Skip to main content

PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID DALAM BUKU ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA


BOOK REVIEW

 PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID DALAM BUKU
ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA


ABSTRAK

            Studi Islam Indonesia bahkan studi agama secara global- dalam kaitannya dengan pluralitas agama tidak bisa menafikan pemikiran tokoh pluralisme Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mantan Ketua Umum PBNU ini dikenal memiliki tradisi intelektual yang sangat kuat, terutama berkaitan dengan kajian isu-isu keagamaan. Bertepatan dengan ulang tahun kedua The Wahid Institute, Gus Dur meluncurkan buku karyanya yang berjudul;Islamku, Islam Anda, Islam Kita'. Buku tersebut berisi kumpulan artikel yang pernah ditulis Gus Dur berkaitan dengan pemahaman dan pemaknaan agama (Islam) di Indonesia dalam konteks pluraalisme. Oleh karena itu, buku itu setidaknya bisa memberikan kontribusi dan pencerahan atau justru kritik di tengah pergolakan persoalan-persoalan keagamaan yang kerap terjadi di Indonesia. Dalam konteks itulah, penulis berpendapat buku tersebut patut dikaji lebih dalam. Ada dua masalah pokok yang ingin penulis ketahui lewat telaah buku ini. Yakni bagaimana gagasan Gus Dur tentang Pribumisasi Islam dan bagaimana signifikansi dan kontribusinya terhadap dinamika pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Dengan pendekatan ini juga penulis secara spesifik membahas pemikiran Gus Dur tentang Pribumisasi Islam yang ada dalam buku;Islamku, Islam Anda, Islam Kita'. Meski bukan sebuah gagasan baru, tapi Pribumisasi Islam Gus Dur sebagai sebuah wacana bisa memberikan kontribusi positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya menyangkut pemahaman keagamaan. Implementasinya bisa mewujudkan kehidupan beragama yang toleran dan harmoni. Sementara dalam perspektif gerakan, gagasan Gus Dur tersebut bisa menjadi satu bentuk antitesis atau solusi dari pertentangan antara gerakan Islam fundamentalis dan gerakan Islam liberal. Pribumisasi Islam mendorong tampilnya Islam yang santun dan bisa mengakomodir kekuatan-kekuatan dan nilai-nilai serta budaya lokal.
A.           Latar Belakang Masalah                                            
          Dalam konteks pemikiran Islamku, Islam anda, Islam kita,  Abdurrahman Wahid,[1] dikenal sebagai seorang intelektual yang bukan saja tidak linier, tetapi juga proses. Hal itu terlihat misalnya dalam pengakuan Gus Dur yang melihat islam sebagai agama yang telah mengalami perubahan-perubahan besar.[2] Ia melihat realitas bahwa islam sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan saling mengambil berbagai idiologi non Agama, bahkan juga pandangan dari Agama-Agama lain.
          Berangkat dari pandangan seperti itu, Gus Dur menyimpulkan bahwa Islam yang difikirkan dan dialaminya adalam Islam yang Khas yang diistilahkan sebagai “Islamku, Islam anda, Islam kita”, istilah “Islamku” ini diambil dari pengalaman pribadinya yang perlu diketahui oleh orang lain, tetapi tidak dipaksakan terhadap orang lain. Sementara yang dimaksud dengan “Islam anda” lebih merupakan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap tradisionalisme atau ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat.
          Dalam kontes ini, Gus Dur memberikan apresiasi terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai “kebenaran” yang dianut oleh komunitas masyarakat tertentu yang harus dihargai karena hal ini berangkat dari keyakinan bukan dari pengalaman. Adapun perumusan tentang “Islam kita” lebih merupakan derivasi keprihatinan seseorang terhadap masa depan Islam yang didasarkan pada kepentingan bersama kaum muslimin, visi Islam kita menyangkaut konsep integratif yang mencakup Islamku, Islam anda, dan kaum muslimin seluruhnya.[3]Dari uraian tersebut jelas kiranya bahwa perjalanan intelektual Gus Dur lebih merupakan “proses menjadi” (process of becoming), dari pada “proses adanya” (process of being). Dan hal yang terpenting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakanya terhadap formalasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya Gus Dur melihat kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan Agama ini untuk berkembang secara kultural.
          Ketidak setujuan Gus Dur terhadap formalasi Islam itu terlihat misalnya terhadap penafsiran ayat Al-Qur’an yang berbunyi “udhkuluu fi al silmi kaffah”, (QS. Al-Baqarah: 208).[4] yang sring ditafsirkan secara literal oleh para pendukung islam formalis. jika kelompok Islam formalis yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, sedangkan Gus Dur sendiri menafsirkan kata tersebut dengan “perdamaian”. Mereka yang terbiasa dengan formalisasi akan terikat kepada upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundemental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat[5].
baca juga:https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pemikiran-abdurrahman-wahid-dalam-buku.html
          Selain formalis Islam Gus Dur juga menolak ideologisasi Islam, bagi Gus Dur ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam yang ada di indonesia, yang dikenal dengan “Negerinya kaum muslimin moderat”. Islam di Indonesia, menurut Gus Dur muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis.[6] Disisi lain bahwa ideologisasi mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap pancasila, dan memperjuangkan kembali piagam Jakarta, dan anggota DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah dengan menggunakan berdasarka syari’at Islam. Menurut Gus Dur peraturan-peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, penolakan Gus Dur terhadap hal tersebut mendorong dirinya tidak menyetujui gagasan tentang Negara Islam.[7]Hal tersebut didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang Negara.
          Dasar yang dipake Gus Dur ada Dua pertama bahwa Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan, itu terbukti ketika Nabi Muhammad wafat dan digantikan oleh Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah melakukan melalui bai’at oleh para kepala suku dan wakil-wakil kelompok umat yang ada pada waktu itu. Sedangkan Abu bakar sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat menggantikan pisisinya.ini yang dipake berarti sistem penunjukan.sementara umar menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk melalui dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang, lalu dipilihlah Utsman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya Utsman bin Affan digantikan Ali bin Abi Thalib. Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau marga yang menurunkan calon-calon raja dan sultan dalam sejarah Islam. kedua besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam, juga tak jelas sukuranya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan misalnya, Negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negara-negara (nation-natioon), ataukah hanya Negara-Kota (city-state).[8]
B. Pentingnya Topik Penelitian
          Dalam artikel-artikelnya, Abdurrahman Wahid memilih topik Islamku, Islam anda, Islam kita, sebagai topik utama penelitian. Topik kajian Abdurrahman Wahid ini tentu sangatlah tepat sebagai pijakan awal untuk melakukan pembaharuan terhadap pemikiran Islam yang selama ini dalam penafsiranya bersifat tekstual dan radikal, dan menimbulkan pemikiran yang formalisasi, yaitu menunjukan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang dibayangkan (imagined Islamic polity) seperti mewujudnya suatu “sistem politik Islam” munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta eksperementasi sistem ketatanegaraan Islam. Karena itu kaum formalis sangat menekankan kepada ideologisasi atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan secara formal dan akhirnya menimbulkan syari’atisasi yang akhirnya meyetujui tentang Negara Islam.[9]mengutip pendapat mantan Hakim Agung Mesir, Al-Asnawi upaya syari’atisasi semacam itu menurut ilmu fiqih termasuk dalam takhsil al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan).[10] Sedangkan Pemikiran Islam Gus Dur sendiri lebih menekankan kepada substantif-inklusif yang menyadari negara-negara sedang berkembang atau dunia ketiga ini secara ekonomis, politis, kultural, dan sosial sangat berbeda tempatnya dengan saudi arabia dizaman Nabi Muhammad. Juga pemahaman literal tentang makna Al-qur’an penerimaan yang tidak kritis terhadap hadist semua itu harus diinterprestasikan kembali kedalam pemahaman modern, gagasan ini dikemukakan oleh pemikir yaitu Nurchaolish dan Abdurrahman Wahid,[11] dan kritik-kritiknya banyak diarahkan kepada pendukung yang berparadigma legal-ekslusif yang banyak dianut oleh kelompok-kelompok Islam radikal, fundementalis, maupun kelompok-kelompok revivalis lainya.
          Pada masa demokrasi liberal, kecenderungan pemikiran politik yang formalistik ditampilkan oleh partai-partai politik Islam yang giggih memperjuangkan dasar Negara Islam. Dalam persidangan Konstituante tahun 1957, tokoh-tokoh islam dari berbagai aliran dan golongan secara tajam mengkritik Pancasila sebagai dasar filsafat Negara. Menurut Muhammad Nasir menegaskan bahwa Pancasila itu netral dan sekular. Juga  kedudukanya sebagai dasar negara sangat kabur dan tidak bermakna apa-apa bagi umat islam yang telah memilikisuatu ideologi yang pasti, jelas dan sempurna. Karenanya natsir mengidealisasikan adanya negara yang berdasarkan Islam itu bukanlah teokrasi tetapi merupakan negara demokrasi. Jadi suatu “negara demokrasi Islam “ atau yang dapat di istilahkan dengan theistic democracy. Hal tersebutlah yang mendorong natsir tokoh-tokoh Islam lainya tidak sepaham dengan partai-partai islam yang menjadikan Islam sebagai dasar negara.
          Paradigma- paradigma baru pemikiran politik formalistik diantaranya, Amien Rais, A.M Saefuddin dan Jalaludin Rahmat, menurut Amien Rais, politik harus didasarkan dan ditegakkan atas prinsip-prinsip tauhid. Bila politik lepas dari moralitas dan etika tauhid, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara kepada sengsaraan orang banyak.[12]
          Ia juga berpendapat bahwa politik yang islami, tidak memberi tempat bagi sekularisasi. Sebab sekularisasi pada dasarnya adalah ideologi, yakni sekularisasionisme akan menjadi politik tanpa dasar-dasar keagamaan dan nilai-nilai yang berlaku didalamnya sangat situatif dan situasional. Amien rais juga berusaha melakukan retrospeksi ideo-kultural islam dalam menantisipasi pengaruh politik barat. Karena kelemahanya kaum muslimin kini tidak mampu melakukan dialog intelektual yang seimbang dengan barat, hingga pada akhirnya mereka hanya menjadi konsumen-konsumen ideoligi barat, termasuk dalam pemikiran politik dan ketatanegaraan.[13]
baca juga:https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pemikiran-kh-abdul-wahid-hasyim.html
          Cendikiawan lain yang mempunyai kecenderungan berfikir formalistik adalah A.M Saefuddin dalam kumpulan bukunya yang berjudul Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi ia mempromosasikan gerakan “Islamisasi Ilmu” pendidikan islam alternatif dan perlunya semacam perlawanan ideo-kultural terhadap apa yang disebutnya dengan “masyarakat modern jahil” sebagai produk peradaban barat. Untuk itu Saefuddin menggagas masyarakat modern yang Islami yakni suatu masyarakat yang mampu mengendalikan dirinya kearah budaya universal, tetapi tetap menjadikan al-qur’an sebagai alternatif dan pedoman hidupnya. Dan Saefuddin juga mendasarkan diri pada pemahaman literal dan tekstual terhadap ayat-ayat al-qur’an yang mampu mewujudkan masyarakat islam yang progresif, menjunjung tinggi demokrasi, membasmi teokrasi dan melenyapkan sekularisme, dan mewujudkan keadilan sosial.
          Dari golongan-golongan diatas yang dapat digolongkan proponen formalisme, ialah Jalaludin Rahmat, yang melihat pola kehidupan yang tidak berkesesuaian antara Islam dengan barat. Tetapi dalam konteks kehidupan kaum muslimin, ia menyadari keduanya merupakan pola-pola kehidupan yang dominan, tetapi dilain pihak ia melihat justru barat yang mendominasi, ia merasa umat islam saat ini tidak berdaya daan poosisinya tidak lain dari boneka yang dipermainkan oleh “kafir” dan kaum “musyrik” itu.[14]
C.           Kerangka Teori / Metodologi
Pada buku Abdurrahman Wahid  yang berjudul “Islamku, Islam anda, Islam kita telah di terangkan dengan jelas tentang bagaimana Gus dur menanggapi tentang demokrasi suatu negara Indoneesia, bahwasanya beliau menentang para formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam, yang menekankan bahwa Indonesia harus menjadi Negara Islam yang berlandaskan pada (syari’at), alasan Gus Dus menentang para tokoh-tokoh Islam Nusantara yang ingin menjadikan indonesia sebagai Negara Islam, yaitu kerena syari’at tidak dibatasi oleh Negara, demikian syariat tidak berkaitan dengan pemerintahan atau sistem politik, karena islam dipandang semata-mata sebagai agama bukanya sebuah sistem yang berkaitan dengan tertib negara, syari’at seharusnya tidak diletakan kedalam dominan negara tetapi tetap diletakan dalam kerangka sistem keimanan Islam.[15]
Menurut Al-Asnawi mantan hakim agung mesir yang juga dikenal sebagai pemikir progresif Islam terkemuka bahwasanya al-qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari orientasi etika islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang berkaitan dengan bentuk-bentuk Negara. Syariat adalah sebuah jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis dan membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar dan orientasi-orientasi yang mulia. dan negara Indonesia adalah negara yang berkembang dan berlandaskan dengan UUD 1945 dan pancasila, yang mengacu kepada reallitas history, budaya, dan tradisi bangsa kita sendiri serta substansi ajaran agama yang kita yakini kebenaranya.[16]
   Adapun menurut penulis metodologi yang dipakai KH. Abdurrahman Wahid dalam menyusun buku ini yaitu:
1)        Deduksi (dari umum kekhusus)
2)        Klasikal
3)        Hermeneutik
4)        Analisis sintesis (penyelidikan terhadap suatu peristiwa sehingga membentuk satu kesatuan).
5)        Mengelaborasi Ajaran-Ajaran Agama (Mengerjakan ajaran-ajaran agama secara tekun dan cermat).
D.           Kesimpulan
          Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan  Abdurrahman Wahid memilih topik Islamku, Islam anda, Islam kita, sebagai topik utama penelitian. Topik kajian Abdurrahman Wahid ini tentu sangatlah tepat sebagai pijakan awal untuk melakukan pembaharuan terhadap pemikiran Islam yang selama ini dalam penefsiranya bersifat tekstual dan radikal, dan menimbulkan pemikiran yang formalisasi, Sedangkan Pemikiran Islam Gus Dur sendiri lebih menekankan kepada substantif-inklusif yang menyadari negara-negara sedang berkembang atau dunia ketiga ini secara ekonomis, politis, kultural, dan sosial sangat berbeda tempatnya dengan saudi arabia dizaman Nabi Muhammad. Juga pemahaman literal tentang makna Al-qur’an penerimaan yang tidak kritis terhadap hadist semua itu harus diinterprestasikan kembali kedalam pemahaman modern, gagasan ini dikemukakan oleh pemikir yaitu Nurchaolish dan Abdurrahman WahidAbdurrahman Wahid  bahwasanya beliau menentang para formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam, yang menekankan bahwa Indonesia harus menjadi Negara Islam yang berlandaskan pada (syari’at), Paradigma- paradigma baru pemikiran politik formalistik diantaranya, Amien Rais, A.M Saefuddin dan Jalaludin Rahmat, yang beralasan bahwasanya politik harus didasarkan dan ditegakkan atas prinsip-prinsip tauhid.
E.            Kritik dan Arah Buku
      Setelah menikmati alur pembahasan diatas ada banyak kritikan dan saran yang bisa di paparkan disini. Terutama pada kekurangan dan kelebihan pada buku ini. Mengacu pada kelebihannya terlebih dahulu, walaupun buku ini hanya sebuah pengatar dalam pengkajian pemikiran islam mengenai Demokrasi, akan tetapi buku ini dapat di pandang sebagai buku yang cukup komfrehensif. Karena sebagian  aspek pemikiran islam telah di bahas di dalamnya. Selain itu juga buku ini memuat pemikiran-pemikiran islam yang keras dalam bidang demokrasi islam.
Kelebihan lain juga tentang buku ini adalah bahwa setiap pemikiran para ulama dipaparkan oleh saeed secara lugas, jelas dan sistematis. Sehingga para pembacanya dapat memahami dengan dengan baik isi buku yang di karangnya, dan dapat menikmati alur-alur pembahasannya. Para pembacapun tidak cepat jenuh dan bosan dengan ekspesi dan isi bukunya, sumber-sumber yang di jadikan rujukan oleh saeed  dalam menulis bukunya sangat refresentatifdan sering di gunakan oleh penulis-penulis lain. Terlepas dari kelebihan tersebut, terdapat kekurangan juga di dalam buku ini, kekurangannya yaitu belum ada pembahasan tentang pemikira-pemikir islam di Indonesia mengenai kemerdekaan indonesia, karena masalah yang ditulis oleh Abdurrahman Wahid sejak kemerdekaan sudah ada, agar yang membacaya nanti lebih paham dan tau bahwasanya masalah demokrasi memang sudah menjadi pertentangan oleh pemikir-pemikir Islam.
















DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Islamku,Islam anda, Islam kita,Agama Masyarakat Negara Demokrasi,(The Wahid Intitute Seeding and Peaceful Islam,2006)
                                      , Ilusi Negara Islam ,Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia,(PT.Desantara Utama Media, Jakarta.2009)
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy,Merambah jalan baru Islam,Rekonstruksi Islam Indonesia Orde Baru,(Bandung, Mizan, 1986), hal.241
M. Syafe’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia,(Paramadina,Jakarta 1995)
Al-Asnawi,Ushus Al-Sharia,(Cairo,Maktabat Madbuli, 1983)
M. Amien Rais, Cakrawala Islam,(Bandung, Mizan,1987)




[1]Abdurrahman Wahid Intelektual Islam Indonesia, Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir.. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki, Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas. Lihat Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta,LkiS, 2002,hal.88
[2] Greg Barton, Ph.D,Gagasan Islam Liberal di Indonesia,(PT.Subdodadi, Jakarta, Pustaka Antara,1999), hal.332
[3] Abdurrahman Wahid , Islamku,Islam anda, Islam kita,Agama Masyarakat Negara Demokrasi,(The Wahid Intitute Seeding and Peaceful Islam,2006), Hlm.66
[4] Bermula dari ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam kategori al-aktha’asy-sya’iah (kesalahan-kesalahan yang populer) yaitu idiom “Islam Kaffah” yang hanya dikenal dalam komunitas muslim inidonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah-kaidah gramatikal Arab. Isltilah “Islam kaffah” ini sebagai dokrin teologis. Dokrin ini ditangan mereka mengalami pergeseran, yakni mengarah keIdeologisasi dengan mendasarkan pada ayat ini. Idiom Islam kaffah ini sangat sulit difahami sebagai sebuah bentuk kalimat sifat dan mausuf (yang disifati), belum lagi diajukan pertanyaan apakah kata “kaffah”dalam ayat tersebut sebagai keterangan dadri kata ganti yang ada dalam “udhulu” yaitu “antum”atau keterangan dari”as-silmi”.
[5] Abdurrahman Wahid, Op.Cit, hal.12
[6] Abdurrahman Wahid, Op.Cit, hal.43
[7] Abdurrahman Wahid, Op.Cit, hal.15
[8] Abdurrahman Wahid, Op.Cit, hal.8
[9] M. Syafe’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia,(Paramadina,Jakarta),1995.hal.144
[10] Al-Asnawi,Ushus Al-Sharia,Cairo, Maktabat Madbuli, 1983,hal.53
[11] M.Syafe’i Anwar,Op.Cit,hal.156
[12] M. Amien Rais, Cakrawala Islam,(Bandung, Mizan,1987), hal.23-24
[13] Ibid, hal.29
[14] Fachry Ali dan Bahtiar Effendy,Merambah jalan baru Islam,Rekonstruksi Islam Indonesia Orde Baru,(Bandung, Mizan, 1986), hal.241
[15] Abdurrahman Wahid,Op.Cit, hal.50
[16] Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam ,Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia,(PT.Desantara Utama Media, Jakarta.2009),hal.18

Comments

Popular posts from this blog

Tokoh-Tokoh Empirisme

Tokoh-Tokoh Empirisme   Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume. baca juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-filsafat-pendidiakan.html a.John Locke (1632-1704)    Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke : Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). ...

SYARI’AH: SEJARAH PEMAKNAAN ISLAM

BOOKREVIEW KHALIL ABDUL KARIM SYARI’AH: SEJARAH PEMAKNAAN ISLAM  A.       Pendahuluan 1.       Latar Belakang Masalah Syari’at dalam perspektif islam, merupakan hukum-hukum Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Syari’at dalam pengertian ini adalah wahyu, baik dalam pengertian al-wahy al-mathluww (al-qur’an) maupun dalam pengertian al-wahy ghair al-mathluww (sunnah). Meminjam istilah Satria Effendi M. Zein, syari’at adalah al-Nushush al-Muqaddasah ( nash-nash yang suci) dalam al-qur’an dan al-sunnah al-Mutawatirah (hadis yang mutawatir ). [1] Syari’at dapat dipahami sebagai ajaran Islam yang sama sekali tidak dicampuri oleh daya nalar manusia. Syari’at merupakan wahyu Allah secara murni, karenanya ia bersifat mutlak, tetap, kekal, dan tidak boleh diubah. Dengan argumentasi ini, maka syari’at merupakan sumber fiqh, karena fiqh merupakan pemahaman yang mendalam terhadap al-Nushush al-Muqaddasah te...

Pengertian Filsafat Pendidiakan

Filsafat merupakan pandangan hidup yang erat hubungannya dengan nilai-nilai sesuatu yang dianggap benar. Jika filsafat dijadikan pandangan hidup oleh sesuatu masyarakat, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Jelaslah bahwa filsafat sebagai pandangan hidup suatu bangsa berfungsi sebagai tolok ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus dicapai. Adapun untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dilakukan dengan berbagai cara salah satunya lewat pendidikan. [1] Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Melalui pendidikan inilah, kita dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-sunnah. Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kita terhadap ajaran Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam yang kita terima. ...

PERAWATAN JENAH

PERAWATAN JENAH   Ada hal yag harus dilakukan bagi orang yang telah mati sebelum di lakukan perawatan terhadap jenazah antara lain, yaitu; 1.     Menutup matanya yang terbuka sambil berdoa إن الروح إذا قبض تبع البصر “sesungguhnya jika ruh telah di cabut, maka pandangan matanya mengikuti” 2.     Menutup mulutnya yang terbuka 3.     Melepas semua pakaian yang di kenakan dan menggantinya dengan selimut (kain yang menutupi mulai dari kepala hingga kaki) sebab pakaian yang melekat waktu kematiannya menyebabkan dia cepat rusak 4.     Hadapkanlah mayit tersebut kearah qiblat 5.     Gunakanlah sesuatu yang membuat ruang mayit tersebut menjadi harum, seperti kemenyan dan sebagainya. Artinya ruangan yang ditempati tidak bau. 6.     Dan perut mayit itu seyogyanya diberi benda asalkan bukan al-qur’an. Seprti hanya kaca dan lainya. 7.     Membebaskan mayit tersebut dar...

ISLAM LIBERAL DAN PENDIDIKAN ISLAM

JURNAL ISLAM LIBERAL DAN PENDIDIKAN ISLAM (Studi Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid) Email: subiantoro810@gmail.com Abstrak Tulisan ini memotret bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid terhadap Islam Liberal yang dulu Wacana Islam Liberal Indonesia menghentak republic ini dengan menawarkan wacana baru yang sangat kontradiktif dengan wacana islam mainstream yang cenderung revivalis, monolit, formalis-syariah sehingga mengarah intoleran karena tidak adanya kompromi, tetapi   menurut Abdurrahman Wahid bahwa Islam Liberal, datang sebagai warna yang menawarkan keislaman yang relevan dengan kondisi riel masyarakat Islam, bukan kontradiktif dengan realitas masyarakat tanah air, serta toleran Islam buat semua umat beragama, inklusif dan terbuka. dari sinilah islam liberal tidak hanya bermain dalam isu yang abstrak yang tidak bisa dipahami oleh orang lain, melainkan dapat merambah gagasan yang bersifat praktis dan memberikan harapan bagi masa depan kemanusiaan, karena islam...

Study Pemikiran Imam Zarkasyi Tentang Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia

A.                 Latar Belakang Pendidikan memang merupakan kunci kemajuan, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu masyarakat atau bangsa, maka akan diikuti dengan semakin baiknya kualitas masyarakat atau bangsa tersebut. [1] All of the problem that confront the muslim word today, so the educational problem is the most challengging. That future of the muslim world will depend upon the way it respons to this challenge,” yakni dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara bagaimana dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan ini. Statment ini menggaris bawahi bahwa masa depan Islam di Indonesia juga tergantung kepada bagaimana cara umat Islam merespons dan memecahkan masalah-masalah pendidikan yang berkembang di Indonesi...