswa ia masuk dan terlibat dalam gerakan
politik Ikhwanul Muslimin, akibat aksinya tesebut ia kemudian mendekam di
penjara.
2. Sebelum Islam datang, banyak warisan atau peninggalan-peninggalan Arabisme
yang diwariskan oleh Islam dari bangsa Arab. Khalil Abdul karim menunjukkan
secara luas tentang warisan-warisan peradaban masyarakat Ara pra-Islam yang
terus digenggam umat Islam.
3. suku-suku Arab yang menempati semenanjung Arabia sebelum kemunculan Islam
perlu dikaji secara mendalam dan menyuluruh dari segala aspek. Dimulai dari
penggambaran peta yang menjelaskan titik-titik wilayah suku-suku tersebut,
kemudian dilakukan penelitian-penelitian terhadap seluruh aspeknya yang
meliputi aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, bahasa, episteme dan agama.
4. Kajian terhadap suku-suku masa lalu lewat penulisan dalam berbagai bidang,
peninggalan, suku-suku lokal serta tradisi, adat-kebiasaan, dan tatanan yang
dimilikinya akan dapat memberikan jawaban atas berbagai masalah dan problem
yang mengajak kita untuk memikirkan keadaan sekarang dan masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim, Khalil, 2003, Sejarah
perkelahian pemaknaan, Jogyakarta: Lkis
________,Historisitas Syari'at slam, terj.
M. Faisol Fatawi, Pustaka Alief, Yogyakarta, 2003
________,Relasi Gender Pada Masa Muhammad dan Khulafa’
al-Rasyidin, terj. Khairon Nahdiyyin, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997
________, Negara Madinah : Politik Penaklukan
Masyarakat Suku Arab, LKiS, Yokyakarta, 2005
Karim, Abdul, 2010, Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam, Jogyakarta: bagaskara
Karim, Abdul, 2007, Islam Nusantara,Jogyakarta,
Pustaka Book Publisher
Syafii Maarif, Ahmad, 2007, Islam
Nusantara, Jogyakarta:pustaka book publisher
Tim penulis, 2010, Studi Islam, universitas
muhammadiyah Surakarta, LPID
Yatim, Badri, 1997, Historiografi Islam,
Jakarta: PT logos wacana ilmu
________, 2004, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Mufrodi, ali, 1997, Islam Di kawasan
Kebdayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Engineer, Asghar Ali, 1999, Asal-Usul
dan Perkembangan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mahmudah-alfed.blogspot.com.rekonstruksi-syari’at-islam-pemikiran.html
diakses 9 April 2014
[1] Husnul Khatimah, Penerapan
Syari’at Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 2
[2] Ibid, hlm. 11
[3]
Mahmudah-alfed.blogspot.com.rekonstruksi-syari’at-islam-pemikiran.html diakses
9 April 2014
[4] M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan peradaban Islam (Yogyakarta: Bagaskara, 2012), hlm. 17
[5] Khalil Abdul Karim, Syari’ah sejarah perkelahian
pemaknaan (Yogyakarta: Lkis, 2003) hlm. vii
[6] Ibid, hlm. ix
[7] Asghar Ali Engineer, Asal-Usul
dan Perkembangan Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999) hlm. 18
[8] Ibid, hlm. 20
[9] Tim Penulis Hizbut tahrir Indonesia, Menegakkan syari’at Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, 2002. hlm. 20
[10] Khalil Abdul Karim, Syari’ah sejarah perkelahian
pemaknaan (Yogyakarta: Lkis, 2003) hlm. xii
[11] Secara keseluruhan buku ini terdiri dari pendahuluan, bagian pertama, peribadatan
warisan suku Arab (pengagungan baitul haram/ka’bah dan tanah suci, haji dan
umrah, sakralisasi bulan ramadhan, mengagungkan bulan-bulan haram, penghormatan
atas Ibrahim a.s dan Ismail a.s, pertemuan umum pada hari jum’at). Warisan penganut tradisi hanafiyyah. Bagian kedua, Sosial (
jampi-jampi dan mantra, pemeliharaan onta/binatang ternak, poligami, pembedaan
arab dan non Arab, pembedaan arab urban dan arab badawi, pandangan terhadap
pertanian dan petani, asal usul pungutan sepersepuluh, al-istijarah dan
al-jiwar, kehormatan nasab, perbudakan. Bagian ketiga, hukum ( al-aqilah dan
al-qasamah). Bagian keempat, peperangan (seperlima bagian rampasan perang,
as-salb dan ash shafiyy). Bagian kelima, politik: khilafah dan syura.
[12] Abdul Karim, Nusantara Islam (Yogyakarta:
Pustaka Book. Publisher) hlm. 129
[13] Lihat www.
Mahmudah-alfed.blogspot.com.rekonstruksi-syari’at-islam-pemikiran.html diakses
9 April 2014
[14] Khalil abdul karim, syariah: sejarah perkelahian pemaknaan, (Yogyakarta: Lkis, 2003)
hlm. 6
[15] Tim penulis, Studi Islam:al
islam dan kemuhammadiyahan, ( universitas Muhammadiyah Surakarta: lembaga
pengembangan ilmu-ilmu dasar, 2010)hlm. 91
[17] Khalil Abdul Karim, Historisitas
Syari’ah Islam, terj. M. Faisol
Fatawi, ( Yogyakarta: Penerbit Pustaka Alief, 2003) hlm. 30
[18] Ibid, hlm. 31
[19] Khalil abdul karim, syariah: sejarah
perkelahian pemaknaan, (Yogyakarta: Lkis, 2003) hlm. hlm. 108
[20] Ibid, hlm 118
[21] Ibid, hlm. 121
[22] Abdul Karim, Islam Nusantara,
(Yogyakarta, Pustaka Book Publisher) hlm. 124
[23] Mushtafa, Kebangkitan
Kebudayaan Islam, ( Jakarta) hlm. 70
[24] http://abidponorogo.wordpress.com/2012/01/19/language-game-studi-fiqh.
diakses pada tanggal 5 mei 2014
Comments
Post a Comment