MENEGOSIASIKAN MASA
DEPAN SYARIAH
DALAM KAWASAN BERNEGARA
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang
legal dan serba mencakup, bukan dalam pengertian formal, melainkan dalam
pengertian etis bahwa Allah adalah zat tertinggi yang menguasai segalanya, yang
dapat diharapkan untuk memberikan norma-norma untuk setiap aspek kehidupan
mulai dari urusan kamar kecil sampai pinjaman-pinjaman komersil. Semenjak Nabi
hidup, pengharapan-pengharapan ini dikomunikasikan langsung kepada orang-orang
dan muhammad diminta petunjuknya dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Akan
tetapi, setelah nabi tiada, orang-orang beriman merasa bahwa Qur’an itu sendiri
membisu atau tidak menjelaskan keadaan-keadaan baru yang dihadapi oleh umat
islam.[1]
Keadaan bertambah buruk
lagi setelah generasi muslim yang pertama meninggal dan tidak ada lagi saksi
hidup yang dapat dipanggil untuk memberikan kesaksian langsung mengenai apa
yang telah dikatakan atau dilakukan oleh Nabi. Dalam keadaan ini, masyarakat
terpaksa mengandalkan tradisi atau deskripsi orde kudua (hadits) dari
aktivitas-aktivitas Nabi dan tradisi-tradisi ini disahkan oleh serangkainan
penyampaian yang diakui (isnad).[2]
Al Qur’an dan Sunnah
Nabi merupakan dasar dari pengertian istilah islam dan konsep-konsep turunan
serta ajektiva digunakan, khususnya kalangan umat islam. Al Qur’an dan Sunnah
Nabi adalah sumber rukun iman yang di junjung tinggi oleh ndividu-individu
muslim, sumber praktik-praktik ritual yang mesti mereka jalankan, serta
ajaran-ajaran moral dan etika yang mereka hormati. Al Qur’an dan Sunnah Nabi
juga adalah pedoman bagi umat islam dalam mengembangkan hubungan-hubungan
sosial dan politik, serta mengembangkan norma-norma serta institusi-institusi
hukumnya.[3]
Disamping Qur’an dan
Sunnah Nabi, menurut teori hukum klasik terutama sekali yang dirumuskan oleh
Al-Shafi’i, mengakui dua sumber hukum lain, yaitu konsensual (ijmak) dan
analogi (giyas). Akan tetapi, konsensus sebagai sebuah sumber hukum tidak
memasukkan unsur demokrasi kedalam perbuatan hukum islam dan salah satu masalah
berkepanjangan yang dihadapi adalah menentukan siapa yang andil untuk
memutuskan apa yang akan dianggap sebagai konsensus dan dengan demikian dapat
dipertanyakan apakah konsensus itu ada. [4]
Sementara beberapa grup
konservatif hanya mau menerima otoritas generasi muslim yang pertama, yang lain
menganggap bahwa setiap generasi harus mengikuti otoriter ulama dengan syarat
bahwa ijmak setiap generasi adalah serupa. Dalam praktek, penafsiran ijmak oleh
para ahli tidak saja membiarkan masuknya unsur-unsur hukum baru tetapi juga
mengubah isi dari sumber-sumber hukum lain, al-Qur’an dan sunnah.[5]
Secara penulis Abdullahi Ahmed An-Na’im [6]menganggap
puncak dari pekerjaan hidupnya dan pernyataan akhir ia ingin membuat isu-isu serta
dia telah berjuang selama hampir setengah abad, panggilan untuk pemisahan Islam
dari negara. Dia
menantang ilusi berbahaya tentang negara Islam yang mengklaim hak untuk
menegakkan prinsip syariah melalui kekuatan koersif sendiri. Ini panggilan dan
tantangan, antara lain, diperkenalkan dalam buku kontroversial dan topikal ini.
B. Latar Belakang Masalah
Dalam
sejarahnya islam memiliki sistem yang dijadikan pondasi atau asas dalam
kehidupan, menjadi perhatian dunia islam saat ini yaitu mendirikan suatu negara
bersyariat islam agar mencapai kehidupan rahmatan lil ‘alamiin. Namun
menurut Abdullahi Ahmed An-Na'im, spirit Islam mengandung gagasan seperti itu.
Islam sangat universal, oleh sebab itu kebebasan Agama sangat diutamakan
dan penghormatan atas Hak Asasi Manusia
(HAM) pun juga dijunjung tinggi. Islam
dalam bayangan Abdullahi Ahmed An-Na'im berbeda dengan bayangan orang-orang
yang pro-syari'ah atau Negara Islam.
Dengan caranya sendiri, Abdullahi Ahmed An-Na'im ingin menunjukkan bahwa ide keselamatan dan
kesucian tidak hanya berhenti di tataran
teks atau ajaran normatif agama (Islam). Ia mengafirmasi bahwa ajaran keselamatan dan kesucian tersebut harus
menjadi bagian dari kenyataan sosiologis
di lapangan. Hal ini tentu sangat menarik jika ditelusuri.
Dalam
menghadapi dan menyikapi gerakan umat islam yang dogmatis dan tekstualis,
Abdullah Ahmed An-Na’im menawarkan jalan keluaar yang islami dengan cara
mereformulasikan dan memperbaharui prinsip-prinsip syariah yakni dengan mencari
ayat yang satu dengan ayat yang lain, menurutnya dalam pendirian syariah
haruslah memiliki prinsip dasar epistemologi yang jelas (memperhatikan sosial,
budaya, agama, yang berbeda-beda). dan hasilnya bisa diterima diberbagai
kalangan.
Dalam
gagasan ini, Abdullahi Ahmed An-Na'im menegosiasikan kembali pemisahan yang tegas antara persoalan
negara dan urusan keagamaan. Dengan kata lain, Abdullahi Ahmed An-Naim
mengedepankan demokrasi sebagai sistem
pemerintahan. Biarlah agama-agama tumbuh subur di teritorialnya sendiri, seperti rimbunan aneka ragam tanaman
di hutan belantara. Negara tidak perlu mengintervensi apalagi mengatur kehidupan
agama. Negara hanya bertugas menyejahterakan rakyat tanpa pandang bulu dan
membawa embel-embel identitas agama tertentu. [7]
Tujuan utama buku ini
yang berjudul Islam dan Sekular[8]adalah
mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif islam dikalangan umat,
tetapi bukan dalam prinsip-prinsipya secara paksaan oleh kekuatan negara.
Dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan dengan sukarela
oleh penganutnya. Sebaliknya, prinsip-prinsip syariah akan kehilangan otoritas
dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negaranya. Oleh karena itu,
pemisahan islam dan negara kelembagaan sangat diperlukan agar syariah bisa
berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat islam.
Pendapat ini juga bisa disebut “netralitas negara terhadap agama” yang didalam
institusi negara tidak memihak kepada doktrin atau prinsip-prinsip agama. [9]
C. Pentingnya Topik Penelitian
Salah satu faktor
penyebab kenapa masa depan syariah dinegosiasikan pada masa sekarang ini adalah
ada pengaruh kemajuan dan perkembangan agama yang beraneka ragam serta
pluralitas sosial budaya dan politik dalam sebuah masyarakat dan negara.
Kemudian berdasarkan individu masyarakat untuk melaksanakan syariah tidak harus
dijalankan secara paksa, karna akan menjadikan orang tersebut tidak mendapatkan
kepuasan batin untuk menjalankan syariah secara menyeluruh. Seperti awal
sejarahnya pada khilafah Abu Bakar yang mana pada waktu itu belum sistem negara
dicampur adukkan dengan syariah dan sang khilafah mengambil kebijakannya
terhadap keagamaan saja yaitu mereka menolak untuk membayar zakat kepada
khilafah dan mereka yang mengabaikan islam karena nabi palsu, dimana masalah
enggan membayar zakat dizaman Abu Bakar dihukum sebagai murtad sehingga
pelakunya bisa dihukum mati. [10]
Dalam pandangan ini
Abdullahi Ahmed An-Na’im ajukan ini berangkat dari asumsi bahwa umat islam di
mana pun, baik sebagai minoritas ataupun mayoritas di tuntut untuk menjalankan
syariah islam sebagai bagian dari kewajiban agamanya. Tuntunan ini akan dapat
diwujudkan dengan sebaik baiknya manakala negara bersikap netral terhadap semua
doktrin keagaamaan dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai
kebijakan atau perundang-undangan. Artinya masyarakat tidak dapat benar-benar
menjalankan agama sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya tentang islam
apabila orang-orang menggunakan kekuatan negara memaksakan pemahaman mereka
tentang syariah kepada masyarakat secara keseluruhan, baik muslim maupun
non-muslim. [11]
D. Pembatasan, Key Concept Penelitian
Dalam pembahasan review
buku ini saya melakukan pembatasan supaya dalam menelaah pemikiran Abdullah
Ahmed An-Na’im dan cepat di pahami sekaligus memudahkannya. Dengan demikian
saya mengambil key concept, yang akan dibahas pada aplikasi teori (pembahasan)
nantinya sebagai berikut : Pertama, memaparkan dua bab dalam bukunya
(bab I dan II) yang saling berkaitan dengan mengupas islam, syariah dan negara
kedalam satu rangkuman Syariah dalam Negara beserta sub aplikatif pemikiran Abdullah
Ahmed An-Na’im. Kedua, memaparkan metode dan penerapan pemikiran
Abdullah Ahmed An-Na’im tentang sekular dalam pemerintahan bernegara dengan
fokus pembahasan sekular sebagai suatu mediasi. Ketiga, memaparkan hasil
negosiasi syariah berdasarkan penelitian dan pengkajian Abdullah Ahmed An-Na’im
pada setiap kunjungan, diskusi dan kuliah umumnya dalam pembahasan masa depan
syariah. Keempat, bagian penutup dalam buku ini.
E. Kegelisahan Akademik
Dari sejarah syariah
masa lalu istilah syariah sering digunakan dalam wacana islam saat ini,
seolah-olah kata ini sinonim dengan islam dalam pengertian umum. Yakni, sebagai
totalitas kewajiban keagamaan umat islam, baik dalam pengertian
personal-personal maupun dalam kaitannya dengan norma-norma dan kelembagaan
sosial, politik, dan hukum. Namun prinsip perkembangan politik intern
negara-negara islam telah menimbulkan perpecahan dan perubahan-perubahan yang
sesuai. Segala tindakan yang mengejutkan negara-negara islam pada beberapa
dasawarsa yang akhir-akhir ini, apapun nama dan sifat yang diberikan kepadanya,
ternyata berdasarkan islam secara benar-benar. Gerakan itu terus mencari
inspirasi dalam masa lalu dari masyarakat islam.
Teks dan konteks atau
tradisi masa lalu (turast) dan modernitas masa sekarang (tajdid)
menarik perhatian Pemikiran dan tindakan yang serius di kalangan muslim saat
ini akan sistem syariah masa depan terutama Abdullahi Ahmed An-Na’im untuk
menegosiasikan masa depan syariah islam kedepannya dengan tepat serta menyikapi
gerakan umat islam yang radikal sangat dibutuhkan, khususnya dalam menyikapi
apakah netral jika syariah islam dijalankan pada suatu negara dengan memiliki
keragaman agama, kultur dan budaya masing-masing seraya seorang khilafah memposisikan
diri sebagai pemegang kekuasaan satu-satunya dengan netral.
Pemberontakan melawan
dominasi kultur, tapi bagaimana membangun perlawanan itu, sebab pemberlakuan
syariah secara utuh dan langsung yang menjadi tututan dikalangan muslim mayoritas
secara utuh dan instan seperti pada muslim tradisional di Taliban dan
negara-negara islam yang ingin menegakkan syariah dalam bentuk khilafah artinya
posisi islam kedepan (bukan pesan islam utama) bagi umat islam, ini yang
menyebabkan terkesan islam sebagai agama yang refresif dan diskriminatif (kalim
kebenaran) di negaranya sendiri kemudian mengambil inisiatif berperanag
terhadap negara lain (non-islam), maka solusi yang ingin Abdullah Ahmed An-Na’im
berikan adalah kenetralan dan mediasi dalam bentuk sekular. Dengan melakukan
pemisahan antara urusan agama dengan urusan negara agar tidak terjadi
diskriminasi terhadap agama-agama lain diluar islam, bukan berarti memisahkan
tersebut bersifat mengucilkan identitas islam historis kepada realitas dunia
moderen dengan konsekunsinya akan menimbulkan nantinya kehilangan identitas
islam dan tradisi ukhuwah islamiah jika efekti menentang dominasi kultur barat.
Dalam hal ini Abdullah
Ahmed An-Na’im bertujuan menyelesaikan intern islam yang berhubungan dengan
keberagaman di setiap negara dan hubungan negara islam dan non-islam, interpretasi
syariah islam ini berupaya mendukung terlaksananya ajaran islam Rahmatan
Lil’alamin dan Solih Likulizaman Walmakan secara totalitas tanpa
melanggar hak orang lain dan agama lain. Dalam hal ini Abdullah Ahmed An-Na‟im
berpijak pada pendekatan sosio-histori dalam menegosiasikan syariah masa
depan, adapun dalam setiap manusia mempunyai kekurangan begitu juga teori pemikiran
An-Na‟im yang terletak pada kelemahan metodologi yang menilia unsur ambiguitas
pemisahan periode masa mekkah dan madinah.
F. Pendekatan dan Metodologi
1. Pendekatan
Abdullahi Ahmed An-Na’im
Pendekatan dalam kajian
buku Islamic and secular dikarang oleh Abdullah Ahmed An-Na’im, beliau
menggunakan dua pendekatan untuk menegosiasikan masa depan syariah yaitu dengan
pendekatan :
a.
Pendekatan Historis
Pendekatan historis
yaitu Asal-usul, pertumbuhan dan perkembangan suatu objek keagamaan (ajaran
pemikiran, kebiasaan, kelompok masyarakat, sikap hidup dan seterusnya).
Pendekatan histori yang
digunakan oleh Abdullah Ahmed An-Na’im dalam bukunya ini cukup menyeluruh dan
diangkat secara umum pada setiap bab-bab pembahasan dengan menyajikan histori
pemerintahan awal khilafah baik itu berupa negara islam atau non islam
sekalipun yang menggunakan kekuasaannya untuk menjalankan sistem pemerintahan
dan menghukum dengan tidak adil, serta memaksakan masyarakatnya meyakini,
menjalankan dan tunduk terhadap ajaran agama yang diputuskan oleh seorang
pemimpin tertinggi dalam pemerintahan tersebut.
b.
Pendekatan Sosiologis
Pendekatan Sosiologis yaitu pendekatan agama dalam
interaksi antar manusia. Ada empat pendekatan dalam sosiologis :
-
Evolusionisme, yang
mencari pola perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
-
Interaksionisme, yang
menerangkan interaksi individu dan kelompok.
-
Fungsionalisme, yang
menerangkan jeringan kerja sesama kelompok.
-
Konflik, yang selalu melihat hubungan antar individu dan kelompok dalam
masyarakat dalam kerangka tindakan memperoleh (merebut) dominasi dan
mempertahankannya.
Pendekatan sosiologis
yang digunakan oleh Abdullahi Ahmed
An-Na’im bahwa muslim
hanya dapat “menjadi Muslim berdasarkan keyakinan dan pilihannya sendiri”.
Karena itu, ketika kekuatan memaksa negara mencoba memaksakan Syari`ah, hal itu
pada dasarnya justru memasung kehidupan keagamaan seorang Muslim. Terkait
dengan ini, Abdullahi Ahmed An-Na`im juga menyatakan bahwa hanya sebuah negara
sekuler yang dapat menjamin dan menjadi penengah bagi kehidupan plural dalam
masyarakat yang majemuk. Negara sekuler pula yang dapat menjamin “perdamaian di
dalam dan di antara komunitas-komunitas keagamaan”.
Untuk membantu dan
memudahkan penerapan metode di atas, Abdullahi Ahmed An-Na’im menawarkan
perlunya pendekatan social-historis dalam segala proses pengkajian pembaharuan
islam. Signifikansi dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan diri bahwa
munculnya pemikiran-pemikiran islam modern yang tetap eksis sampai sekarng ini,
tidak bisa di lepaskan dari konteks sosio-historis perjalanan perkembangan
islam sejak lahirnya sampai sekarang. Dengan demikian, sebuah produk pemikiran,
khususnya hokum islam senantiasa akan terasa lengkap bahkan bisa jadi
anakroistik. Untuk merealisasi pemikiranya tentang pembebasan masyarakat sipil,
jaminan hak-hak asasi manusia hokum internasional dalam islam dan hokum pidana
islam, naim mencoba merekam perjalanan sejarah terbentuknya sebuah syariah.
2. Metodologi
Abdullahi Ahmed An-Na’im
Dalam rangka menegosiasikan masa depan syariah, Abdullahi
Ahmed An-Na’im memberikan landasan-landasan intelektual baru dalam ranah mediasi
antara negara dan syariah, penfsiran kembali terhadap hakikat dan makna syariah
islam secara menyeluruh. Metodologi yang dikemukakan oleh Abdullahi Ahmed An-Na’im
adalah metode yang dikembangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad Thoha dan metode
dari hasil diskusi dan kuliah yang diberikan keberbagai negara. Lebih dari itu,
Abdullahi Ahmed An-Na’im mengkaji aspek sosiologis bagaimana akibat masyarakat
dan mengkaji ulang historis masa lalu tentang negara berlandaskan pemerintahan
netral ke dalam analisa konkrit mengenal implikasi-implikasinnya dalam penetralisasi
serta mediasi antara negara dan syariah dalam konsep sekular.
Bagi Abdullahi Ahmed An-Na’im syariat adalah persoalan
hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Dalam konteks tersebut, murid Mahmud
Muhammad Thaha ini sepertinya berpijak pada metodologi pemikiran postmodernis
yang menolak segala bentuk otoritas dan metode relativisme bagaimana islam dan
syariah tidak bisa berperan sama sekali dalam ranah public.
G. Aplikasi Teori
Pada bagian
pengaplikasian teori buku ini penulis akan membahas beberapa bab yang terkait
dengan key konsep di atas yang sudah disebutkan, agar bertujuan untuk
memfokuskan pembahasan yang lebih tajam dan aplikatif :
1.
Syariah
dalam Negara
Pada hakekatnya tujuan
syari’at Islam adalah untuk mewujudkan apa yang ada disebalik yang tersebut di
atas, yaitu sebuah keadilan, humanis, nasionalis, tidak diskriminatif, menghormati
tradisi lokal, menghargai wanita dan anti teror. Dengan demikian syari’at
Islam harus lebih terbuka, toleran dan menjalin hubungan dengan yang lain.
Dalam teori, “syariah”
adalah dingin dan kaku namun dalam prakteknya labil, berubah-ubah dan tidak
mantap. Ciri hukum islam ini diperkuat oleh sifat serta pelembagaan keadilan
“qadi”. Menurut Weber [12], keadilan qadi lebih banyak
dilaksanakan menurut keputusan-keputusan yang subyektif ketimbang menurut
terminologi peraturan. Kombinasi yang janggal ini yaitu antara tradisi suci
yang kaku dengan keputusan-keputusan subyektif yang berubah-ubah merupakan ciri
khas semua sistem patrimonial : suatu ciri khas suasana patrimonial dibidang
pembuatan hukum adalah penjajaran preskripsi tradisional yang tidak dapat
diganggu gugat dan pengambilan keputusan yang sangat berubah ubah (“Kabinetts
justiz”), yang belakangan berfungsi sebagai pengganti suatu bentuk peraturan
rasional.
Demikian pula dalam Islam, bahwa
hukum Islam memiliki corak tersendiri bila dihadapkan pada realitas sosial. Gagasan
mengenai Islam sebagai asas negara biasa diekspresikan dengan kata fiqh (fikih)
dan syari’ah (syariat). [13]Fikih,
secara orisinal bermakna dalam
pengertian yang luas. Seluruh upaya untuk mengelaborasi rincian hukum ke dalam norma-norma spesifik
negara, menjustifikasinya dengan perujukan kepada wahyu, mendebatkannya, atau
menulis kitab dan risalah tentang hukum
merupakan contoh-contoh Fikih. [14]Sebaliknya,
syariah merujuk kepada hukum-hukum Tuhan dalam kualitasnya sebagai wahyu. Dalam penggunaan
yang longgar, syariah bisa menunjuk
kepada Islam sebagai Agama Tuhan. [15]Akan tetapi,
kata syariah sering digunakan sebagai
pengganti dari kata Fikih, dimana konotasi kata tersebut menjadi tradisi keserjanaan Hukum
Islam.
Di dalam percaturan politik Islam
terdapat tiga aliran tentang relasi Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam
bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan
antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan
yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan bernegara
(integral). Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan (sekuler). Aliran
ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan
bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan (Simbiosis Mutualistik).
Tetapi gagasan ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dan Maha penciptanya.[16]
Begitu juga Negara
adalah sebuah jaringan rumit dari organ-organ, institusi-institusi, dan
proses-proses, yang semestinya menerapkan kebijakan-kebijakan yang diambil
melalui proses politik dalam setiap masyarakat. Dengan pengertian ini negara
seharusnya merupakan unit swa-kelola pemerintahan yang dijalankan secara lebih
mantap dan terencana. Untuk menjalankan fungsi tersebut dan yang lainnya,
negara harus memiliki apa yang disebut monopoli penggunaan kekuatan yang sah,
yaitu kemampuan untuk memaksa kehendaknya pada seluruh penduduk tanpa risiko
menghadapi perlawanan rakyat yang tunduk di bawah kekuasaannya. Kekuatan
memaksa negara yang kini makin meluas dan efektif dibanding yang pernah ada dalam
sejarah manusia, akan menjadi kontraproduktif ketika di jalankan dengan
sewenang-wenang atau untuk tujuan tujuan yang korup atau tidak sah. [17]
Abdullahi Ahmed
An-Na'im memandang
pemisahan Islam dari negara bersama-sama dengan peraturan peran politik Islam
melalui konstitusionalisme dan perlindungan hak asasi manusia sebagai
perlindungan yang diperlukan untuk menjamin kebebasan dan keamanan bagi umat islam
dan menyediakan mereka dengan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berkembang
teknik baru dan memperdebatkan interpretasi segar Syariah .
Dalam konstitusionalisme modern prinsip perlindungan
HAM ini menjadi dasar utama bagi tegaknya supremasi hukum. Menurut Abdullahi
Ahmed An-Na'im, suatu pemerintahan yang didalamnya terdapat diskriminasi latar
belakang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan sebagainya, bukan
merupakan pemerintahan yang konstitusional.
Antara konstitusionalisme dan HAM terdapat hubungan
yang sangat erat. Yaitu, tanpa konstitusionalisme, orang tidak bisa banyak
berharap akan adanya penghormatan kepada HAM. Memang rezim otokratik dan
diktator pun memasukkan undang-undang mengenai hak-hak dalam konstitusi mereka.
Tetapi karena praktek pemerintahan mereka tidak didasarkan atas kekuasaan yang
bukan tak terbatas dan penghormatan kepada otonomi individu, maka HAM
seringkali merupakan korban dalam sistem tersebut. Singkatnya, pemapanan
konstitusionalisme merupakan prakondisi bagi tegaknya HAM.[18]
Abdullah Ahmed An-Na'im juga meninjau kembali model
Syari'ah historis dan Negara Islam yang di dasarkan atasnya, salah satunya
adalah negara Madinah yang dibangun sendiri oleh Nabi pada tahun 622 M, dan
merupakan sumber teori konstitusional paling otoritatif di bawah Syari'ah, yang
juga diterapkan oleh empat khalifah penggantinya (khulafaurrasidin).Model
negara Syari'ah historis menurutnya memperlihatkan bahwa hal itu tidak sejalan
dengan konstitusionalisme dan HAM universal.
Meskipun pemisahan ini, Abdullahi Ahmed
An- Na'im berpendapat bahwa umat Islam masih berhak untuk mengusulkan kebijakan
atau undang-undang yang berasal dari agama mereka, asalkan mereka mendukung
usulan tersebut dengan apa yang disebutnya alasan sipil, alasan yang dapat
diperdebatkan secara terbuka dan diperebutkan oleh setiap warga negara, secara
individual atau dalam komunitas dengan orang lain, sesuai dengan norma-norma kesopanan
dan saling menghormati antar pemeluk agama.
Abdullahi Ahmed An-Na'im sendiri menolak pandangan
bahwa warga dalam suatu negara didasarkan atas kesamaan kepercayaan. Efeknya,
hak-hak dan kebebasan individu akan terbatasi oleh prinsip yang melarang penyimpangan
dari ideologi negara atau membela ideologi lain. Selanjutnya ia tidak
diperkenankan mengidentifikasi diri dengan negara atau masyarakat Islam dan
harus mengidentifikasi diri dengan negara dan masyarakat lain. Pandangan
tersebut menurutnya keliru, karena bertolak belakang dengan prinsip
konstitusional yang tidak menghendaki diskriminasi terhadap kebebasan
berkeyakinan, berpendapat atau mengeluarkan pandangan. Syari'ah bahkan, tidak segan-segan
menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang yang dianggap murtad hanya karena dia
menyatakan atau mempertahankan ideologinya. [19]
Jika kita mencermati pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im
selam ini, sebenarnya tidak ada yang baru. Ia hanya ingin menegaskan kembali
apa yang pernah diungkapkannya dalam karyanya “Towards an Islamic Reformation
(1990)” yang intinya menolak intervensi Negara dalam penerapan syariat islam
karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat dan tujuan syariat itu
sendiri yang hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya.
Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im, syariat akan
kehilangan otoritas dan nilai agamanya bila diterapkan melalui Negara. Ia
menekankan perlunya menjaga netralitas Negara terhadap agama dan pemisahan
secara kelembagaan antara islam dan Negara. Agar syariat bisa berperan positif
dan mencerhkan bagi kehidupan umat dan masyarakat islam.
Dalam berbagai hal, ide Abdullahi Ahmed An-Na’im ini
sangat absurd, sebab beberapa kerangka hukum dalam syariat islam meniscayakan
campur tangan Negara, untuk mencegah terjadinya kekacauan. Dalam pelaksanaan
hukum kriminal, pengaturan ekonomi, pernikahan, talak, wasiat dan lain
sebagainya, rasanya sulit membayangkan Negara untuk tetap netral. Di Indonesia
saja, urusan pendidikan islam, pernikahan, zakat, haji, pemakaman islam, wakaf
dan sebagainya, telah melibatkan campur tangan Negara dan itu berjalan
biasa-biasa saja.
Ia juga mengingkari institusi mufti yang dalam salah satu diskusi dikecamnya sebagai very unislamic (sangat tidak islami).
Ia juga mengingkari institusi mufti yang dalam salah satu diskusi dikecamnya sebagai very unislamic (sangat tidak islami).
2.
Sekular Sebagai Suatu Mediasi
Guna menggali dan mengembangkan
teori islam, negara dan masyarakat seperti yang telah digambarkan diatas,
Abdullahi Ahmed An-Na’im mempersiapkan dan menerapka studi yang disajikan
dengan cara memberikan prioritas khusus dengan mempresentasikan ide-ide
tentarif untuk diperdebatkan dikalangan ulama-ulama muslim dan
pemimpin-pemimpin komonitas sepanjang prosesnya. Serta dilihat dari cakupan dan
pokok bahasannya, studi ini terutama sekali berkaitan dengan peran publik
syariah dan persoalan-persoalan doktrin dan praktik keagamaan dalam domain
pribadi. [20]
Tinjauan historis dan analisis
terhadap hubungan antara islam, negara dan politik dalam buku ini hanya
ditujukkan untuk memperlihatkan bahwa pendekatan yang Abdullah Ahmed An-Na’im
ajukan bisa didukung oleh analisis historis. Abdullahi Ahmed An-Na’im tidak
bermaksud mengklaim bahwa salah satu masyarakat tersebut telah hidup dalam
negara sekular yang modern. Namun, tinjauan historis ini tetap akan menjadi
signifikan bagi pemahaman sekularisme yang telah diajukan disini bukanlah ide
asing dalam sejarah masyarakat islam. [21]
Kata sekular dalam bahasa inggris
berasal dari kata latin Saeculum yang artinya “periode besar waktu” atau lebih
dekat “Spirit zaman”. Belakangan, maknanya berubah menjadi “dunia ini”, yang
secara tak langsung berarti ada lebih dari satu dunia. Istilah ini akhirnya
diterjemahkan menjadi konsep “sekular” dan “religius” yang berasal dari
temporal dan spritual. Istilah ini juga berkembang dalam konteks Eropa dari
“Sekularisasi” dalam artian privatisasi wilayah-wilayah gereja, hingga
sekularisasi politik, dan kemudian seni serta ekonomi. [22]
Kita mungkin dapat berkata bahwa
perkembangan ini yang jelas merupakan bagian dari proses sekularisasi adalah
juga bagian dari proses meningkatnya rasionalitas manusia itu sendiri, yaitu
kesadarannya akan fakta-fakta yang sesungguhnya. Namun kita juga bertanya
apakah kerja yang dibuat lebih pantas untuk dipikul pekerja dan pelaksanaan
lebih berharga bagi masyarakat yang tidak terdapat satu pengorbanan atau
pengabdian tanpa pamrih. Masyarakat yang tidak religius telah berusaha mencari
jalan lain untuk menimbulkan motivasi bekerja, memenangkan i’tikad baik mereka
yang tidak berpamrih.
Pandangan Abdullahi Ahmed
An-Na’im tentang sekularisme[23] sangat penting diterapkan karena merupakan
sebuah mediasi yang mana membatasi konsep pada agama dan negara serta
mempermudah bersatunya komunitas-komunitas agama yang beragama kedalam sebuah
komunitas politik , dan benar bahwa sekularisme tidak netral secara moral
karena sekularisme mesti menganjurkan etos kewarganegaraan untuk mencapai suatu
tujuan dalam agama dan negara dengan sangat maju dan ketat serta bisa mendorong
dan memfasilitasi perdebatan dan perbedaan pendapat didalam tradisi keagamaan
sehingga mengatasi keberatan keberatan yang berlandaskan keagamaan. [24]
Pendekatan ini, menurut Abdullahi
Ahmed An- Na'im , tampaknya " lebih realistis dan konstruktif daripada
pernyataan sederhana kompatibilitas atau ketidak cocokan Islam dan hak asasi
manusia yang mengambil kedua sisi hubungan ini dalam statis, secara
absolut". Orang mungkin berpendapat bahwa, jika tujuan sekularisme adalah
untuk meningkatkan pluralisme agama dan kebebasan individu pilihan pada apakah
atau tidak untuk mengamati ajaran Islam, mengapa perempuan Muslim di negara
sekuler ( Turki ) dihadapkan dengan pilihan antara merendahkan menegakkan
keyakinan agama - memakai jilbab - dan kehilangan hak mereka untuk pendidikan,
pekerjaan dan otonomi pribadi ? [25]
Pendapat Abdullahi Ahmed An-Na’im sesuai dengan Moh. Natsir Mahmud dalam bukunya tentang Epistemologi dan studi
Kontemporer yang berarti bahwa peran Tuhan
dan dan segala yang berbau mitos dan bernuansa gaib sebagai sesuatu yang
berpengaruh ditiadakan. Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi
(melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral). Sekularisme
ilmiah memandang bahwa alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud. Karena alam
adalah benda mati yang netral. Tujuannya sangat ditentukan oleh manusia.
Pandangan ini menyebabkan manusia dengan segala daya yang dimiliki
mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata. [26]
Namun, dalam upaya untuk
mendamaikan hubungan Islam, negara dan masyarakat, Abdullahi Ahmed An-Na’im
meneliti realitas masyarakat Islam sejak awal awal di tiga negara yang berbeda
yaitu, India (ditandai dengan sekularisme negara dan kekerasan komunal), Turki
(dengan kontradiksi sekularisme otoriter) dan Indonesia (realitas keragaman dan
prospek pluralisme). Meskipun tidak semua ulama akan sepenuhnya setuju dengan
proposal Abdullahi Ahmed An-Na'im mengenai pemisahan kelembagaan Islam dan
negara , pikirannya adalah langkah maju menuju negosiasi yang sehat bagi masa
depan Syariah. [27]
Oleh karena itu, mendukung
sekularisme, dimana sebuah negara netral membuat hukum bagi semua warga negara,
sementara meninggalkan ruang yang cukup bagi mereka untuk menjalani kehidupan
mereka sesuai dengan aturan agama mereka sendiri. Seorang pengusaha Muslim
misalnya, tetap dapat menjalankan bisnis tanpa pengisian bunga - bahkan ketika
negara tidak melarang bunga pada umumnya. Pada saat yang sama, banyak
interpretasi yang masih ada dari Islam harus dikembangkan, menekankan pakar
Syariah. Hukum Islam selalu ditafsirkan dalam cara yang sangat berbeda.
Negara
modern dengan hukum positif dipilih Abdullahi
Ahmed An-Na’im sebab konstitusinya
paling netral dari keberpihakan pada simbol dan identitas agama apapun. Hukum
positif merupakan hasil dari konstruksi yang bermuara pada rasionalitas dan tuntutan yang bersifat empiris. Dalam hukum
positif pula, setiap kelompok memiliki jatah kebebasan yang setara dan oleh karena itupula
diperlukannya HAM sebagai perlindungan.
Penetapan
negara ideal dalam bentuknya yang modern dengan hukum positif sebagai
konstitusinya dilatar belakangi oleh pandangan Abdullahi Ahmed An-Na‟im bahwa negara,
sejatinya, merupakan murni persoalan teritorial, bukan persoalan agama. Pendapat Abdullahi Ahmed Naim
tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh berbagai pemikir secular
lain seperti : Asymawi, Nasr Hamid, Syahrur, dan sebagainya. Pemahaman
relativisme dan desakralisasi syariah semacam ini sangat berbahaya. Sebab, akan
berimplikasi pada pemikiran bahwa agama itu sendiri adalah hasil kreasi
manusia. Artinya, islam adalah produk rekayasa pikiran manusia. Pendapat ini
sangat berimplikasi panjang, ia bukan hanya menegaskan nilai kesakralan agama.
Mengurus
teritorial diperlukan sebuah telaah yang bersifat proporsional dan kontekstual.
Apalagi yang menyangkut hak setiap penghuni yang menetap di teritori tersebut.
Dengan demikian, visi negara modern (sekular) sebagai anti-tesis dari negara
syariah yang Abdullahi
Ahmed An-Na’im ajukan mencakup tiga hal, yakni konstitusionalisme, HAM, dan
kewarganegaraan. Ketiga unsur tersebut tidak bisa dimunculkan dari paradigma
negara syariah, melainkan dari visi negara modern (sekular).
Abdullahi Ahmed An-Na’im menjelaskan
konstitusionalisme sebagai pemerintahan berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan
keputusan yang keluar dari keinginan sesaat seseorang, satu klas sosial atau
kasta tertentu. Esensi dalam pandangan tersebut adalah perimbangan yang tepat
antara kebebasan individual yang seutuhnya dan keadilan sosial yang menyeluruh.
Kehadiran negara-bangsa adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan lagi.
Implikasinya adalah bahwa negara-bangsa merupakan arena yang sah untuk mengejar
kebebasan dan keadilan. [28]
Terkait tentang konstitusionalisme, Abdullahi Ahmed An-Na’im mengajukan sebuah
pandangan bahwa semestinya setiap konstitusi negara dibuat berdasarkan apa
yang disebut nalar publik (public reason). [29] Pengertian publik dalam konteks
ini tidak sebatas pada salah satu kelompok dominan, melainkan seluruh
entitas kelompok yang ada dalam teritorial tanpa diskriminasi.
Dengan demikian, secara terperinci
terhadap nalar sekularisme pada buku ini mempergunakan pendekatan sosio-historis
terhadap pemikiran Abdullahi Ahmed An-Naim dan pengalaman historiografisnya
ketika mengunjungi dan melihat dari dekat bagaimana wacana relasi Islam dan
negara bergulir di beberapa negara berpenduduk muslim, seperti India, Turki,
Indonesia, Nigeria, Mesir, dan lain. [30] Maksud pendekatan yang digunakan adalah setiap produk pemikiran
pada dasarnya adalah hasil interaksi si pemikir dengan lingkungan
sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. [31]
3.
Masa
Depan Syariah
Syariah
pasti memilki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat islam
karena dapat berperan menyiapkan anak-anak untuk hidup bermasyarakat, membina
lembaga dan hubungan sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting dalam
membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat
direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui proses
politik yang demokratis. Namun, saya berpendapat bahwa prinsip-prinsip atau
aturan-aturan syariah tidak dapat berlaku dan sebagai hukum dan kebijakan
publik hanya karena alasan prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan
bagian dari syariah. [32]
Peran masyarakat Islam
di setiap masyarakat sesuai dengan konteks sendiri. dengan demikian model
negara sekuler menyerukan sebenarnya merupakan wacana yang memungkinkan untuk
mempromosikan peran Islam dalam kehidupan publik. Tapi seperti yang saya juga
berulang kali menekankan, Proses ini negosiasi tunduk pada konstitusi dan
manusia
perlindungan hak untuk peran akal sipil dalam menetapkan kebijakan publik dan perundang-undangan .
perlindungan hak untuk peran akal sipil dalam menetapkan kebijakan publik dan perundang-undangan .
Para ahli sosiologi
mengkaji hubungan antara agama dan perubahan sosial. Ada yang berpendapat bahwa
agama menghambat perubahan sosial. Pandangan ini tercermin dalam ucapan marx
“bahwa agama adalah candu masyarakat”, menurutnya karena ajaran agamalah maka
rakyat menerima begitu saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat
sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Pandangan ini ditentang oeh sosiolog yang
lain yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat kaum agama merupakan kaum
revolusioner yang memimpin gerakan sosial untuk mengubah masyarakat. Contoh
yang dapat diajukan untuk mendukung pendapat demikian ialah antara lain ;
berbagai gerakan perlawanan kaum ulama di tanah air terhadap penjajahan Belanda,
kepeloporan para rohaniawan Katolik di Polandia terhadap rezim komunis dan
gerakan para Ayatullah yang berhasil menjatuhkan rezim Shah di Iran.
Sebuah sekularisme
minimal pemisahan agama dan negara adalah prasyarat untuk dinegosiasikan, lebih
kaya, dan lebih sekularisme, substansi yang akan mencakup wacana keagamaan dan
yang tentu akan spesifik untuk setiap masyarakat dalam konteks historisnya.
Abdullahi Ahmed An-Na'im
menggalakkan apa yang disebutnya negosiasi masa depan syariah. Bahasa lain dari negosiasi syariah ini adalah
meretas apa yang disebut Habernas sebagai komunikasi bersih. Kekakuan para
pengusung syariah harus dicairkan dengan jalan dialog. Pilihan dialog ini
merupakan pilihan terbaik daripada propaganda permusuhan, intimidasi, serta
kekerasan. Sampai di sini, rupanya Abdullahi Ahmed An-Na'im tidak mau
mencederai tujuan luhurnya dalam menggagas
perdamaian. [33]
Hukum Islam, Syariah, memiliki
reputasi buruk terutama di Barat, tetapi juga di antara banyak Muslim sekuler.
Ini adalah singkatan dari penindasan perempuan, penghinaan terhadap hak asasi
manusia, dan keter belakangan. Syariah , katanya, adalah positif dan memiliki
masa depan. Menurut Abdullahi Ahmed An-Naim, doktrin-doktrin hukum Syariah
dalam bentuk aslinya , yang kembali ke abad ketujuh, hanya tidak sesuai dengan
realitas kehidupan di abad 21. [34]
Abdullahi Ahmed
An-Na’im juga prihatin dengan menjelaskan bagaimana negosiasi konstan ini
hubungan dalam masyarakat Islam sekarang ini dibentuk oleh transformasi yang
mendalam dalam struktur politik, sosial, dan ekonomi mereka dan institusi
sebagai hasil kolonialisme Eropa dan, baru-baru ini, kapitalisme global. Ini
konteks ini juga dibentuk oleh kondisi politik dan sosiologis intern
masing-masing masyarakat, termasuk internalisasi perubahan terinspirasi
eksternal, dimana masyarakat Islam secara sukarela terus terbentuk kesatuan
dalam pembentukan negara, pendidikan, organisasi sosial, dan ekonomi, hukum,
dan pengaturan administratif setelah mencapai kemerdekaan politik.
Sejauh hubungan antara Islam dan
hak asasi manusia yang bersangkutan, Abdullahi Ahmed An-Na'im mengamati bahwa
prinsip-prinsip syariah, secara umum, sesuai dengan norma-norma hak asasi
manusia yang paling penting, dengan pengecualian dari beberapa aspek spesifik
yang berhubungan dengan hak-hak perempuan dan non-Muslim dan kebebasan beragama
dan berkeyakinan. Dia menyebut umat Islam untuk mempertimbangkan mengubah
pemahaman mereka Syariah dalam konteks kekinian masyarakat Islam dengan kata
lain syariah akan murni manakala tidak ada paksaan dalam menjalankannya dan
melepaskan dalam politik kenegaraan.
Ini tidak berarti bahwa negara
dapat atau harus benar-benar netral, karena merupakan lembaga politik yang
seharusnya dipengaruhi oleh kepentingan dan keprihatinan yang
warga negara. Memang, undang-undang dan kebijakan publik harus mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, termasuk nilai-nilai agama, asalkan hal ini tidak dilakukan dalam nama dari agama tertentu, karena itu tentu akan mendukung pandangan mereka yang mengontrol negara dan belum termasuk keyakinan agama dan lainnya warga negara lainnya. Sementara proposisi ini mungkin pada satu tingkat tampil jelas berlaku bagi banyak warga Muslim, mereka mungkin masih ambivalen tentang implikasi yang jelas karena ilusi bahwa negara Islam seharusnya menegakkan Syariah.
warga negara. Memang, undang-undang dan kebijakan publik harus mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, termasuk nilai-nilai agama, asalkan hal ini tidak dilakukan dalam nama dari agama tertentu, karena itu tentu akan mendukung pandangan mereka yang mengontrol negara dan belum termasuk keyakinan agama dan lainnya warga negara lainnya. Sementara proposisi ini mungkin pada satu tingkat tampil jelas berlaku bagi banyak warga Muslim, mereka mungkin masih ambivalen tentang implikasi yang jelas karena ilusi bahwa negara Islam seharusnya menegakkan Syariah.
Dalam analisis akhir Abdullahi
Ahmed An-Na’im menyatakan, negara dapat melayani cita-cita dari Islam
masyarakat untuk keadilan sosial, perdamaian, kebaikan, dan kebajikan dengan
mengaktifkan dan memfasilitasi realisasinya melalui wacana sipil dan struktur
kehidupan politik. Netralitas agama yang diusulkan negara memang diperlukan
untuk masa depan
pengembangan Syariah sendiri.
pengembangan Syariah sendiri.
H. Konstribusi
Dalam suatu pengkajian
pastilah ada kontribusi yang ingin disalurkan, walau banyak disana sini
menggunakan pembahasan yang sedikit mengulang-ulang agar cepat memahami apa
yang diinginkan oleh penulis buku ini. Seperti pada bab-bab pengaplikasian
teori Abdullah Ahmed An-Na’im. Dengan demikian konstribusi yang reviwer
sebutkan selain konsribusi ilmiah baik teoritis maupun praktis akademis, disini
akan disebutkan secara umum tapi mencakup ilmiah dan tujuan yang ingin
diberikan oleh penulis buku atau pemikiran.
Adapun konstribusi yang
ditemukan dalam pemikiran Abdullah Ahmed An-Na’im : Pertama. Selain
pemikiran beliau tidak luput dari kritikan, namun pemikir pemisahan syariah dan
negara memberikan konstribusi bagi pemerintahan agar bisa berlaku adil dan
tidak memihak dalam segi pemberlakuan peraturannya secara sepihak baik itu
condong kepada masalah keagamaan atau kenegaraan bagi generasi berikutnya. Kedua,
dalam memberikan pencerahan pemikiran tentang sistem sekuler dalam negara,
Abdullahi Ahmed An-Na’im mampu menciptakan toleransi penuh penganut agama dan
sebagai suatu mediasi antara syariah dan agama agar bersifat netral. Ketiga,
pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im dapat mebentuk kearah pembaharuan teori dan
praktek syariah islam kedepannya.
I.
Kesimpulan
Buku ini merupakan suatu konsep pengembangan
diskusi-diskusi Abdullahi Ahmed An-Na’im dengan banyak sarjana dan para tokoh
selama berkunjung ke istambul, kairo, Sudan, Taskhent Uzbekistan, new-Delhi,
Algarh, Mumbai, Nigeria, Jakarta, Yogyakarta dan negara-negara lainnya. Serta
mengadakan wawancara dan memberikan kuliah umum diberbagai tempat di Eropa dan
Amerika Serikat, yang mana Abdullahi Ahmed An- Na'im adalah salah seorang tokoh
yang getol memperjuangkan HAM. Oleh karenanya, pemikirannya selalu tidak jauh
dari pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia. Sebab, hak asasi manusia (HAM)
adalah hak yang paling dasar yang dimiliki oleh semua umat manusia sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Syariah yang di maksud
oleh An-Naim adalah tugas umat manusia yang menyeluruh yang meliputi aspek
moral, teologi dan etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal, dan
ibadah rinci jadi dengan demikian syariah berkaitan erat dengan historis
perjalanan kehidupan manusia, sedangkan menurut An-Naim syariah historis belum
mampu menjawab tantangan modern, yang harus di berengi dengan ikhtiar untuk mendekonstruksi
kembali syariah histories (syariah yang turun temurun yang cenderung tidak
berubah) melihat zaman menantang untuk di hadapi, dengan pemikiran yang di
usungnya, sekulasisi dan modernisasi.
Berdasarkan pemikiran dan diskusi Abdullahi Ahmed
An-Na’im untuk memisahkan islam dan negara sering terjadi pertentangan
dikalangan sarjana muslim dan organisasi muslim yang mereka masih
memperjuangkan syariah untuk ditegakkan di negara, akan tetapi pemisahan
tersebut bukan berarti pemisahan tersebut dalam kategori privasi atau lingkupan
sendiri tapi malah menuju kepada kinerja tetap mempertahankan hubungan atara
islam dan politik, memungkinkan penerapan prinsip-prinsip islam dalam kebijakan
dan perundang-undangan resmi, tetapi dengan tunduk kepada perisai-perisai hukum
yang jelas.
Sekularisme menginginkan kemajuan
dan kebebasan, kebebasan itu adalah ; kebebasan dari agama, kebebasan pribadi,
dan kebebasan masyarakat. Maka yang terjadi dari akibat kebebasa-kebebasan itu
ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Pada masa saat ini
banya terjadi kejahatan yang disebabkan oleh reaksi terhadap sekularisasi.
Mengenai Sekularisme yang di maksud dalam pandangan
Abdullah Ahmed An-Na’im merupakan mediasi antara masalah islam, negara dan
masyarakat yang sering terjadi serta melepaskan hubungan pengamalan syariah
terhadap kehidupan masyarakat muslim menyeluruh dengan teritorial negara. Serta
mendukung jalan nya Hak Asasi Manusia dalam Konstitusionalisme negara.
Sepintas konsep Abdullahi Ahmed An-Na’im ini seperti
logis dan menyejukkan. Ia memberikan angin segar bagi umat islam untuk menjalankan
syariatnya. Apalagi dengan tegas menyatakan bahwa setiap perundangan dan
peraturan public haruslah merefleksikan keyakinan dan nilai-nilai
masyarakatnya. Logikanya jika public menghendaki penerapan hukum qishas, hudud,
poligami, dan berbagi produk hokum lain yang selama ini dikecam keras,
seharusnya hokum itu diadopsi dan dijadikan peraturan serta hokum public. Tapi
ternyata Abdullahi Ahmed An-Na’im menolak hal tersebut. Karena dalam
penilaiannya, hukum-hukum tersebut bertentangan dengan norma, nilai, dan
prinsip HAM.
Adapun untuk keseluruhan buku ini mengenai
hubungan-hubungan antara islam, negara dan masyarakat dengan pemikiran bahwa
setiap muslim bertanggung jawab untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang
menjadi kewajiban agamanya tanpa usnrur diskriminasi atau pemaksaan serta
mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif islam dikalangan umat,
tetapi bukan dalam prinsip-prinsipya secara paksaan oleh kekuatan negara.
Dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan dengan sukarela
oleh penganutnya.
Jika ide Abdullahi Ahmed An-Na’im di praktekkan,
khususnya di Indonesia, maka semua institusi yang berlabelkan islam harus di
hapus karena islam tidak boleh di institusikan, maka seluruh
institusi-institusi Negara yang mengatas namakan islam harus di bubarkan.
Dengan begitu pemisahan islam dan negara kelembagaan
sangat diperlukan agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi
kehidupan umat dan masyarakat islam. Pendapat ini juga bisa disebut “netralitas
negara terhadap agama” yang didalam institusi negara tidak memihak kepada
doktrin atau prinsip-prinsip agama serta menjadikan alam ini Rahmatan Lil
‘alamiin bagi seluruh makhluk hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Boisard, Marcel, 1980, L’Humanisme De L’islam (Humanisme dalam Islam),
Jakarta : Bulan Bintang.
Ahmed, Ishtiaq,
1996, Konstitusionalisme, HAM dan Reformasi Islam, dalam Tore Lindolm
dan Kari Vogt (Eds.), Islamic Law Reform and Human Rights Challenges and
Rejoinders, terj. Farid Wajidi, "Dekonstruksi Syari'ah (II); Kritik
Konsep, Penjelajahan Lain", Cet. I, Yogyakarta : LkiS.
An-Na’im,
Abdullahi Ahmed, 2007, Islam dan Negara Sekuler, Bandung : Mizan.
An-Na'im,
Abdullahi Ahmed, Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right
and International Law, terj., Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, 1994,
"Dekonstruksi Syari'ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan
Hubungan Internasional Dalam Islam", Cet. I Yogyakarta : LkiS Bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar.
G.H.Bousquetu
dan J. Schacht (Eeds), 1957, Selected Works of C. Snouck Hugronje,
Leiden.
Kurdi,
Abdurrahman Abdul Kadir, 2000, The Islamic State; a Study on the Islamic
Holy Constitution, terj. Ilzamuddin Ma'mur, "Tatanan Sosial
Islam; Studi Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah", Cet. I, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.Bahtiar
Efendi, 2004, Politik Syariat Islam; dari Indonesia Sampai Nigeria,
Jakarta : Alvabet.
Mahmud, Moh. Natsir, 2000, Epistemologi dan studi Kontemporer, Makasar.
Mudzhar, M.
Atho, 1998, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi,
Yogyakarta : Titian Ilahi Press.
Rawls, John, 2003
“Political Liberalism, Expanded edition, New York : Columbia University Press.
S.
Turner, Brayan, 1984, Sosiologi Islam : Suatu Telaah Analitis Atas Tesa
Sosiologi Weber, Jakarta : CV. Rajawali.
Schacht,
Joseph, 1950, Sebagai Garis Besar Hukum Islam Serta Sejarah Hukum (The
Origins of Muhammad Jurisprudence, Oxford.
Sjadzali,
Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet
ke-5, Jakarta : UI-Pres.
Weber,
Max, 1968, Economy and Society (Gunther Roth dan Claus Wittich eds), New
York.
[1] Joseph Schacht, Sebagai Garis Besar Hukum
Islam Serta Sejarah Hukum (The Origins of Muhammad Jurisprudence, Oxford,
1950.
[4] G.H.Bousquetu dan J. Schacht (Eeds), Selected
Works of C. Snouck Hugronje, Leiden, 1957, hal. 57.
[6] Abdullahi Ahmed
An-Na'im seorang sarjana muslim terkemuka dan aktivis hak asasi manusia, lahir
di Sudan pada tanggal 19 november 1964. ia menyelesaikan sekolah dasar menengah
atasnya di sudan. Kemudian melanjutkan studinya di fakultas hukum jurusan
pidana universitas khartum, dan di lanjutkan di ingris pada jurusan kriminologi
universitas Cambridge dan mendapat gelar LLB. Dan diploma pada tahun 1973. Sedangkan
gelar doctor ia tempuh di universitas adinburg, skotlandia, dan mendapat gelar
Phd. Dalam bidang hokum pada tahun 1976.
Setelah menyelesaikan studinya di bidang hukum, Abdullahi Ahmed An-Na’im kembali ke sudan, mengabdi kepada bangsanya sebagai jaksa, pengacara dan dosen pada universitas khartum. Selain mengajar, dia menjadi corong pemikiran-pemikiran gurunya, Mahmud Muhammad thoha, salah satunya teori nasakh yang sebelumnya di kembangkan oleh gurunya. Menjelang1979, Na’im menjadi kepala departemen public di fakultas hukum khartum. Ia sebagai sosok intelektual muda yang aktif dan brilian dalam berbagai diskusi dan seminar hokum di sudan. Selain itu juga aktif menulis berbagai artikel dalam berbagai jurnal, baik yang bersekala nasional, maupun internasional. Sekarang na’im menetap di Amerika serikat
Setelah menyelesaikan studinya di bidang hukum, Abdullahi Ahmed An-Na’im kembali ke sudan, mengabdi kepada bangsanya sebagai jaksa, pengacara dan dosen pada universitas khartum. Selain mengajar, dia menjadi corong pemikiran-pemikiran gurunya, Mahmud Muhammad thoha, salah satunya teori nasakh yang sebelumnya di kembangkan oleh gurunya. Menjelang1979, Na’im menjadi kepala departemen public di fakultas hukum khartum. Ia sebagai sosok intelektual muda yang aktif dan brilian dalam berbagai diskusi dan seminar hokum di sudan. Selain itu juga aktif menulis berbagai artikel dalam berbagai jurnal, baik yang bersekala nasional, maupun internasional. Sekarang na’im menetap di Amerika serikat
[8] Secara keseluruhan buku ini memuat tujuh
bab dalam daftar isi. Bab Pertama Pendahuluan, Bab kedua Islam, Negara dan
Politik Perspektif Historis mencakup Kerangka untuk Membaca Sejarah Islam,
Perang terhadap Orang-Orang Murtad dan Watak Negara, Dinasti Fatimiyah dan
Mamluk di Mesir, dan Negosiasi antar-Lembaga, Bab ketiga Konstitusional, HAM
dan Kewarganegaraan mencakup Negara, Politik dan “Publik Rason”,
Konstitusionalisme dalam Perspektif Islam, Islam, Syariah dan
Konstitusionalisme, Islam dan Hak Asasi Manusia, Kewarganegaraan, Konsep Dzimmi
dan Prespektif Sejarah, dan Dari Konsep Dzimmi menuju Kewarganegaraan Berbasis
Hak Asasi Manusia, Bab Keempat Negosiasi Kontekstual Sekularisme dan prospektif
Komparatif mencakup Pengalaman Negeri-Negeri Barat, Upaya Kontekstual untuk
Mediasi Ketegangan, Hubungan Faktor Internal dan Eksternal, dan Agama, Negara
dan Politik Publik Reason, Bab kelimaIndia Sekularisme Negara dan Kekerasan
Komunal mencakup Islam, Negara dan Politik pada Masa Prakolonial, Islam, Negara
dan Politik pada Periode Kolonial 1750-1947, Islam, Negara dan Politik sejak
Kemerdekaan, Sekulerisme Negara dan Hubungan Komunal di India, dan Sekularisme
di tengah Masyarakat India, Bab keenam Turki : Kontradiksi-Kontradiksi
Sekulerisme Otoriter mencakup Peran Agama dalam Kekuasaan Dinasti Utsmani,
Sistem Hukum Dinasti Utsmani, Kemerosotan dan Transformasi, Sekularisme Republik
ala Kemal, Dilema Negosiasi Sekularisme, dan Tantangan dan Prospek Politik
Islam, dan Bab ketujuh Indonesia : Realitas Keragaman Prospek Pluralisme
mencakup Latar Belakang dan Konteks Debat, Realitas Keragaman Agama di
Nusantara, Diskursus Syariah di Pusat, dan Dikotomi Keliru dan Dilema yang tak
Perlu.
[12] Max Weber adalah seorang tokoh besar
Sosiologi modern dari Jerman. Beliau hidup pada tahun 1864-1920. Max Weber
mempunyai pendidikan berlatar belakang di bidang hukum dan sosial, baca Max
Weber, Economy and Society (Gunther Roth dan Claus Wittich eds), New
York, 1968, vol. 3, hal. 1041
[13] Istilah “Syari’at Islam”yang dimaksud dalam tulisan ini
mengikuti pemahaman umum yang berkembang
dalam alam pikiran masyarakat Indonesia.
Ketika Syari’at Islam disebut, maka pemahaman masyarakat indonesia pada umumnya
adalah keseluruhan hukum Islam, baik yang secara tekstual ada dalam al-Qur’an dan
al-Hadits, maupun hukum Islam sebagai
hasil penalaran (ijtihad) ulama’ atas nushush al-Qur’an dan al-Hadist, yang biasa disebut fikih (al-fiqh al-islamy).
Dengan demikian tulisan ini mengabaikan
sementara perbedaan semantik, yang biasa dibahas dalam literatur klasik Islam, antara al-Syari’at
al-Islamiyyah, alfiq al-Islamy, al-Hukm al- Islamy, dan yang sejenis dengan itu
[14] Bahtiar Efendi, Politik Syariat Islam; dari
Indonesia Sampai Nigeria, Jakarta : Alvabet, 2004, hal. 1
[16] H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, cet ke-5, Jakarta : UI-Pres, 1993, hal.1
[18] Ishtiaq Ahmed, Konstitusionalisme,
HAM dan Reformasi Islam, dalam Tore Lindolm dan Kari Vogt (Eds.), Islamic
Law Reform and Human Rights Challenges and Rejoinders, terj. Farid Wajidi,
"Dekonstruksi Syari'ah (II); Kritik Konsep, Penjelajahan Lain",
Yogyakarta: LKiS, Cet. I., 1996, hlm. 73.
[23] Sekularisme dalam kamus Webster :
“pengabaian atau penolakan atau pengasingan agama atau
pertimbangan-pertimbangan keagamaan”. Adapun Sekularisme menurut The Short Oxford Dictionary yaitu
“sebagai doktrin bahwa moralitas seharusnya semata-mata didasarkan pada
penghargaan atas umat manusia dalam kehidupan sekarang ini, dengan membuang
semua pertimbangan yang diambil dari keyakinan pada Tuhan atau hari
akhir”. Abdullahi Ahmed An- Na'im, Islam
dan Negara Sekular, hal. 61.
[28] Abdullahi
Ahmed An-Na'im, Toward
an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law, terj., Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, "Dekonstruksi
Syari'ah; Wacana
Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan
Hubungan Internasional Dalam Islam", Yogyakarta: LkiS Bekerjasama dengan
Pustaka Pelajar, Cet. I, 1994, hlm. 138
[29] John Rawls dalam bukunya “Political
Liberalism, Expanded edition, New York : Columbia University Press, 2003, hal.
442, mendefinisikan tentang publik reason karena tiga hal. Pertama, jika reason
tu muncul dari warga negara yang bebas dan setara. Kedua, jika reason ini
berisi tentang kemaslahatan publik yang berkaitan dengan masalah keadilan
politik yang fundamental yang mempermasalahkan esensi undang-undang dasar dan
soal keadilan dasar. Ketiga, watak dan isinya memang publik, diungkapkan dengan
penalaran publik melalui sekumpulan konsep keadilan politik rasional yang telah
dipikirkan secara rasional pula, untuk memenuhi kriteria resiprositas.
[31] Untuk lebih memahami pendekatan ini
secara mendalam, lihat beberapa tulisan M. Atho Mudzhar, misalnya : Membaca
Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta : Titian Ilahi
Press, 1998, hal. 105.
Comments
Post a Comment