BOOK REVIEW
PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID DALAM BUKU
ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA
ABSTRAK
Studi Islam Indonesia bahkan studi agama secara global- dalam
kaitannya dengan pluralitas agama tidak bisa menafikan pemikiran tokoh
pluralisme Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mantan Ketua Umum PBNU ini
dikenal memiliki tradisi intelektual yang sangat kuat, terutama berkaitan
dengan kajian isu-isu keagamaan. Bertepatan dengan ulang tahun kedua The Wahid
Institute, Gus Dur meluncurkan buku karyanya yang berjudul;Islamku, Islam Anda,
Islam Kita'. Buku tersebut berisi kumpulan artikel yang pernah ditulis Gus Dur
berkaitan dengan pemahaman dan pemaknaan agama (Islam) di Indonesia dalam
konteks pluraalisme. Oleh karena itu, buku itu setidaknya bisa memberikan
kontribusi dan pencerahan atau justru kritik di tengah pergolakan
persoalan-persoalan keagamaan yang kerap terjadi di Indonesia. Dalam konteks
itulah, penulis berpendapat buku tersebut patut dikaji lebih dalam. Ada dua
masalah pokok yang ingin penulis ketahui lewat telaah buku ini. Yakni bagaimana gagasan Gus Dur tentang Pribumisasi Islam dan
bagaimana signifikansi dan kontribusinya terhadap dinamika pembaruan pemikiran
Islam di Indonesia. Dengan pendekatan ini juga penulis secara spesifik membahas
pemikiran Gus Dur tentang Pribumisasi Islam yang ada dalam buku;Islamku, Islam
Anda, Islam Kita'. Meski bukan sebuah gagasan baru, tapi Pribumisasi Islam Gus
Dur sebagai sebuah wacana bisa memberikan kontribusi positif bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya menyangkut pemahaman keagamaan.
Implementasinya bisa mewujudkan kehidupan beragama yang toleran dan harmoni.
Sementara dalam perspektif gerakan, gagasan Gus Dur tersebut bisa menjadi satu
bentuk antitesis atau solusi dari pertentangan antara gerakan Islam
fundamentalis dan gerakan Islam liberal. Pribumisasi Islam mendorong tampilnya
Islam yang santun dan bisa mengakomodir kekuatan-kekuatan dan nilai-nilai serta
budaya lokal.
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam konteks pemikiran Islamku, Islam
anda, Islam kita, Abdurrahman Wahid,[1]
dikenal sebagai seorang intelektual yang bukan saja tidak linier, tetapi juga
proses. Hal itu terlihat misalnya dalam pengakuan Gus Dur yang melihat islam
sebagai agama yang telah mengalami perubahan-perubahan besar.[2]
Ia melihat realitas bahwa islam sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan
saling mengambil berbagai idiologi non Agama, bahkan juga pandangan dari
Agama-Agama lain.
Berangkat dari pandangan seperti itu, Gus Dur
menyimpulkan bahwa Islam yang difikirkan dan dialaminya adalam Islam yang Khas
yang diistilahkan sebagai “Islamku, Islam anda, Islam kita”, istilah “Islamku”
ini diambil dari pengalaman pribadinya yang perlu diketahui oleh orang lain,
tetapi tidak dipaksakan terhadap orang lain. Sementara yang dimaksud dengan
“Islam anda” lebih merupakan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap
tradisionalisme atau ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam kontes ini, Gus Dur memberikan
apresiasi terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai “kebenaran” yang
dianut oleh komunitas masyarakat tertentu yang harus dihargai karena hal ini
berangkat dari keyakinan bukan dari pengalaman. Adapun perumusan tentang “Islam
kita” lebih merupakan derivasi keprihatinan seseorang terhadap masa depan Islam
yang didasarkan pada kepentingan bersama kaum muslimin, visi Islam kita
menyangkaut konsep integratif yang mencakup Islamku, Islam anda, dan kaum
muslimin seluruhnya.[3]Dari
uraian tersebut jelas kiranya bahwa perjalanan intelektual Gus Dur lebih
merupakan “proses menjadi” (process of becoming), dari pada “proses
adanya” (process of being). Dan hal yang terpenting dari pemikiran Gus
Dur adalah penolakanya terhadap formalasi, ideologisasi, dan syari’atisasi
Islam. Sebaliknya Gus Dur melihat kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan
Agama ini untuk berkembang secara kultural.
Ketidak setujuan Gus Dur terhadap
formalasi Islam itu terlihat misalnya terhadap penafsiran ayat Al-Qur’an yang
berbunyi “udhkuluu fi al silmi kaffah”, (QS. Al-Baqarah: 208).[4]
yang sring ditafsirkan secara literal oleh para pendukung islam formalis. jika
kelompok Islam formalis yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata
“Islami”, sedangkan Gus Dur sendiri menafsirkan kata tersebut dengan
“perdamaian”. Mereka yang terbiasa dengan formalisasi akan terikat kepada
upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundemental dengan
mengabaikan pluralitas masyarakat[5].
baca juga:https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pemikiran-abdurrahman-wahid-dalam-buku.html
baca juga:https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pemikiran-abdurrahman-wahid-dalam-buku.html
Selain formalis Islam Gus Dur juga
menolak ideologisasi Islam, bagi Gus Dur ideologisasi Islam tidak sesuai dengan
perkembangan Islam yang ada di indonesia, yang dikenal dengan “Negerinya kaum
muslimin moderat”. Islam di Indonesia, menurut Gus Dur muncul dalam keseharian
kultural yang tidak berbaju ideologis.[6]
Disisi lain bahwa ideologisasi mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya
politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks
keagamaan. implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya
sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap
pancasila, dan memperjuangkan kembali piagam Jakarta, dan anggota DPRD yang
mengeluarkan peraturan daerah dengan menggunakan berdasarka syari’at Islam.
Menurut Gus Dur peraturan-peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945, penolakan Gus Dur terhadap hal tersebut mendorong dirinya tidak
menyetujui gagasan tentang Negara Islam.[7]Hal
tersebut didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at)
tidak memiliki konsep yang jelas tentang Negara.
Dasar yang dipake Gus Dur ada Dua pertama
bahwa Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang
pergantian kepemimpinan, itu terbukti ketika Nabi Muhammad wafat dan digantikan
oleh Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah melakukan melalui bai’at oleh
para kepala suku dan wakil-wakil kelompok umat yang ada pada waktu itu.
Sedangkan Abu bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya
Umar bin Khattab yang diangkat menggantikan pisisinya.ini yang dipake berarti
sistem penunjukan.sementara umar menjelang wafatnya meminta agar penggantinya
ditunjuk melalui dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang, lalu dipilihlah
Utsman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya Utsman bin Affan
digantikan Ali bin Abi Thalib. Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan
kerajaan atau marga yang menurunkan calon-calon raja dan sultan dalam sejarah
Islam. kedua besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak
jelas sukuranya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan
mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan misalnya, Negara
Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negara-negara (nation-natioon),
ataukah hanya Negara-Kota (city-state).[8]
B. Pentingnya Topik Penelitian
Dalam artikel-artikelnya, Abdurrahman Wahid memilih
topik Islamku, Islam anda, Islam kita, sebagai topik utama penelitian. Topik kajian Abdurrahman Wahid ini
tentu sangatlah tepat sebagai pijakan awal untuk melakukan pembaharuan terhadap
pemikiran Islam yang selama ini dalam penafsiranya
bersifat tekstual dan radikal, dan menimbulkan pemikiran yang formalisasi,
yaitu menunjukan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang
bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islamic polity) seperti mewujudnya suatu “sistem politik
Islam” munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiom-idiom politik,
kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperementasi sistem ketatanegaraan Islam.
Karena itu kaum formalis sangat menekankan kepada ideologisasi atau politisasi yang mengarah pada simbolisme
keagamaan secara formal dan akhirnya menimbulkan syari’atisasi yang akhirnya
meyetujui tentang Negara Islam.[9]mengutip pendapat mantan Hakim Agung Mesir,
Al-Asnawi upaya syari’atisasi semacam itu menurut ilmu fiqih termasuk dalam takhsil
al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan).[10] Sedangkan Pemikiran Islam Gus Dur sendiri
lebih menekankan kepada substantif-inklusif yang menyadari negara-negara sedang
berkembang atau dunia ketiga ini secara ekonomis, politis, kultural, dan sosial
sangat berbeda tempatnya dengan saudi arabia dizaman Nabi Muhammad. Juga
pemahaman literal tentang makna Al-qur’an penerimaan yang tidak kritis terhadap
hadist semua itu harus diinterprestasikan kembali kedalam pemahaman modern,
gagasan ini dikemukakan oleh pemikir yaitu Nurchaolish dan Abdurrahman Wahid,[11]
dan kritik-kritiknya banyak diarahkan kepada pendukung yang
berparadigma legal-ekslusif yang banyak dianut oleh kelompok-kelompok Islam
radikal, fundementalis, maupun kelompok-kelompok revivalis lainya.
Pada masa demokrasi liberal, kecenderungan
pemikiran politik yang formalistik ditampilkan oleh partai-partai politik Islam
yang giggih memperjuangkan dasar Negara Islam. Dalam persidangan Konstituante
tahun 1957, tokoh-tokoh islam dari berbagai aliran dan golongan secara tajam
mengkritik Pancasila sebagai dasar filsafat Negara. Menurut Muhammad Nasir
menegaskan bahwa Pancasila itu netral dan sekular. Juga kedudukanya sebagai dasar negara sangat kabur
dan tidak bermakna apa-apa bagi umat islam yang telah memilikisuatu ideologi
yang pasti, jelas dan sempurna. Karenanya natsir mengidealisasikan adanya
negara yang berdasarkan Islam itu bukanlah teokrasi tetapi merupakan negara
demokrasi. Jadi suatu “negara demokrasi Islam “ atau yang dapat di istilahkan
dengan theistic democracy. Hal tersebutlah yang mendorong natsir
tokoh-tokoh Islam lainya tidak sepaham dengan partai-partai islam yang
menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Paradigma- paradigma baru
pemikiran politik formalistik diantaranya, Amien Rais, A.M Saefuddin dan Jalaludin
Rahmat, menurut Amien Rais, politik harus didasarkan dan ditegakkan atas
prinsip-prinsip tauhid. Bila politik lepas dari moralitas dan etika tauhid,
maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara kepada sengsaraan orang
banyak.[12]
Ia juga berpendapat bahwa
politik yang islami, tidak memberi tempat bagi sekularisasi. Sebab sekularisasi
pada dasarnya adalah ideologi, yakni sekularisasionisme akan menjadi
politik tanpa dasar-dasar keagamaan dan nilai-nilai yang berlaku didalamnya
sangat situatif dan situasional. Amien rais juga berusaha melakukan retrospeksi
ideo-kultural islam dalam menantisipasi pengaruh politik barat. Karena
kelemahanya kaum muslimin kini tidak mampu melakukan dialog intelektual yang
seimbang dengan barat, hingga pada akhirnya mereka hanya menjadi
konsumen-konsumen ideoligi barat, termasuk dalam pemikiran politik dan
ketatanegaraan.[13]
baca juga:https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pemikiran-kh-abdul-wahid-hasyim.html
baca juga:https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pemikiran-kh-abdul-wahid-hasyim.html
Cendikiawan lain yang
mempunyai kecenderungan berfikir formalistik adalah A.M Saefuddin dalam
kumpulan bukunya yang berjudul Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi
ia mempromosasikan gerakan “Islamisasi Ilmu” pendidikan islam alternatif dan
perlunya semacam perlawanan ideo-kultural terhadap apa yang disebutnya dengan
“masyarakat modern jahil” sebagai produk peradaban barat. Untuk itu Saefuddin
menggagas masyarakat modern yang Islami yakni suatu masyarakat yang mampu mengendalikan
dirinya kearah budaya universal, tetapi tetap menjadikan al-qur’an sebagai
alternatif dan pedoman hidupnya. Dan Saefuddin juga mendasarkan diri pada
pemahaman literal dan tekstual terhadap ayat-ayat al-qur’an yang mampu
mewujudkan masyarakat islam yang progresif, menjunjung tinggi demokrasi,
membasmi teokrasi dan melenyapkan sekularisme, dan mewujudkan keadilan sosial.
Dari golongan-golongan
diatas yang dapat digolongkan proponen formalisme, ialah Jalaludin Rahmat, yang
melihat pola kehidupan yang tidak berkesesuaian antara Islam dengan barat.
Tetapi dalam konteks kehidupan kaum muslimin, ia menyadari keduanya merupakan
pola-pola kehidupan yang dominan, tetapi dilain pihak ia melihat justru barat
yang mendominasi, ia merasa umat islam saat ini tidak berdaya daan poosisinya
tidak lain dari boneka yang dipermainkan oleh “kafir” dan kaum “musyrik” itu.[14]
C.
Kerangka Teori / Metodologi
Pada buku Abdurrahman Wahid yang berjudul “Islamku, Islam
anda, Islam kita” telah di terangkan dengan jelas tentang bagaimana Gus dur
menanggapi tentang demokrasi suatu negara Indoneesia, bahwasanya beliau
menentang para formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam, yang
menekankan bahwa Indonesia harus menjadi Negara Islam yang berlandaskan pada (syari’at),
alasan Gus Dus menentang para tokoh-tokoh Islam Nusantara yang ingin menjadikan
indonesia sebagai Negara Islam, yaitu kerena syari’at tidak dibatasi oleh Negara,
demikian syariat tidak berkaitan dengan pemerintahan atau sistem politik,
karena islam dipandang semata-mata sebagai agama bukanya sebuah sistem yang
berkaitan dengan tertib negara, syari’at seharusnya tidak diletakan kedalam
dominan negara tetapi tetap diletakan dalam kerangka sistem keimanan Islam.[15]
Menurut Al-Asnawi mantan hakim agung mesir
yang juga dikenal sebagai pemikir progresif Islam terkemuka bahwasanya
al-qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari orientasi etika
islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
Negara. Syariat adalah sebuah jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis dan
membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar dan orientasi-orientasi yang
mulia. dan negara Indonesia adalah negara yang berkembang dan berlandaskan
dengan UUD 1945 dan pancasila, yang mengacu kepada reallitas history, budaya,
dan tradisi bangsa kita sendiri serta substansi ajaran agama yang kita yakini
kebenaranya.[16]
Adapun menurut
penulis metodologi yang dipakai KH. Abdurrahman Wahid dalam menyusun buku ini
yaitu:
1)
Deduksi (dari umum kekhusus)
2)
Klasikal
3)
Hermeneutik
4)
Analisis sintesis (penyelidikan terhadap suatu
peristiwa sehingga membentuk satu kesatuan).
5)
Mengelaborasi Ajaran-Ajaran Agama (Mengerjakan
ajaran-ajaran agama secara tekun dan cermat).
D.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan Abdurrahman Wahid memilih
topik Islamku, Islam anda, Islam kita, sebagai topik utama penelitian. Topik kajian Abdurrahman Wahid
ini tentu sangatlah tepat sebagai pijakan awal untuk melakukan pembaharuan
terhadap pemikiran Islam yang selama ini dalam penefsiranya bersifat tekstual
dan radikal, dan menimbulkan pemikiran yang formalisasi, Sedangkan Pemikiran
Islam Gus Dur sendiri lebih menekankan kepada substantif-inklusif yang
menyadari negara-negara sedang berkembang atau dunia ketiga ini secara
ekonomis, politis, kultural, dan sosial sangat berbeda tempatnya dengan saudi
arabia dizaman Nabi Muhammad. Juga pemahaman literal tentang makna Al-qur’an
penerimaan yang tidak kritis terhadap hadist semua itu harus diinterprestasikan
kembali kedalam pemahaman modern, gagasan ini dikemukakan oleh pemikir yaitu
Nurchaolish dan Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid bahwasanya beliau
menentang para formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam, yang
menekankan bahwa Indonesia harus menjadi Negara Islam yang berlandaskan pada (syari’at),
Paradigma-
paradigma baru pemikiran politik formalistik diantaranya, Amien Rais, A.M
Saefuddin dan Jalaludin Rahmat, yang beralasan bahwasanya politik harus
didasarkan dan ditegakkan atas prinsip-prinsip tauhid.
E.
Kritik dan Arah Buku
Setelah
menikmati alur pembahasan diatas ada banyak kritikan dan saran yang bisa di
paparkan disini. Terutama pada kekurangan dan kelebihan pada buku ini. Mengacu
pada kelebihannya terlebih dahulu, walaupun buku ini hanya sebuah pengatar
dalam pengkajian pemikiran islam mengenai Demokrasi, akan tetapi buku ini dapat
di pandang sebagai buku yang cukup komfrehensif. Karena sebagian aspek pemikiran islam telah di bahas di
dalamnya. Selain itu juga buku ini memuat pemikiran-pemikiran islam yang keras dalam
bidang demokrasi islam.
Kelebihan
lain juga tentang buku ini adalah bahwa setiap pemikiran para ulama dipaparkan
oleh saeed secara lugas, jelas dan sistematis. Sehingga para pembacanya dapat
memahami dengan dengan baik isi buku yang di karangnya, dan dapat menikmati
alur-alur pembahasannya. Para pembacapun tidak cepat jenuh dan bosan dengan
ekspesi dan isi bukunya, sumber-sumber yang di jadikan rujukan oleh saeed dalam menulis bukunya sangat refresentatifdan
sering di gunakan oleh penulis-penulis lain. Terlepas dari kelebihan tersebut,
terdapat kekurangan juga di dalam buku ini, kekurangannya yaitu belum ada pembahasan
tentang pemikira-pemikir islam di Indonesia mengenai kemerdekaan indonesia,
karena masalah yang ditulis oleh Abdurrahman Wahid sejak kemerdekaan sudah ada,
agar yang membacaya nanti lebih paham dan tau bahwasanya masalah demokrasi
memang sudah menjadi pertentangan oleh pemikir-pemikir Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Islamku,Islam anda, Islam
kita,Agama Masyarakat Negara Demokrasi,(The Wahid Intitute Seeding and
Peaceful Islam,2006)
, Ilusi Negara Islam ,Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia,(PT.Desantara Utama Media, Jakarta.2009)
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy,Merambah jalan baru
Islam,Rekonstruksi Islam Indonesia Orde Baru,(Bandung, Mizan, 1986),
hal.241
M. Syafe’i Anwar, Pemikiran dan Aksi
Islam Indonesia,(Paramadina,Jakarta 1995)
Al-Asnawi,Ushus Al-Sharia,(Cairo,Maktabat
Madbuli, 1983)
M. Amien Rais, Cakrawala Islam,(Bandung,
Mizan,1987)
[1]Abdurrahman Wahid Intelektual Islam Indonesia, Pada tahun 1963, Wahid
menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir.. Pertama kali
sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam
Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah
persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran
yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur
sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan
toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki, Terdapat
kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan
Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era
keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat
perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara
modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam
Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di
Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di
kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang
tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan
buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya
secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur,
Yogyakarta,LkiS, 2002,hal.88
[2] Greg Barton,
Ph.D,Gagasan Islam Liberal di Indonesia,(PT.Subdodadi, Jakarta, Pustaka
Antara,1999), hal.332
[3] Abdurrahman
Wahid , Islamku,Islam anda, Islam kita,Agama Masyarakat Negara Demokrasi,(The
Wahid Intitute Seeding and Peaceful Islam,2006), Hlm.66
[4] Bermula dari
ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam kategori al-aktha’asy-sya’iah
(kesalahan-kesalahan yang populer) yaitu idiom “Islam Kaffah” yang
hanya dikenal dalam komunitas muslim inidonesia yang tidak begitu akrab dengan
kaidah-kaidah gramatikal Arab. Isltilah “Islam kaffah” ini sebagai
dokrin teologis. Dokrin ini ditangan mereka mengalami pergeseran, yakni
mengarah keIdeologisasi dengan mendasarkan pada ayat ini. Idiom Islam kaffah
ini sangat sulit difahami sebagai sebuah bentuk kalimat sifat dan mausuf
(yang disifati), belum lagi diajukan pertanyaan apakah kata “kaffah”dalam
ayat tersebut sebagai keterangan dadri kata ganti yang ada dalam “udhulu” yaitu
“antum”atau keterangan dari”as-silmi”.
[14] Fachry Ali
dan Bahtiar Effendy,Merambah jalan baru Islam,Rekonstruksi Islam Indonesia
Orde Baru,(Bandung, Mizan, 1986), hal.241
[16]
Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam ,Ekspansi
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia,(PT.Desantara Utama Media,
Jakarta.2009),hal.18
Comments
Post a Comment