JURNAL
ISLAM LIBERAL DAN PENDIDIKAN ISLAM
(Studi Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid)
Email: subiantoro810@gmail.com
Abstrak
Tulisan
ini memotret bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid terhadap Islam Liberal yang dulu
Wacana Islam Liberal Indonesia menghentak republic ini dengan menawarkan wacana
baru yang sangat kontradiktif dengan wacana islam mainstream yang cenderung
revivalis, monolit, formalis-syariah sehingga mengarah intoleran karena tidak
adanya kompromi, tetapi menurut Abdurrahman
Wahid bahwa Islam Liberal, datang sebagai warna yang menawarkan keislaman yang
relevan dengan kondisi riel masyarakat Islam, bukan kontradiktif dengan
realitas masyarakat tanah air, serta toleran Islam buat semua umat beragama,
inklusif dan terbuka. dari sinilah islam liberal tidak hanya bermain dalam isu
yang abstrak yang tidak bisa dipahami oleh orang lain, melainkan dapat merambah
gagasan yang bersifat praktis dan memberikan harapan bagi masa depan
kemanusiaan, karena islam tidak lagi menjadi “bahasa masa lalu” melainkan
menjadi “bahasa kini” dan “bahasa yang akan datang”. dengan adanya konsep Islam
Liberal tersebut peneliti ingin mengimplikasikan kedalam pendidikan islam
dengan analisis konteks kurikulum, karena pendidikan islam selalu terkait dengan
konstelasi, sosial, politik, dan budaya-pemikiran yang dominan,dan pendidikan
islam merupakan aktivitas internalisasi nilai secara akademis, ideologis, dan
terlembagakan dalam dialektika sosio cultural, dan dalam Pengembangan kurikulum yang diterapkan dapat
membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan yang sesuai dengan tuntunan
zaman atau kurikulum harus lebih diorientasikan dan disesuaikan dengan
kebutuhan masa kini dan masa yang akan datang.
Kata
Kunci: Islam Liberal, Pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara mengenai kehebatan serta kemajuan
sebuah bangsa, kita tidak akan terlepas dari yang namanya peranan penting
sebuah “PENDIDIKAN”. Pendidikan di semua negara merupakan suatu hal yang sangat
penting untuk mendapatkan perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat
dalam negara tersebut. Tanpa adanya pendidikan, yakinlah bahwa negara tersebut
tidak akan pernah mengalami yang namanya perkembangan. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah sistem yang betul-betul bagus untuk menata proses pendidikan
yang akan berjalan.
Pendidikan merupakan salah
satu aspek yang sangat penting untuk membentuk generasi yang siap mengganti
tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan, Inti dari Pendidikan Agama Islam adalah terbentuknya manusia yang
beriman, cinta damai, cerdas, kreatif, memiliki keluhuran budi, berfikir
keritis,dan peduli terhadap kondisi sosial masyarakat. Tugas utama pendidikan
upaya secara sadar untuk menghantarkan manusia pada cita-cita tersebut. pendidikan
islam memiliki fungsi mengarahkan kehidupan Islami yang ideal dan humanis,[1]
yaitu secara umum humanis diartikan martabat (dignity) dan nilai (value)
dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan
alamiahnya (fisik atau non fisik) secara penuh.[2] Pada dasarnya humanism hal paling utama dari
semua keyakinan moral yang kokoh; sebuah keyakinan moral yang secara langsung
mengisyaratkan sikap etis yang praktis dan konsisten.[3]
Dalam Undang
Undang pasal 1 No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memilliki kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian
diri keprbadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[4]
Pendidikan
tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (Trasfer Of Knowledge)
kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yaitu mentranfer nilai (Tranfer
Of Value), selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut
peserta didik unutk selalu mengembangkan potensi dan daya kreativitas yang
dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya.[5]
Pendidikan yang dilakukan setiap orang terhadap anak-anaknya pada umumnya hanya
berdasarkan pada cara kebiasaan (traditie) dan seringkali dipengaruhi oleh
perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik. Dengan kata lain tidak dengan
“keinsyafan” dan tidak tepat. jika terdapat keinsyafan, maka keinsyafan itu
hanya berdasarkan atas perkiraan atau rabaan belaka, yakni tidak berdasarkan
pengetahuan.[6]
Jika pendidikan
mengalami kegagalan dalam menghantarkan manusia kea arah insan kamil yang
bersandarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. maka yang terjadi adalah tumbuhnya
perilaku negative dan deskriptif. Maraknya kesadaran dikotomik dalam memandang
konsep Pendidikan Islam di sebabkan kurang adanya pengembangan pendidikan
berbasis Islam liberal. Islam liberal mengasumsikan tidak ada dikotomi dalam
ajaran islam yang asli. Lahirnya kesadaran dikotomik dalam pendidikan Islam
dikarenakan tafsir Agama yang dikembangkan oleh ulama abad pertengahan.
Gagasan
Pendidikan Islam liberal lebih menitik beratkan pada manusia sebagai subyek
pendidikan yang mempunyai potensi (fitrah) pengetahuan yang murni. Pendidikan
Islam dalam konteks Islam liberal hanya mengembangkan potensi yang sudah
dimiliki oleh peserta didik sejak lahir. Dalam rangka mengaktualisasikan
alat-alat potensi tersebut manusia diberikan bekal oleh Allah SWT berupa
kemampan dasar atau disebut dengan fitrah. Istilah fitrah dalam kamus munjid
berarti “ciptaan” sifat tertentu yang mana setiap maujud disifati denganya pada
awal masa penciptaanya, sifat pembawaan manusia (yang ada sejak lahir), Agama
dan Sunah.[7]
Pendidikan
merupakan sarana paling strategis untuk membesarkan, mendorong, dan
mengembangkan warga negara untuk memiliki keadaban, yang merupakan ciri dan
karakter paling pokok dari masyarakat madani, pendidikan harus dikembalikan
fungsinya kepada pemberdayaan masyarakat agar memberikan ruang gerak yang
seluas-luasnya pada fungsi esensial pendidikan itu sendiri. Dan dengan
perkembangan pemikiran pembaharuan pendidikan tidak akan terisolir dari irama
perubahan sosial, politik budaya. Menurut Munir Al- Mursi Sarhan, pendidikan
islam bukan merupakan yang terisolir (isolated entity) tetapi pendidikan
selalu terkait dengan konstelasi, sosial, politik, dan budaya-pemikiran yang
dominan, karena pendidikan islam merupakan aktivitas internalisasi nilai secara
akademis, ideologis, dan terlembagakan dalam dialektika sosio cultural.[8]
Dari gagasan
diatas Pendidikan harus memberi ruang yang sebesar-besarnya bagi kemajuan dan
berkembangnya potensi tersebut. dan dari pemaparan diatas penulis tertarik utuk
mengkaji konsep Islam liberal Abdurrahman Wahid dalam konteks pengembangan
pendidikan Islam dengan menganalisa kontek kurikulum. Islam liberal sangat
menghargai posisi manusia sebagai khalifah dibumi, pembelaan terhadap wanita,
menghargai pluralitas, dan mempunyai ide progresif yang berartai pembelaan
kepada kaum lemah, yang didalamnya meniscayakan wacana-wacana actual, seperti
pembelaan terhadap buruh fiqih anti korupsi dan lain-lain. dari sinilah islam
liberal tidak hanya bermain dalam isu yang abstrak yang tidak bisa dipahami
oleh orang lain, melainkan dapat merambah gagasan yang bersifat praktis dan
memberikan harapan bagi masa depan kemanusiaan, karena islam tidak lagi menjadi
“bahasa masa lalu” melainkan menjadi “bahasa kini” dan “bahasa yang akan datang”.[9]
Pendidikan
Islam liberal mencoba menawarkan ajaran Islam yang universal, humanis dan tidak
dokmatik otoriter. Islam liberal ini
berusaha menghadirkan kembali islam dimasa lampau sesuai perkembangan zaman,
modernitas. Kelompok ini memandang modernitas sebagai bagian dari perkembangan
zaman yang harus diperhatikan dalam beragama sehingga agama harus dipahami
secara benar agar bersesuaian dengan modernitas.[10]Ide
ini penting untuk dikembangkan dalam pendidikan Islam diabad modern. Membahas
tentang gagasan Islam liberal dewasa ini dalam kompilasi karangan pemikir
muslim dari seluruh dunia. Dan ini merupakan liberalism kontemporer yang dalam
hal mengambil beberapa ajaran sosialisme.[11]
inilah suatu usaha mencari rasionalitas iman ditengah-tengah isu kontemporer.
Kurzman
mengatakan agenda utama Islam liberal antara lain, perlawanan terhadap
teoraksi, penegakan demokrasi, membela hak perempuan, hak non muslim, kebebasan
berfikir, dan progresifitas.[12]Dewasa
ini kita sering melihat/menyaksikan perbincangan yang cukup menarik dikalangan
Islam, tentang apa yang disebut “Islam liberal”. Meskipun istilah itu, atau
yang mirip dengan itu, sebenarnya tidak baru. kemunculanya kembali dewasa ini
cukup member hentakan bagi diskursus keislaman yang serius ditanah air, yang kita
rasakan mulai lesu.[13]
Dalam konteks Islam, Kajian pemikiran dalam
Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk membuka kerangka berfikir dalam
memperoleh khazanah ilmu pengetahuan baru yang pada titik endingnya kemudian
mendapatkan kearifan, baik secara pemikiran maupun tindakan. Dalam peraturan
pemikiran Islam selama ini, disatu sisi dinilai bahwa hal demikan adalah suatu
keharusan, dengan harapan membangkitkan semangat dalam memahami pesan moral
Ilahi yang secara aksiologis bermanfaat untuk kehidupan manusia. Dari kebodohan
menuju berpengetahuan dan berkeadaban. Namun disisi lain, justru pemikiran yang
tidak terkontrol, akan memiliki dampak negatif terhadap gaya berfikir
seseorang, sehingga antara satu dengan yang lainnya saling klaim kebenaran dan
menjatuhkan.
Sebagai sebuah contoh, berkembangnya pemikiran
islam liberal ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat dalam keberagama’an
merupakan suatu indikasi tentang hidupnya pemikiran dalam Islam. Disatu sisi
dinilai hal tersebut baik untuk perkembangan umat yang taraf berfikirnya sudah
terkontrol, namun menjadi tidak baik apabila hal tersebut menghilangkan esensi
atau nilai social yang berujung pangkal pada saling mengkafirkan antara satu
dengan yang lain.
Bertolak dari pemahaman tersebut, yang menjadi
titik tekan sebenarnya adalah bagaimana Islam sebagai agama yang bersifat
dinamis, mampu memposisikan Islam sebagai motivasi pemikiran, tindakan serta
control terhadap pelbagai fenomena social yang menggejala. Islam liberal merupakan perangkat penting dalam menggerakkan
pemikiran keislaman kontemporer. Islam liberal telah mempertegas kebutuhan
primer untuk merambah jalan baru islam yang damai, elegan, dan membangun. Islam
liberal konsisten terhadap rasionalitas dan pembaharuan. Konsep Islam liberal
secara esensial menjanjikan banyak hal, terutama gagasan liberalisasi dan
pembaharuan.[14]
Dengan
munculnya ilmu pengetahuan, para ilmuan merasa kurang leluasa dengan kebenaran
yang disodorkan oleh agama sehingga terjadi semacam “pemberontakan” dan
pemisahan antara ilmu pengetahuan dengan Agama, dan pada giliranya memunculkan
apa yang disebut sekularisme dan humanisme didunia barat. dengan kata lain
pemikiran liberal lahir dari sebuah pemberontakan atas nama kebebasan berfikir.
Dalam konteks politik gerakan pemikiran liberal lahir sebagai protes terhadap
kekuasaan raja yang berkolaboasi dengan kekuasaan agama.[15]
Liberalisme menekankan
hak-hak peribadi serta kesamarataan peluang. Dalam fahaman
liberalisme, pelbagai aliran dengan nama “liberal” mungkin mempunyai dasar dan
pandangan yang berlainan, tetapi secara umumnya aliran-aliran ini bersetuju
dengan prinsip-prinsip berikut termasuk kebebasan berfikir dan kebebasan
bersuara, batasan kepada kuasa kerajaan, kedaulatan undang-undang, hak individu
ke atas harta persendirian, pasaran bebas dan ketelusan sistem pemerintahan.
Mereka yang liberal menyokong sistem kerajaan
demokrasi liberal dengan pengundian yang adil dan terbuka, di mana
semua rakyat mempunyai hak-hak yang sama rata di bawah undang-undang.
Fahaman liberalisme moden berakar dari Zaman
Kesadaran barat dan kini mengandungi pemikiran politik yang luas dan kaya
dari segi sumber. Liberalisme menolak kebanyakan tanggapan asas dalam hampir
semua teori pembentukan kerajaan awal seperti hak-hak raja yang diberikan oleh
tuhan, status yang berasaskan keturunan dan institusi-institusi
agama. Liberal beranggapan sistem ekonomi pasaran bebas lebih cekap
dan menjana lebih banyak kemakmuran.[16]
Di sini,
pemikiran liberal ingin melepaskan diri dari kesultanan yang berkolaborasi
dengan symbol-simbol keagamaan. Paham keagamaan yang dominan legalistic, yang
kurang memberi ruang gerak bagi pemikiran yang bercorak eksploratif. Dengan
kata lain, pemikiran liberal lebih menekankan pada substansi kemanusiaan dan
universal Islam yang menempatkan diri dalam berbagai manifestasi
ajaran-ajaranya.
Rangkaian
ajaran-ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (Fiqh),
keimanan (Tauhid), serta etika (Akhlaq), seringkali disempitkan
oleh masyarakat sehingga menjadi kesusilaan belaka dan dalam sikap hidup.
Padahal unsure-unsur itulah yang sesungguhnya menampilkan kepedulian yang
sangat besar kepada unsure-unsur utama dari kemanusian, yang nantinya akan
bergesekan dengan warisan pemikiran ortodok yang sangat teguh dalam
symbol-simbol Agama. tidak ada gerakan liberalisme islam yang lahir begitu
saja, melainkan merupakan respon terhadap tuntutan dan perkembangan zaman.[17]
Gerakan
liberalisasi tetap menyadari mutlaknya keperluan kepada tempat atau wadah,
tetapi ia menentang wadah yang disakralkan. Abdurrahman Wahid, tokoh yang
mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata yang singkat, singkat dan nyeleneh
karena itu cenderung sulit dipahami. Dalam sudut tafsir atas dua kata itu,
tergantung siapa yang mellihat dan memahami. Bahkan dalam masa kepresidenanya
sempat muncul anekdot tentang tiga misteri Tuhan. Bahwa ada tiga misteri Tuhan
yang tidak dapat dipahami atau diketahui manusia sebelum hal itu terjadi:
jodoh, kematian dan Gus Dur.[18]
Beliau tokoh
asli Indonesia (pribumi) yang konsen dengan gagasan liberalisasi dan
pembaharuanya. Dan untuk memahami seorang Abdurrahman Wahid atu yang sering
kita sebut dengan nama Gus Dur tidak cukup hanya dengan melihat sepak terjang
dan mannuvel politiknya yang controversial saat-saat terakhir ini. akan tetapi
perlu jejak-jejaknya dimasa lampau yang sangaat brilian yang pernah
digoreskanya.[19]
yang banyak melahirkan karya dan memberikan kontribusi bagi pembaharuan
pemikiran keislaman Indonesia, dan seperti kita tahu bahwa Gus Dur seorang
kiai, dalam tradisi dunia pesantren orang menjadi kiai karena “ascribed
status” artinya seorang menjadi kiai karena ayahnya kiai, kakeknya kiai,
dan kakeknya lagi kiai, dari pihak ayah ataupun ibu, semuanya kiai. Dan Gus Dur
menjadi kiai juga karena “achieved status”.[20]
Tetapi bagi saya merupakan penilaian persial, kerena Gus Dur pun memanggul
propesi yang dicapai karena prestasi pribadi. dari latar belakang tokoh ini
membuat perhatian penulis untuk melakukan kajian pemikiran yang terkait dengan
islam liberalnya.
Pembaharuan
islam yang digagas oleh Abdurrahman Wahid justru berangkat dari gerakan
cultural dalam basis Islam Tradisional. Karena umat tidak menjadi yatim-piatu yang ditinggalkan orang
tuanya yang mengusahakan strategi structural. Setidaknya ada lima program cultural,
yaitu mengembalikan dan mengembangkan 1). tradisi rasional 2). Tradisi
egalitarian 3) tradisi berbudaya 4). tradisi ilmiah dan 5). Tradisi
cosmopolitan.[21]
Dalam pandangan
Abdurrahman Wahid nilai-nilai Islam tradisional menawarkan solusi potensional
untuk mengatasi masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Seperti halnya masalah
Agama dan kemungkinan relevansinya dalam hiluk-piluk kehidupan kontemporer
menjadi perhatian terbesar Gus Dur sejak akhir tahun 1960-an atau awal tahun
1970-an. Sebuah masalah yang kelihatanya sangat urgen justru karena adanya
pengakuan - atau keyakinan – mayoritas kaum beriman bahwa agama adalah
parameter terpenting dari segala hal.[22]Corak
pemikiranya lebih menitik beratkan kepada bagaimana aplikasi esensi ajaran
islam dalam menjawab persoalan sosial yang terjadi di masyarakat secara
konkrit. Islam mampu mentranspormasikan ajaran-ajaranya dalam menjawab realitas
sosial yang selalu dinamis sesuai konteks zamanya.
Bagi
Abdurrahman Wahid untuk menjadi muslim yang baik, seorang muslim kiranya perlu
menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran islam secara utuh atau
mempelajari islam secara kaffah, menolong mereka yang membutuhkan
pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi
ujian dan cobaan. Konsekuensinya mewujudkan sistem Islami atau formalisasi
tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberikan predikat sebagai seorang
muslim yang taat.
Abdurrahman
Wahid menolak akan adanya idiologisasi Islam, baginya idiologisasi Islam tidak
sesuai dengan perkembangan islam di Indonesia, yang dikenal dengan Negerinya
kaum muslim moderat. Islam di Indonesia menurut Abdurrahman Wahid muncul dalam
keseharian cultural yang tidak berbaju idiologis, dan dan dalm konteks budaya
di Indonesia pernah mengalami apa yang dinamakan dualism kebudayaan, yaitu
antara budaya keratin dan budaya popular.[23]
Dari hal tersebut timbulah pengaruh islam terhadap kebudayaan tradisional,
untuk itu penulis tertarik untuk mengkaji konsep Islam liberal Abdurrahman
Wahid untuk pengembangan pendidikan Islam kedepan agar lebih maju dan modern.
Abdurrahman
wahid adalah tokoh pesantren yang memilik perhatian yang mendalam terhadap
kehidupan umat.dia tumbuh berkembang dalam pesantren yang berkultrul
tradisional serta dekat dengan kehidupan perjalanan sejarah nasional. Dia
belajar dalam bimbingan kyai-kyai karismatik Nahdlatul Ulama serta para tokoh
nasional. Dengan para tokkoh itulah ia sering terllibat dialog-dialog tingkat
tinggi seputar keIslaman, kebangsaan dan kemanusiaan serta tema-tema penting
lainya. Pergaulanya lintas agama dan dunia internasional menambah bobot
pemikiranya untuk kemajuan bangsa dan Negara.Demikian Abdurrahman Wahid menjadi
tokoh yang banyak diteliti pemikiran dan tindakanya.
B.
Biografi Abdurrahman Wahid
K.H. Abdurrahman
Wahid,[24]
lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam (Agustus) 1940. Terdapat
kepercayaan bahwa ia lahir 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk
menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4
Sya‟ban, sama dengan 7 September 1940.
Kehadiran
Abdurrahman Wahid dikalangan masyarakat Indonesia saat ini tidak lain
disebabkan oleh kualitas pribadinya yang luar biasa, disamping faktor
lingkungan keluarga yang sangat mendukung. Abdurrahman Wahid, cucu dari dua
serangkai pendiri NU, Kiai Hasjim Asj’ari dan Kiai Bisri Sjansuri. Ayah
Abdurrahman Wahid Kiai Wahid Hasjim, adalah putra Kiai Hasjim Asj’ari, dan
ibunya shalehah, adalah putri Kiai Bisri Sjansuri.
Kemudian pada
tahun 1953 sampai 1957, saat masih belajar di sekkolah menengah Ekonomi pertama
(SMEP) ia tinggal di rumah Kiai H. Junaidi, seorang Kiai muhammadiyah dan
anggota majlis tarjih muhammadiyah. Beberapa tahun kemudian Abdurrahman Wahid
“mondok dipesantren Tegalrejo, sebuah pesantren NU terkemuka dimagelang. Dan
pada tahun 1957 ia juga sempat “nyantri” di pesantren Krapyak, Yogyakarta dan
tinggal ditempat Kiai H. Ali Maksum. Pada tahun 1964 Abdurrahman Wahid
meninggalkan tanah air, perggi kekairo, mesir, untuk belajar ilmu-ilmu agama.
dan pada tahun 1971 Abdurrahman Wahid kembali ke Indonesia, kembali kedunia
pesantren dari tahun 1972 sampai 1974 dan sekaligus dosen di universitas Hasjim
Asj’ari, jombang. Tahun 1974-1980 ia menjadi sekertaris umum pesantren tebu
ireng jombang, dan dari situ ia terlibat masalah pengurusan NU dengan menjabat
Katib Awal PB Syuriah NU sejak tahun 1979.[25]
C.
Telaah Pemikiran Abdurrahman Wahid
Dari penjelasan
diatas menurut saya Abdurrahman Wahid adalah Seorang tokoh Intelektual
dan bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran
dalam kemajemukan hidup di nusantara. Selama hidup, GusDur mengabdikan dirinya
demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi
dimensi eksistensinya.
Abdurrahman
Wahid dikenal sebagai intelektual public, sebab di samping ia sering tampil
dikalangan para intelektual Gus Dur juga menulis banyak esai di mass-media
Jakarta, khususnya majalah mingguan Tempo. Dan Pemikiran Abdurrahman Wahid terkenal dengan rasionalitas
dan berpendirian dalam usaha-usaha membawa islam mampu menghadapi
tantangan-tantangan modernitas, dan dalam pemikiranya Abdurrahman Wahid
berpendapat bahwa Islam Liberal, menyangkut adanya ajaran-ajaran islam yang
toleransi dan keharmonisan masyarakat.
Dari
pemikiranya dapat disimpulkan bahwa pendekatan metodologis yang dibawa oleh
Abdurrahman Wahid yaitu.
1.
Pendekatan Antropologi cultural
Antropologi
cultural (cultural Antropology) merupakan anthropology yang mempelajari
kebudayaan. Dan dari anthropology cultural berkembang konsep (cultural
Integration) yaitu gejala saling menyesuaikan antara unsure-unsur
kebudayaan.[26]
2.
Pendekatan Historis-Nomatif
Yaitu
berkenaan dng sejarah; bertalian atau ada hubungannya dng masa lampau dan berpegang
teguh pd norma atau kaidah yg berlaku. Atau bisa dirinci bahwa pendekatan
normative melibatkan komitmen keagamaan, yang bertujuan mencari kebenaran agama
dan tak jarang mengfalsifikasi agama lain dan mengajak pemeluknya pindah ke
agama si peneliiti. Sedangkan pendekatan deskriptif yaitu berusaha memahami
agama-agama tanpa melibatkan komitmen peneliti terhadap kebenaran agama. hal
ini sesuai dengan apa yang dikatakan Abdurrahman Wahid, bahwa umat islam
seharusnya menjadikan fakta-fakta historis menjadikan ukuran sikap-sikap
mereka.[27]
D.
Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid
Dengan
pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam Liberal, yaitu menyangkut adanya ajaran-ajaran islam yang
toleransi dan keharmonisan masyarakat. Karena di indoonesia merupakan negara
yang pluralis, humanis dan bisa dibilang merupakan wadah yang bisa menampung
semua agama, maka diperlukan adanya toleransi antar umat beragama.
Berkembangnya pemikiran islam liberal
ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat dalam keberagama’an merupakan suatu
indikasi tentang hidupnya pemikiran dalam Islam. Disatu sisi dinilai hal
tersebut baik untuk perkembangan umat yang taraf berfikirnya sudah terkontrol,
namun menjadi tidak baik apabila hal tersebut menghilangkan esensi atau nilai
social yang berujung pangkal pada saling mengkafirkan antara satu dengan yang
lain. Dari penjelasan
diatas penulis setuju tentang adanya gagasan yang disampaikan Gus Dur tentang
Islam Liberal, karena Islam Liberal akan mampu membawa warna di agama islam itu
sendiri.
E.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian yang ingin dicapai oleh penulis dalam kaitanya dengan judul
penelitian ini antara lain:
a. Untuk mengkaji
secara ilmiah Islam Liberal Abdurrahman Wahid.
b. Untuk
mengetahui Implikasi Islam Liberal Abdurrahman Wahid dalam Pendidikan Islam.
2.
Manfaat Penelitian
Adapun manfat
dari penelitian ini adalah:
a.
Dari segi teori pendidikan diharapkan ikut serta memperkaya wawasan
keilmuan dalam rangka menciptakan Pendidikan Islam.
b.
Memberi informasi kepada siapa saja yang menelaah lebih dalam
mengenai Islam liberal Abdurrahman Wahid dan pengembanganya dalam Pendidikan
Islam, dan penelitian ini berguna dalam memberikan
kontribusi yang bernilai strategis bagi para praktisi pendidikan. Baik pihak
orang tua, masyarakat, maupun pihak sekolah. Sehingga diharapkan dari pihak
orang tua, masyarakat, maupun pihak sekolah menjalin kerjasama untuk membantu
sekolah merumuskan serta mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan
kualitas Pendidikan.
Sudah banyak hasil penelitian yang menggambarkan
mutiara penelitian Abdurrahman Wahid yang didedikasikan untuk pemajuan bangsa
dan Negara.
Dilihat dari jenis penelitian, maka penelitian
ini termasuk kedalam penelitian (library research) atau penelitian
kepustakaan yang khusus mengkaji suatu masalah untuk memperoleh data dalam
penulisan penelitian ini.Yaitu penelitian yang diadakan diperpustakaan dan
bersumber pada data – data informasi yang tersedia diruang perpustakaan.[28]
Menurut M. Iqbal Hasan mengatakan
bahwa, “penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang
dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku,
catatan, maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu.”[29]
Dilihat dari sifatnya, penelitian
ini termasuk “Deskriptif analitis” yaitu” suatu penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan secermat mungkin mengenai suatu yang menjadi obyek, gejala atau
kelompok tertentu untuk kemudian dianalisis,”[30]
Sedangkan menurut kartini kartono
penelitian deskriptif adalah penelitian yang hanya melukiskan, memeparkan, dan
melaporkan suatu keadaan, obyek atau peristiwa tanpa menarik kesimpulan ini.[31]
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam konteks penelitian ini yaitu
pendekatan historis filisofis karena objek material dari penelitian
adalah pemikiran yang sudah meninggal.
1.
Sumber data,
a.
Sumber Primer
Sumber Primer dalam hal ini adalah hasil-hasil penelitian atau
tulisan-tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orisinil.Sumber primer ini
berupa buku-buku dan karya ilmiah yang digunakan sebagai referensi utama, dan
sebagian besar penulis gunakan sebagai rujukan dalam penulisan penelitian ini.
Adapun sumber primer tersebut adalah Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia
dan Transformasi Kebudayaan,Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur Bertutur,
Prisma Pemikiran Gus Dur, Dialog kritik dan Identitas Agama, dan lain
sebagainya.
b.
Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan di
publikasikan oleh seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan
pengamatan atau berpartisipasi dalam kenyataan yang ia deskripsikan. Dengan
kata lain penulis tersebut bukan penemu teori. Sumber sekunder ini digunakan
sebagai bahan referensi tambahan untuk lebih memperkaya isi penelitian, dan
sebagai bahan pelengkap dalam penelitian ini. Sumber ini terdiri dari buku-buku
atau karya ilmiah lain yang masih ada hubungannya dengan isi penelitian.
Misalnya; Biografi Gus Dur, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Gus Dur, NU dan
Masyarakat Sipil, 41 Kebesaran Gus Dur, The Beauty of Islam, Pendidikan
Pluralisme di Indonesia, karya ilmiah Islam dan Pendidikan Pluralisme, dan
sebagainya.
Sejalan dengan jenis penelitianya yang digunakan adalah penelitian
kepustakaan, maka penulis dalam usaha menghimpun data dengan menggunakan metode
studi pustaka (library research) yaitu tekhnik pengumpulan data dalam
suatu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data – data dan informasi
yang berkaitan atau yang biasa kita sebut dengan metode dokumentasi, Yaitu
pengumpulan data yang berupa buku, kitab, jurnal, artikel dokumen dan lain
sebagainya. [32]
2.
Metode
analisis data
Setelah data dikumpulkan langkah berikutnya adalah menganalisa
data, metode pengolahan data yang dipakai adalah conten analisis, yaitu
menghimpun dan menganalisa dokumen-dokumen resmi, buku-buku kemudian
diklasifikasi sesuai masalah yang dibahas dan dianalisa isinya. Atau
membandingkan data satu dengan lainya, kemudian diinterpretasikan dan akhirnya diberi
kesimpulan. Karya-karya gus dur baik yang berupa buku, majalah, jurnal, dan
lain sebagainya disimpulkan dan dianalisis yang terkait dengan pembahasan
tersebut.
Menurut Patton (1980:268) analisis data adalah proses mengatur
urutan data mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian
dasar. Sedangkan Bagdan dan taylor (1975:79) mendefinisikan analisis data
sebagai peruses merinci usaha secara formal untuk menemukan dan merumuskan
hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data sebagai usaha untuk
memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu. Dengan demikian dapat
disintesiskan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian
dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja,
seperti yang disarankan oleh data.[33]
F.
Kerangka Teori
1.
Konsep Pendidikan Islam
Konsep filosofis pendidikan islam, adalah
berpangkal pada hablun min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablun
min al-nas (hubungan manusia dengan manusia) dan hablun min al-alam (hubungan
manusia dengan alam sekitarnya), Allah menciptakan manusia sebagai khalifah
dibumi (alam). Khalifah berarti pemegang amanat, mandataris, dan kuasa, untuk
merealisir dan menjabarkan kehendak dan kekuasaan Allah dialam.[34]
Dan Paradigma tentang konsep Pendidikan
Islam memang sudah berkembang luas sejak dulu. Dalam pendidikan Islam pastinya
kita sudah mengenal tiga konsep dasar pendidikan Islam, yaitu; Ta’dib,
Tarbiyah, dan Ta’lim. Namun dari ketiga konsep dasar tersebut memiliki titik
tekan yang berbeda.
Berangkat dari tujuan dan paparan data di atas,
perlunya kita merumuskan konsep untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Artinya
bukan kita membuat konsep baru atau memilih dari tiga konsep dasar pendidikan
Islam, tapi kita menyusun konsep tersebut sehingga menjadi satu pijakan dalam
melaksanakan proses pendidikan. Dengan demikian kita perlu memahami ketiga
konsep dasar pendidikan Islam agar kita bisa menentukan arah/alur proses
pendidikan untuk menghantarkan manusia kepada hakikat manusia yaitu mengemban
amanah dan mewujudkan suatu tatanan masyarakat dan kehidupan yang di ridhoi
Alloh SWT.
Ketiga konsep dasar mempunyai peran
masing-masing dalam proses pendidikan Islam.[35]
a.
Tarbiyyah
Kata “at-tarbiyah” adalah bentuk masdar
yang berasal dari fi’il Madhi (bentuk lampau) rabba, dan
mempunyai pengertian yang sama dengan kata dasar rabba, dan dari segi
kandunganya sama artinya dengan kata rabb yang merupakan nama Tuhan.[36]
Para
ahli memberikan definisi at-tarbiyah bila diidentikan dengan ar-rabba
sebagai berikut
1).
Menurut
Al-Qurtubi, bahwa arti ar-rabb adalah pemilik, tuan, yang maha
memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha pengubah, dan yang maha menunaikan.[37]
2).
Al-jauhari
memberi arti at-tarbiyah, rabbah, dan rabba, dengan memberi
makan, memelihara, dan mengasuh.[38]
3).
Kata dasar ar-rabb,yang
mempunyai pengertian yang luas antara lain: memiliki, menguasai, mengatur,
memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan, dan berarti pula
mendidik.[39]
b.
Ta’lim
Ta’lim berasal dari kata ‘allama artinya proses
pengajaran dengan menggunakan seluruh indra yang dimiliki manusia selanjutnya
direkam oleh akal (nalar). Proses Alloh mengajarkan Adam menggunakan ‘allama
(QS. 2:31).[40]
Menrut Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan at-ta’lim sebagai proses
pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman
amanah, sehingga penyucian atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran
dan menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan
untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat
baginya dan yang tidak diketahuinya.[41]
Ta’lim mencakup
aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam
hidupnya serta pedoman prilaku yang baik, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Yunnus ayat:5.[42]
c.
Ta’dib
Ta’dib adalah berasal dari kata benda dan
mempunyai kata kerja adaba yang berarti mendidik.[43]
Bentuk kata ini belum tertuju dan memerlukan tujuan (objek) yang dalam
pendidikan objek tersebut ialah manusia. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata
adab diartikan sebagai sopan santun, budi pekerti dan tatak rama.[44]
Namun peradaban diartikan sebagai hasil seluruh budi daya manusia, baik secara
personal maupun komunal (kelompok). Jadi ta’dib
titik tekanya adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar
menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik.[45]
Dari
penjelasan diatas Pada hakekatnya konsep pendidikan islam adalah konsep yang
sangat ideal, karena digali sumber dasar Islam. hal ini dapat dilihat secara
konseptual dari berbagai pendapat intelektual muslim, seperti A. Malik Fadjar
menyebutkan, “konsep pendidikan islam adalah pendidikan yang berwawasan
semesta, berwawasan kehidupan multi dimensional, yang meliputi wawasan tentang
Tuhan, manusia, dan alam secara integrative”. Begitu juga M. Rusli Karim,
menambahkan bahwa “konsep pendidikan Islam tidak hanya didasarkan kemaslahatan
umum (humanism universal), melainkan bermuara pada pembentukan manusia yang
mencakup dimensi imanensi (horosontal) dan dimensi transendensi (vertikal).
Dengan tanpa orientasi semacam itu apapun bentuk kegiatan, termasuk kegiatan
pendidikan tidak akan mempunyai nilai disisiNya.[46]
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan
atas dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup
bagi seluruh umat Islam.
Melalui pendidikan inilah, kita dapat memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-sunnah. Sehubungan dengan
hal tersebut, tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kita terhadap
ajaran Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam yang kita
terima.[47]
Zuhairini dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam
mengemukakan bahwa “Pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada
pembentukan kepribadian anak sesuai dengan ajaran Islam atau sesuatu upaya
dengan ajaran Islam, memikir, merumuskan dan berbuat berdasarkan nilai- nilai
Islam, serta bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam”.[48]
Zakiah
Drajat berpendapat (1987:87) pendidikan islam adalah suatu usaha untuk membina
dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran islam secara
menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta
menjadikan islam sebagai pandangan hidup[49]
pendidikan islam sebagai proses interaksi sosial yang melibatkan berbagai faktor
(pendidikan) dalam upaya membentuk perubahan yang diinginkan pada hakikatnya
dapat dianggap sebagai inti dari dakwah islam itu sendiri. Al-qur’an diturunkan
kepada manusia membawa pesan-pesan tentang hakikat asal, tujuan, cara dan
pedoman-pedoman lain mengenai kehidupan dan keberadaan segala sesuatu. Karena
begitu luasnya ilmu Allah SWT, (QS: 18:109), maka proses pendidikan memerlukan
klasifikasi sedemikian rupa agar lebih efektif. Klasifikasi tersebut adalah pertama
pengetahuan yang bersumber dan berdasarkan pada wahyu ilahi yang diturunkan
dalam bentuk al-qur’an dan as-sunnah yang meliputi aqidah (tauhid), syariah
(hukum islam), dan akhlak (etika). Kedua pengetahuan yang diperoleh
yaitu ilmu-ilmu sosial, alam dan terapan.[50]
Pendidikan sebagai pematangan fitrah tentu tersirat didalamnya akan
peranan-peranan nilai-nilai agama beserta misi kemanusiaan.[51]
Dari
beberapa pengertian pendidikan Islam diatas, dapat penulis simpulkan bahwa
pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya (shohih
li nafsihi) dan orang lain (sholih li ghoirihi). Serta membentuk kepribadian
seseorang menjadi insan ulul kamil, artinya manusia yang utuh rohani dan
jasmani, dapat hidup berkembang secara wajar dan normal.
Jadi,
dapat diutarakan bahwa konsepsi pendidikan model Islam, paradigma pendidikan
Islam tidak hanya pada sebagai upaya pencerdasan semata, tetapi juga
penghambaan diri kepada Tuhannya.
Sedangkan
Pendidikan Islam Liberal adalah sebuah proses untuk membentuk pribadi siswa
yang merdeka, kritis, dan iman secara sosial. Dalam pandangan ini pendidikan
islam seharusnya memberi ruang seluas-luasnya bagi siswa untuk berkreasi guna
untuk menemukan pengetahuan, gagasan dan ilmu yang baru untuk menjadi manusia
yang kosmopolit dan mempunyai kesadaran pluralitas.
Pendidikan
sebagai proses alih nilai, secara makro mempunyai tiga sasaran. Pertama,
bahwa tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan
antara kemampuan kognitif dan psikomotor di satu pihak serta kemampuan afektif
dipihak lain. dalam konteks ke Indonesiaan hal ini dapat diartikan bahwa
pendidikan menghasilkan manusia yang berkpribadian, tetap menjunjung tinggi
budaya yang luhur, serta mempunyai wawasan, serta sikap kebangsaan, dan menjaga
dan memupuk jati dirinya. Kedua dalam sistem ini nilai yang dialihkan
termasuk nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak yang mulia yang senantiasa
menjaga harmonisasihubungan dengan Tuhan, dengan sesame manusia dan dengan alam
sekitar.ketiga dalam alih ini juga dapat ditransformasikan tata nilai yang
mendukung proses industrialisasi dan penerapan teknnologi, seperti, disiplin,
etos kerja, kemandirian dan sebagainya.
Tujuan
yang akan diperoleh adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak
mulia, maju, dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta
mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.[52]
Dalam
penelitian ini peneliti akan mencari konsep islam liberal menurut Abdurrahman
Wahid dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam dengan menggunakan analisis conteks
atau isi kurikulum pendidikan islam.
Keberhasilan
suatu program pendidikan Islam sangat bergantung kepada perencanaan program
kurikulum pendidikan itu sendiri, sebab kurikulum merupakan seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan ssebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu.
Sebagaimana
diterapkan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 bab X, pasal 36 ayat 2
menetapkan sebagai berikut: “pengembangan kurikulum dengan mengacu setandar
nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik”.
Pengembangan
kurikulum yang diterapkan diatas, adalah dalam rangka membekali peserta didik
dengan berbagai kemampuan yang sesuai dengan tuntunan zaman atau kurikulum
harus lebih diorientasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan masa
yang akan datang.[53]
2.
Islam Liberal
Wacana
islam Indonesia menghentak republic ini dengan menawarkan wacana baru yang
sangat kontradiktif dengan wacana islam mainstream yang cenderung
revivalis, monolit, formalis-syariah sehingga mengarah intoleran karena tidak
adanya kompromi. Wacana islam baru tersebut adalah Islam liberal. Sebuah
istilah yang diadopsi dari ketegarisasi pengamat dan penulis asing, Leonard
Binder dan Charles Kurzman.[54]
Pada
dasarnya Islam Liberal, datang sebagai warna yang menawarkan keislaman yang
relevan dengan kondisi riel masyarakat Islam, bukan kontradiktif dengan
realitas masyarakat tanah air, serta toleran Islam buat semua umat beragama,
inklusif dan terbuka.[55] Mengapa tawaran seperti ini kita sebut?
Karena jika tawaran islam yang muncul adalah islam dengan “wajah sangar” maka
islam hanya identik dengan horror dan wajah rahmatan lil alaminya tersembunyi
karena umatnya, dan kita tentu senag dan bangga apabila islam mampu hadir dalam
wajahnya yang santun, damai, ramah, dan sosial.
Upaya
ini merupakan indikasi yang jelas dari keislaman yang demokratis, karena
demokratis merupakan sistem kemasyarakatan dan kenegaraan yang paling baik dari
pada sistem kenegaraan yang lain, seperti totaliter, kerajan/monarkhi atau
fasis. Dan dengan demokrasi masyarakat akan hidup dengan berdampingan,
menghargai perbedaan, bukan hanya pendapat, tetapi yang lebih penting adalah
perbedaan agama, suku ras dan golongan.[56]
Menurut Charles Kurzman dalam bukunya Wacana
Islam Liberal, memulai pengamatannya dengan membantah istilah “Islam Liberal”,
yang merupakan judul bukunya sendiri. Menurut Kurzman, ungkapan “Islam liberal”
(liberal Islam) mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan
(a contradictio in terms).[57]
Mungkin ia bingung dengan istilahnya sendiri. Meski ia menjawab di akhir
tulisannya bahwa istilah Islam Liberal itu tidak kontradiktif, tapi
ketidakjelasan uraiannya masih tampak di sana-sini.
Islam
itu sendiri, secara lughawi (menurut bahasa), bermakna “pasrah”, tunduk kepada
Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi, di samping Islam tunduk kepada Allah
SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dan belenggu peribadahan kepada
manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan, Islam itu “bebas” dan “tidak
bebas”.[58]
Kurzman
juga tidak menjelaskan secara rinci apa yang dia maksud dengan “Islam Liberal”.
Untuk menghindari definisi itu, ia mengutip sarjana hukum India, Ali Asghar
Fyzee (1899-1981) yang menulis, “Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur,
tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu Islam
Liberal.”[59]
Bahkan, Fyzee menggunakan istilah lain untuk Islam Liberal yaitu “Islam
Protestan”. Sebagaimana diungkap oleh salah satu pengajar Universitas
Paramadina Mulya, Luthfi Assyaukanie, “Dengan istilah ini (“Islam Protestan”
atau “Islam Liberal”), Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan
wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang nonortodoks; Islam yang kompatibel
terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan
masa silam.”[60]
dan Islam liberal diistilahkan oleh Abdullah Saeed menjadi “Islam Progresif”
yang merupakan salah satu dari sekian banyak aliran pemikiran islam kontemporer
yang berupaya untuk Incorporate the Contexts and the Neds of Modern Muslim,
sedangkan menurut Alparssalan Acikgenc, Dekan Fakultas Seni dan Ilmu-Ilmu
Sosial Fatih University Turki, menyatakan Islam Progresif adalah Islam yang
menawarkan keseimbangan antara Mysterius and Rational Aspects of Human
Nature.[61]
Dari penjelasan diatas dapat diartikan bahwa Islam liberal sebagai islam yang
terbuka terhadap wacana modern dan menggunakan pendekatan historis kritis
terhadap wacana keagamaan kontemporer yang berkembang saat ini. islam yang
mengusung gagasan yang maju dan kosmopolit.
Liberal
menurut bahasa adalah murah hati, dermawan, bebas berkenaan dengan kebebasan
bagi individu dalam berpendapat dan berargumentasi.[62]
Elemen-elemen
terkait tentang liberalism antara lain adalah sekularisme, modernitas,
demokrasi, pluralisme, dan HAM.[63]Greg
Barton menjelaskan beberapa prinsip gagasan islam liberal: 1) pentingnya
kontektualisasi ijtihad, 2) komitmen dengan rasionalis dan pembaharuan, 3)
penerimaan terhadap pluralism sosial, 4) pemisahan agama dari politik dan
adanya posisi non sectarian agama. menurut Barton, ada empat tokoh islam
liberal di Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid, Nur Kholis Majid, Ahmad Wahib
dan Djohan Efendi,[64]tokoh-tokoh
islam liberal di Indonesia kemudian kemudian menjadikan sekuleralisasi sebagai
program penting gerakan liberalisasi Islam. perjuangan kelompok islam liberal
di Indonesia secara jelas ingin membentuk negara sekuler (demokrasi
konstitusional).[65]
Dan
komunitas Islam Liberal bisa dibilang menjadi genre dalam peta baru
pemikiran Islam Indinesia kontemporer, ditengah mandeknya gerak pemikiran islam
dari kalangan “generasi tua”. Menurut Zuly Qodir pemikiran Islam Liberal di
Indinesia kontemporer yaitu Budi Munawar-Rahman, Ulil Abshar Abdulla, Luthfi
Efendy, Sukidi, Deny, Rijal Malaranggeng, JA, Ikhsan Ali Fauzi, Taufik Adnan
Amal, Nasaruddin Umar, dan Zuhairi Mizrawi mereka semua merupakan nama-nama
yang lekat dengan kajian Islam Liberal di Indonesia.[66]
Setelah
dikemukakan sebelumnya tentang siapa Islam Liberal di Indonesia yang sepak
terjangnya dikemas secara modern, nampaknya islam liberal ingin membawa umat
islam kepada perubahan pemahaman, metode dan aksi Islam di Indonesia.
KESIMPULAN
Kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam bukan tema baru, terus menjadi
isu sentral bagi dinamisasi agama dalam peran masyarakat. Dan pada dasarnya
pemikiran agama akan selalu berkembang menyertai dinamika kehidupan masyarakat
penganut agama, seperti halnya pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam
Liberal, yang dulu wacana Islam Liberal Indonesia
pernah menghentakan republic ini dengan menawarkan wacana baru yang sangat
kontradiktif dengan wacana islam mainstream yang cenderung revivalis,
monolit, formalis-syariah sehingga mengarah intoleran karena tidak adanya
kompromi.
Tetapi menurut Abdurrahman Wahid justu Islam Liberal menawarkan
keislaman yang relevan dengan kondisi riel masyarakat Islam, bukan kontradiktif
dengan realitas masyarakat tanah air, serta toleran Islam buat semua umat
beragama, inklusif dan terbuka.
pendekatan metodologis yang dipakai oleh Abdurrahman Wahid
yaitu.
1.
Pendekatan Antropologi cultural
Antropologi cultural (cultural Antropology) merupakan
anthropology yang mempelajari kebudayaan. Dan dari anthropology cultural berkembang
konsep (cultural Integration) yaitu gejala saling menyesuaikan antara
unsure-unsur kebudayaan.
2.
Pendekatan Historis-Nomatif
Yaitu berkenaan dng sejarah; bertalian atau ada hubungannya dng
masa lampau dan berpegang teguh pd norma atau kaidah yg berlaku. Atau bisa
dirinci bahwa pendekatan normative melibatkan komitmen keagamaan, yang
bertujuan mencari kebenaran agama dan tak jarang mengfalsifikasi agama lain dan
mengajak pemeluknya pindah ke agama si peneliiti. Sedangkan pendekatan
deskriptif yaitu berusaha memahami agama-agama tanpa melibatkan komitmen
peneliti terhadap kebenaran agama. hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
Abdurrahman Wahid, bahwa umat islam seharusnya menjadikan fakta-fakta historis
menjadikan ukuran sikap-sikap mereka.
Selain Abdurrahman Wahid ada juga para ilmuan yang menggagas Islam
Liberal, tetapi menggunakan istilah yang berbeda yaitu seperti Abdullah saed, Alparssalan
Acikgenc.
Menurut Abdullah Saeed
menjadi “Islam Progresif” yang merupakan salah satu dari sekian banyak aliran
pemikiran islam kontemporer yang berupaya untuk Incorporate the Contexts and
the Neds of Modern Muslim, sedangkan menurut Alparssalan Acikgenc, Dekan
Fakultas Seni dan Ilmu-Ilmu Sosial Fatih University Turki, menyatakan Islam
Progresif adalah Islam yang menawarkan keseimbangan antara Mysterius and
Rational Aspects of Human Nature.
Menurut Zuly Qodir pemikiran Islam Liberal di Indinesia kontemporer
yaitu Budi Munawar-Rahman, Ulil Abshar Abdulla, Luthfi Efendy, Sukidi, Deny,
Rijal Malaranggeng, JA, Ikhsan Ali Fauzi, Taufik Adnan Amal, Nasaruddin Umar,
dan Zuhairi Mizrawi mereka semua merupakan nama-nama yang lekat dengan kajian
Islam Liberal di Indonesia.
Dari kesimpulan tentang Islam Liberal diatas maka itu sejalan
dengan tujuan pendidikan membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak
mulia, maju, toleran Islam buat semua umat beragama, inklusif dan terbuka dan
mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu
beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat. Tidak dipungkiri bahwa Keberhasilan
suatu program pendidikan Islam sangat bergantung kepada perencanaan program
kurikulum pendidikan itu sendiri, sebab kurikulum merupakan seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan ssebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abu ahmadi dan nur uhbiyati,1997.
Ilmu Pendidikan, Jakarta:rineka cipta,
Al- munawar Said agil khusaini, 2005. Aktualisasi Nilai-Nilai
Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta:ciputat pres,
Afandi Arief, 1997. Islam Demokrasi Atas Bawah, Polemik Strategi
Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amin Rais, Yogyakarta,Pustaka Pelajar,
Arif Khilmi, Humanisasi Pendidikan dalam Perspektif Islam,
Azizy A. Qudri, 2003. Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran
Islam, (Persiapan SDM Terciptanya Masyarakat Madani), Yogyakarta,Pustaka
Pelajar,
Bakar Usman Abu, 2013. Paradigma dan Epistemologi Pendidikan
Islam, Media,
Bakar Usman Abu dan Surohim, 2005. Fungsi Ganda Pendidikan Islam
(Respon Kreatif Undang Undang Sisdiknas), Yogyakarta, Safiria Insania
Press,
Daradjat Zakiah, 2006.
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: bumi aksara,
Dewantara Ki Hajar, 2009. Menuju Manusia Merdeka,
Yogyakarta:Leutika,
Greg barton, 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Antara,
Husaini Adian, 2001. Islam Liberal; Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan dan Jawaban Jakarta, Gema Insani,
Hanafi Hasan. dkk, 2007. Islam dan Humanisme (Aktualisasi
Humanisme Islam di Krisis Humanisme Universal), pustaka Pelajar,
Hasan M. Iqbal, 2002. Pokok – pokok Materi Metodologi Penelitian
dan Aplikasinya, Jakarta:Galia Indonesia,
Ibrahim Anis. dkk, 1972. Al-Mu’jam
Al-Wasit,Jakarta: Angkasa,
Jursyi Shalahuddin, 2000. Memahami Islam Progresif ,
Jakarka, Paramadina,
Kartono Kartini, 1980. Pengantar Metodologi Research
Social, alumni, Bandung:
Kuntowijoyo, 2008. Paradigma Islam, Interprestasi Untuk Aksi,
Bandung, Mizan,
Komarudin hidayat, Islam Liberal dan Masa Depanya,
republika, selasa, 17 juli 2001,
Khusaini Adian dkk,2004. Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi
di Dunia Islam, Jakarta: khirul bayan,
Koentjaraningrat, 1981. Metode- metode Penelitian Masyarakat,
Gramedia, Jakarta:
Kurszman Charles, 2003. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam
Kontemporer tentang Isu-Isu Global Jakarta, Paramadina,
Lihat Pengantar Redaksi dalam buku Greg Barton, 2002. Biografi
Gus Dur, penerjemah, Lie Hua, Yogyakarta, LkiS,
Lihat pengantar Redaksi dalam buku Abdurrahman Wahid, 2010. Tuhan
Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta, LKiS,
Linton Ralph, ,1984. Antropology: Suatu Penyelidikan Tentang
Manusia, Bandung, Jemmasr
Mulkhan Abdul Munir, 1993. Paradigma Intelektual Muslim,
Pengantar Filsafat dan Dakwah, Yogyakarta: Qirtas,
Mu’amar M. Arfan, Hasan Abdul Wahid,dkk. 2012. Studi Islam
(Perspektif Insider/Insider), Yogyakarta, IRCiSoD,
Mulkhan Munir, http:www.PendidikanNetwork.co.id, diakses pada 06
Mei 20015
Millah, 2003. Jurnal Studi Islam, (Yogyakarta, Vol.III, No.
1, MSI UII,
Nasir M. Ridlwan, 2010. Mencari Tipologi, Format Pendidikan
Ideal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
Naquib al-Atas Sayed Muhammad An, 1988. Konsep Pendidikan dalam
Islam, Bandung, Mizan,
Nata Abudin, 1997. Filsafat, Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu,
Qodir Zuly, 2001. Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana dan Aksi
Islam Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
Rosyadi Khoiron, 2004. Pendidikan Profetik, pustaka pelajar,
Sanaky Hujair AH, 2015. Pembaharuan Pendidikan Islam,
(Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia),
Yogyakarta.Kaukaba Dipantara,
Syafi’i Ma’arif Ahmad, 2006. Menembus Batas Tradisi menuju Masa
Depan yang Membebaskan: Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid, Jakarta,
Buku Kompas,
Setiawan Nur Kholis, 2008. Akar-Akar Pemikiran Progresif dalam
Kajian Al-Qur’an, Yogyakarta: Elsaq,
Undang-Undang No.20 Tahun 2003, 2005. Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS) dan Penjelasanya, Yogyakarta: Media Wacana,
Wahid Abdurrahman, 2007. Islam Kosmopolitan, Jakarta Wahid
Institute,
, 2000. Kiai Nyentrik Membela
Pemerintah, Yogyakarta,LKiS,
Warid khan Ahmad, 2002. Membebaskan
Pendidikan Islam Yogyakarta:wacana,
Yandianto, Kamus Umum Bahas
Indonesia , (M2S Bandung),
Zuhairini, 1995. Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta:Bumi Aksara,
Zuly Qodir, 2010. Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam
di Indonesia,1991-2002, Yogyakarta,PT LKiS Printing Cemerlang,
Zuhairi misrawi, Menuju Post Tradisionalisme islam,Republika,
selasa 3 juli 2001,
http://asparaswin.blogspot.com/2012/10/pengertian-dan-definisi-liberalisme.html, diakses pada 9 Mei
2015
http://edukasi.kompasiana.com/2013/07/04/konsep-pendidikan-islam-570799.html, diakses pada 9 Mei 2015
[1]Abdul
Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, Pengantar Filsafat dan Dakwah,
(Yogyakarta: Qirtas, 1993), hlm.237
[2]Hasan
Hanafi. dkk, Islam dan Humanisme (Aktualisasi Humanisme Islam di
Krisis Humanisme Universal), (pustaka Pelajar, 2007).hlm.209
[3]Hasan
Hanafi. Dkk, Islam dan Humanisme……hlm.211
[4]Undang-Undang
No.20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dan
Penjelasanya, (Yogyakarta: Media Wacana, 2005), hlm.8
[5]Khilmi
Arif, Humanisasi Pendidikan dalam Perspektif Islam, Telaah atas
Pemikiran Abudul Munir Mulkhan, http:www.PendidikanNetwork.co.id, diakses pada
06 Mei 20015
[6]Ki
Hajar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka, (Yogyakarta:Leutika, 2009),
hlm.10
[7]Usman
Abu Bakar, Paradigma dan Epistemologi Pendidikan Islam, Media,2013,
hlm.86
[8]Hujair
AH. Sanaky,Pembaharuan Pendidikan Islam, (Paradigma, Tipologi, dan Pemetaan
Menuju Masyarakat Madani Indonesia), (Yogyakarta.Kaukaba Dipantara,
2015).hlm.7
[9]Shalahuddin
Jursyi, Memahami Islam Progresif , (Jakarka, Paramadina, 2000), hlm.xiii
[10]Zuly
Qodir, Islam Liberal: Varian-Varian Liberalisme Islam di
Indonesia,1991-2002, (Yogyakarta,PT LKiS Printing Cemerlang, 2010),hlm.8
[11]A.
Qudri Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, (Persiapan
SDM Terciptanya Masyarakat Madani), (Yogyakarta,Pustaka
Pelajar,2003).hlm.42
[12]Zuly
Qodir,Islam Liberal…. hlm.13
[13]Komarudin
hidayat, Islam Liberal dan Masa Depanya, republika, selasa, 17 juli
2001, hlm.4
[14]Zuhairi
misrawi, Menuju Post Tradisionalisme islam,Republika, selasa 3 juli
2001, hlm.4
[15]Zuhairi
misrawi,………. hlm.4
[16]http://asparaswin.blogspot.com/2012/10/pengertian-dan-definisi-liberalisme.html, diakses pada 9 Mei
2015
[17]Abdurrahman
Wahid, Islam Kosmopolitan, (Jakarta Wahid Institute, 2007), hlm.3
[18]Lihat
Pengantar Redaksi dalam buku Greg Barton, Biografi Gus Dur, penerjemah,
Lie Hua, (Yogyakarta, LkiS, 2002), hlm.0
[19]Lihat
pengantar Redaksi dalam buku Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta,
LKiS, 2010), hlm.v
[20]Abdurrahman
Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, (Yogyakarta,LKiS,2000), hlm.x
[21]Arief
Afandi, Islam Demokrasi Atas Bawah, Polemik Strategi Perjuangan Umat Model
Gus Dur dan Amin Rais, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar,1997), hlm.24
[22]Lihat
pengantar Bisri Efendy dalam buku Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu
Dibela,…….hlm.xxxi
[23]Kuntowijoyo,
Paradigma Islam, Interprestasi Untuk Aksi, (Bandung, Mizan,2008),hlm.385
[24]Greg
barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antara,
1999), hlm.326
[25]Greg
barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia,…… hlm.328
[26]Ralph
Linton, Antropology: Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (Bandung,
Jemmasr,1984),hlm.266
[27]Millah,
Jurnal Studi Islam, (Yogyakarta, Vol.III, No. 1, MSI UII,2003), hlm.53
[28]Kartini
Kartono, Pengantar Metodologi Research Social, alumni, Bandung: 1980,
hlm. 28
[29]M.
Iqbal Hasan, Pokok – pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,
Jakarta:Galia Indonesia, 2002, hlm.11
[30]Koentjaraningrat,
Metode- metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta:1981,hlm.
29
[31]Kartini
Kartono………… hlm.29
[32]Kartini
kartono…………… hlm. 28
[33]Khoiron
Rosyadi, Pendidikan Profetik, pustaka pelajar, 2004, hlm.14
[34]M.
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi, Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar,2010), hlm.34
[35]http://edukasi.kompasiana.com/2013/07/04/konsep-pendidikan-islam-570799.html, diakses pada 9 Mei 2015
[36]M.
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi,...….. hlm.40
[37]M.
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi, ……..hlm.41
[38]Sayed
Muhammad An Naquib al-Atas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung,
Mizan, 1988), hlm.66
[39]Ibrahim
Anis. dkk, Al-Mu’jam Al-Wasit,(Jakarta: Angkasa, 1972), hlm.321
[40]Firman
Allah SWT dalam surat al-baqarah:31
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ
Dan Dia
mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!"
[42]
Firman Allah SWT dalam surat Yunus ayat:5
uqèd Ï%©!$# @yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4
$tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇÎÈ
Dia-lah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian
itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
[43]M.
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi,……… hlm.51
[44]Yandianto,
Kamus Umum Bahas Indonesia , (M2S Bandung), hlm.3
[45]M.
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi…. hlm.53
[46]Usman
Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Pendidikan Islam (Respon Kreatif Undang
Undang Sisdiknas), (Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2005), hlm. 125
[48]Zuhairini,
Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara,1995), hlm.152
[49]Zakiah
daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: bumi aksara,2006), hlm.28
[50]Abu
ahmadi dan nur uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta:rineka
cipta,1997),hlm.1
[51]Ahmad
warid khan, Membebaskan Pendidikan Islam( Yogyakarta:wacana, 2002),
hlm.56
[52]Said
agil khusaini al- munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem
Pendidikan Islam, (Jakarta:ciputat pres,2005), hlm.14-15
[53]Usman
Abu Bakar dan Surohim, …… hlm. 149
[54]Zuly
Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia,
(Yogyakarta,Pustaka Pelajar,2001), hlm.147
[55] Zuly
Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana……hlm.145
[56]Zuly
Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana……hlm.149
[57]Charles
Kurszman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu
Global (Jakarta, Paramadina, 2003), hlm. xi
[58]Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Menembus Batas Tradisi menuju Masa Depan yang Membebaskan:
Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid, (Jakarta, Buku Kompas, 2006),
hlm. 6-7
[59]Adian
Husaini, Islam Liberal; Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawaban
(Jakarta, Gema Insani, 2001), hlm. 2
[60]Charles
Kurszman, Wacana Islam Liberal………., hlm. 13
[61]M.
Arfan Mu’amar, Abdul Wahid Hasan,dkk. Studi Islam (Perspektif
Insider/Insider), (Yogyakarta, IRCiSoD,2012), hlm.353
[62]Pius
A Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, 1994), hlm.409
[63]Nur
Kholis Setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Elsaq,2008), hlm.21
[64]Greg
barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, ………hlm.68
[65]Adian
khusaini dkk, Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam,
(Jakarta: khirul bayan,2004), hlm. 69
[66]Zuly
Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana……hlm.151
Comments
Post a Comment