ISLAM LIBERAL DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA (Studi Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid)
A.
Pendahuluan
Sesuai dengan wataknya, masyarakat adalah sosok yang selalau
berubah dan berkembang. Ia tidak statis, namun dinamis.[1]
Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak / benar dan
tidak berubah-ubah, ini mempunyai pengaruh terhadap sikap mental dan tingkah
laku pemeluknya. Oleh karena itu umat beragama tidak mudah menerima perubahan
dan cenderung untuk mempertahankan tradisi yang berlaku. Begitu juga Agama
islam yang tidak luput dari anggapan serupa ini, ajaran-ajaran agama islam
tercantum dalam Al-Qur’an tidak hanya terbatas pada soal pengabdian kepada
Tuhan pencipta alam semesta, tetapi mencakup soal-soal hidup kemasyarakatan
umat, perkawinan, perceraian, perdagangan, peseroan, pengadilan dan sebagainya.[2]
Seiring dengan proses perubahan ini, akhirnya tercetuslah sebuah
ide membentuk Masyarakat Madani dalam perspektif ke-Indonesia-an. Ide ini
menjadi isu sentral negara bangsa kontemporer yang didukung oleh para elit
politik Indonesia.[3]
Wacana civil society kembali marak diperbincangkan di Indonesia ketika terjadi
perubahan kondisi sosial politik yang disponsori oleh gerakan besar Reformasi.
mengenai masyarakat madani sebenarnya baru populer di Indonesia
sekitar awal tahun 1990-an. Kemunculan wacana masyarakat madani dalam banyak
hal terkait erat dengan fenomena tentang kondisi sosial politik global dan
meluasnya proses demokratisasi di seluruh dunia pada sekitar 1980- an, serta
dinamika internal politik Indonesia.[4]
Fenomena itu berawal dari bangkitnya nasionalisme di Eropa timur dan Eropa
Tengah yang menandai tumbangnya rezim-rezim totalitarian yang kemudian disusul
oleh arus demokratisasi di berbagai kawasan, mulai Amerika Latin, tengah dan
sejumlah negara-negara di Afrika dan Asia.[5]
Dalam konteks
Islam, Kajian pemikiran dalam Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk membuka
kerangka berfikir dalam memperoleh khazanah ilmu pengetahuan baru yang pada
titik endingnya kemudian mendapatkan kearifan, baik secara pemikiran maupun
tindakan. Dalam peraturan pemikiran Islam selama ini, disatu sisi dinilai bahwa
hal demikan adalah suatu keharusan, dengan harapan membangkitkan semangat dalam
memahami pesan moral Ilahi yang secara aksiologis bermanfaat untuk kehidupan
manusia. Dari kebodohan menuju berpengetahuan dan berkeadaban. Namun disisi
lain, justru pemikiran yang tidak terkontrol, akan memiliki dampak negatif
terhadap gaya berfikir seseorang, sehingga antara satu dengan yang lainnya
saling klaim kebenaran dan menjatuhkan.
Sebagai sebuah
contoh, berkembangnya pemikiran islam liberal ditengah-tengah kehidupan
bermasyarakat dalam keberagama’an merupakan suatu indikasi tentang hidupnya
pemikiran dalam Islam. Disatu sisi dinilai hal tersebut baik untuk perkembangan
umat yang taraf berfikirnya sudah terkontrol, namun menjadi tidak baik apabila
hal tersebut menghilangkan esensi atau nilai social yang berujung pangkal pada
saling mengkafirkan antara satu dengan yang lain.
Bertolak dari
pemahaman tersebut, yang menjadi titik tekan sebenarnya adalah bagaimana Islam
sebagai agama yang bersifat dinamis, mampu memposisikan Islam sebagai motivasi
pemikiran, tindakan serta control terhadap pelbagai fenomena social yang
menggejala. Islam liberal
merupakan perangkat penting dalam menggerakkan pemikiran keislaman kontemporer.
Islam liberal telah mempertegas kebutuhan primer untuk merambah jalan baru
islam yang damai, elegan, dan membangun. Islam liberal konsisten terhadap
rasionalitas dan pembaharuan. Konsep Islam liberal secara esensial menjanjikan
banyak hal, terutama gagasan liberalisasi dan pembaharuan.[6]
Dengan munculnya ilmu pengetahuan, para ilmuan merasa kurang
leluasa dengan kebenaran yang disodorkan oleh agama sehingga terjadi semacam
“pemberontakan” dan pemisahan antara ilmu pengetahuan dengan Agama, dan pada
giliranya memunculkan apa yang disebut sekularisme dan humanisme didunia barat.
dengan kata lain pemikiran liberal lahir dari sebuah pemberontakan atas nama
kebebasan berfikir. Dalam konteks politik gerakan pemikiran liberal lahir
sebagai protes terhadap kekuasaan raja yang berkolaboasi dengan kekuasaan
agama.[7]
Liberalisme
menekankan hak-hak peribadi serta kesamarataan peluang. Dalam fahaman
liberalisme, pelbagai aliran dengan nama “liberal” mungkin mempunyai dasar dan
pandangan yang berlainan, tetapi secara umumnya aliran-aliran ini bersetuju
dengan prinsip-prinsip berikut termasuk kebebasan berfikir dan kebebasan
bersuara, batasan kepada kuasa kerajaan, kedaulatan undang-undang, hak individu
ke atas harta persendirian, pasaran bebas dan ketelusan sistem pemerintahan.
Mereka yang liberal menyokong sistem kerajaan
demokrasi liberal dengan pengundian yang adil dan terbuka, di mana
semua rakyat mempunyai hak-hak yang sama rata di bawah undang-undang.
Fahaman
liberalisme moden berakar dari Zaman Kesadaran barat dan kini mengandungi
pemikiran politik yang luas dan kaya dari segi sumber. Liberalisme menolak
kebanyakan tanggapan asas dalam hampir semua teori pembentukan kerajaan awal
seperti hak-hak raja yang diberikan oleh tuhan, status yang berasaskan
keturunan dan institusi-institusi agama. Liberal beranggapan sistem
ekonomi pasaran bebas lebih cekap dan menjana lebih banyak kemakmuran.[8]
Di sini, pemikiran liberal ingin melepaskan diri dari kesultanan
yang berkolaborasi dengan symbol-simbol keagamaan. Paham keagamaan yang dominan
legalistic, yang kurang memberi ruang gerak bagi pemikiran yang bercorak
eksploratif. Dengan kata lain, pemikiran liberal lebih menekankan pada
substansi kemanusiaan dan universal Islam yang menempatkan diri dalam berbagai
manifestasi ajaran-ajaranya.
Rangkaian ajaran-ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti
hukum agama (Fiqh), keimanan (Tauhid), serta etika (Akhlaq),
seringkali disempitkan oleh masyarakat sehingga menjadi kesusilaan belaka dan
dalam sikap hidup. Padahal unsure-unsur itulah yang sesungguhnya menampilkan
kepedulian yang sangat besar kepada unsure-unsur utama dari kemanusian, yang
nantinya akan bergesekan dengan warisan pemikiran ortodok yang sangat teguh
dalam symbol-simbol Agama. tidak ada gerakan liberalisme islam yang lahir
begitu saja, melainkan merupakan respon terhadap tuntutan dan perkembangan
zaman.[9]
Gerakan liberalisasi tetap menyadari mutlaknya keperluan kepada
tempat atau wadah, tetapi ia menentang wadah yang disakralkan. Abdurrahman
Wahid, tokoh yang mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata yang singkat,
singkat dan nyeleneh karena itu cenderung sulit dipahami. Dalam sudut
tafsir atas dua kata itu, tergantung siapa yang mellihat dan memahami. Bahkan
dalam masa kepresidenanya sempat muncul anekdot tentang tiga misteri Tuhan.
Bahwa ada tiga misteri Tuhan yang tidak dapat dipahami atau diketahui manusia
sebelum hal itu terjadi: jodoh, kematian dan Gus Dur.[10]
Beliau tokoh asli Indonesia (pribumi) yang konsen dengan gagasan
liberalisasi dan pembaharuanya. Dan untuk memahami seorang Abdurrahman Wahid
atu yang sering kita sebut dengan nama Gus Dur tidak cukup hanya dengan melihat
sepak terjang dan mannuvel politiknya yang controversial saat-saat terakhir
ini. akan tetapi perlu jejak-jejaknya dimasa lampau yang sangaat brilian yang
pernah digoreskanya.[11]
yang banyak melahirkan karya dan memberikan kontribusi bagi pembaharuan
pemikiran keislaman Indonesia, dan seperti kita tahu bahwa Gus Dur seorang
kiai, dalam tradisi dunia pesantren orang menjadi kiai karena “ascribed
status” artinya seorang menjadi kiai karena ayahnya kiai, kakeknya kiai,
dan kakeknya lagi kiai, dari pihak ayah ataupun ibu, semuanya kiai. Dan Gus Dur
menjadi kiai juga karena “achieved status”.[12]
Tetapi bagi saya merupakan penilaian persial, kerena Gus Dur pun memanggul
propesi yang dicapai karena prestasi pribadi. dari latar belakang tokoh ini
membuat perhatian penulis untuk melakukan kajian pemikiran yang terkait dengan
islam liberalnya.
Pembaharuan islam yang digagas oleh Abdurrahman Wahid justru
berangkat dari gerakan cultural dalam basis Islam Tradisional. Karena umat
tidak menjadi yatim-piatu yang
ditinggalkan orang tuanya yang mengusahakan strategi structural. Setidaknya ada
lima program cultural, yaitu mengembalikan dan mengembangkan 1). tradisi
rasional 2). Tradisi egalitarian 3) tradisi berbudaya 4). tradisi ilmiah dan
5). Tradisi cosmopolitan.[13]
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid nilai-nilai Islam tradisional
menawarkan solusi potensional untuk mengatasi masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Seperti halnya masalah Agama dan kemungkinan relevansinya dalam
hiluk-piluk kehidupan kontemporer menjadi perhatian terbesar Gus Dur sejak
akhir tahun 1960-an atau awal tahun 1970-an. Sebuah masalah yang kelihatanya
sangat urgen justru karena adanya pengakuan - atau keyakinan – mayoritas kaum
beriman bahwa agama adalah parameter terpenting dari segala hal.[14]Corak
pemikiranya lebih menitik beratkan kepada bagaimana aplikasi esensi ajaran
islam dalam menjawab persoalan sosial yang terjadi di masyarakat secara
konkrit. Islam mampu mentranspormasikan ajaran-ajaranya dalam menjawab realitas
sosial yang selalu dinamis sesuai konteks zamanya.
Bagi Abdurrahman Wahid untuk menjadi muslim yang baik, seorang
muslim kiranya perlu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran
islam secara utuh atau mempelajari islam secara kaffah, menolong mereka
yang membutuhkan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar
ketika menghadapi ujian dan cobaan. Konsekuensinya mewujudkan sistem Islami
atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberikan
predikat sebagai seorang muslim yang taat.
Abdurrahman Wahid menolak akan adanya idiologisasi Islam, baginya
idiologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan islam di Indonesia, yang
dikenal dengan Negerinya kaum muslim moderat. Islam di Indonesia menurut
Abdurrahman Wahid muncul dalam keseharian cultural yang tidak berbaju
idiologis, dan dan dalm konteks budaya di Indonesia pernah mengalami apa yang
dinamakan dualism kebudayaan, yaitu antara budaya keratin dan budaya popular.[15] Dari
hal tersebut timbulah pengaruh islam terhadap kebudayaan tradisional, untuk itu
penulis tertarik untuk mengkaji konsep Islam liberal Abdurrahman Wahid untuk
pengembangan pendidikan Islam kedepan agar lebih maju dan modern.
Abdurrahman wahid adalah tokoh pesantren yang memilik
perhatian yang mendalam terhadap kehidupan umat.dia tumbuh berkembang dalam
pesantren yang berkultrul tradisional serta dekat dengan kehidupan perjalanan
sejarah nasional. Dia belajar dalam bimbingan kyai-kyai karismatik Nahdlatul Ulama
serta para tokoh nasional. Dengan para tokkoh itulah ia sering terllibat
dialog-dialog tingkat tinggi seputar keIslaman, kebangsaan dan kemanusiaan
serta tema-tema penting lainya. Pergaulanya lintas agama dan dunia
internasional menambah bobot pemikiranya untuk kemajuan bangsa dan
Negara.Demikian Abdurrahman Wahid menjadi tokoh yang banyak diteliti pemikiran
dan tindakanya.
B.
Biografi Abdurrahman Wahid
K.H. Abdurrahman Wahid,[16]
lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam (Agustus) 1940. Terdapat
kepercayaan bahwa ia lahir 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk
menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4
Sya‟ban, sama dengan 7 September 1940.
Kehadiran Abdurrahman Wahid dikalangan masyarakat Indonesia saat
ini tidak lain disebabkan oleh kualitas pribadinya yang luar biasa, disamping
faktor lingkungan keluarga yang sangat mendukung. Abdurrahman Wahid, cucu dari
dua serangkai pendiri NU, Kiai Hasjim Asj’ari dan Kiai Bisri Sjansuri. Ayah
Abdurrahman Wahid Kiai Wahid Hasjim, adalah putra Kiai Hasjim Asj’ari, dan
ibunya shalehah, adalah putri Kiai Bisri Sjansuri.
Kemudian pada tahun 1953 sampai 1957, saat masih belajar di
sekkolah menengah Ekonomi pertama (SMEP) ia tinggal di rumah Kiai H. Junaidi,
seorang Kiai muhammadiyah dan anggota majlis tarjih muhammadiyah. Beberapa
tahun kemudian Abdurrahman Wahid “mondok dipesantren Tegalrejo, sebuah
pesantren NU terkemuka dimagelang. Dan pada tahun 1957 ia juga sempat “nyantri”
di pesantren Krapyak, Yogyakarta dan tinggal ditempat Kiai H. Ali Maksum. Pada
tahun 1964 Abdurrahman Wahid meninggalkan tanah air, perggi kekairo, mesir,
untuk belajar ilmu-ilmu agama. dan pada tahun 1971 Abdurrahman Wahid kembali ke
Indonesia, kembali kedunia pesantren dari tahun 1972 sampai 1974 dan sekaligus
dosen di universitas Hasjim Asj’ari, jombang. Tahun 1974-1980 ia menjadi
sekertaris umum pesantren tebu ireng jombang, dan dari situ ia terlibat masalah
pengurusan NU dengan menjabat Katib Awal PB Syuriah NU sejak tahun 1979.[17]
C.
Telaah Pemikiran Abdurrahman Wahid
Dari penjelasan
diatas menurut saya Abdurrahman Wahid adalah Seorang tokoh bangsa yang
berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan
hidup di nusantara. Selama hidup, GusDur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu
terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya.
Abdurrahman
Wahid dikenal sebagai intelektual public, sebab di samping ia sering tampil
dikalangan para intelektual Gus Dur juga menulis banyak esai di mass-media
Jakarta, khususnya majalah mingguan Tempo. Dan Pemikiran Abdurrahman Wahid terkenal dengan
rasionalitas dan berpendirian dalam usaha-usaha membawa islam mampu menghadapi
tantangan-tantangan modernitas, dan dalam pemikiranya Abdurrahman Wahid
berpendapat bahwa Islam Liberal, menyangkut adanya ajaran-ajaran islam yang
toleransi dan keharmonisan masyarakat.
Dari
pemikiranya dapat disimpulkan bahwa pendekatan metodologis yang dibawa oleh
Abdurrahman Wahid yaitu.
1.
Pendekatan Antropologi cultural
Antropologi
cultural (cultural Antropology) merupakan anthropology yang mempelajari
kebudayaan. Dan dari anthropology cultural berkembang konsep (cultural
Integration) yaitu gejala saling menyesuaikan antara unsure-unsur
kebudayaan.[18]
2.
Pendekatan Historis-Nomatif
Yaitu
berkenaan dng sejarah; bertalian atau ada hubungannya dng masa lampau dan
berpegang teguh pd norma atau kaidah yg berlaku. Atau bisa dirinci bahwa
pendekatan normative melibatkan komitmen keagamaan, yang bertujuan mencari
kebenaran agama dan tak jarang mengfalsifikasi agama lain dan mengajak
pemeluknya pindah ke agama si peneliiti. Sedangkan pendekatan deskriptif yaitu
berusaha memahami agama-agama tanpa melibatkan komitmen peneliti terhadap
kebenaran agama. hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Abdurrahman Wahid,
bahwa umat islam seharusnya menjadikan fakta-fakta historis menjadikan ukuran
sikap-sikap mereka.[19]
D.
Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid
Pemikiran
Abdurrahman Wahid tentang Islam Liberal, yaitu
menyangkut adanya ajaran-ajaran islam yang toleransi dan keharmonisan
masyarakat. Karena di indoonesia merupakan negara yang mayoritas islam maka
diperlukan adanya toleransi antar umat beragama.
Berkembangnya pemikiran islam liberal
ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat dalam keberagama’an merupakan suatu
indikasi tentang hidupnya pemikiran dalam Islam. Disatu sisi dinilai hal
tersebut baik untuk perkembangan umat yang taraf berfikirnya sudah terkontrol,
namun menjadi tidak baik apabila hal tersebut menghilangkan esensi atau nilai
social yang berujung pangkal pada saling mengkafirkan antara satu dengan yang
lain. Dari penjelasan
diatas penulis setuju tentang adanya gagasan yang disampaikan Gus Dur tentang
Islam Liberal, karena Islam Liberal akan mampu membawa warna di agama islam itu
sendiri, dan mudah-mudahan dengan konsep itu dapat menuju masyarakat madani.
Dilihat dari jenis penelitian, maka
penelitian ini termasuk kedalam penelitian (library research) atau
penelitian kepustakaan yang khusus mengkaji suatu masalah untuk memperoleh data
dalam penulisan penelitian ini.Yaitu penelitian yang diadakan diperpustakaan
dan bersumber pada data – data informasi yang tersedia diruang perpustakaan.[20]
Menurut M. Iqbal Hasan mengatakan
bahwa, “penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang
dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku,
catatan, maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu.”[21]
Dilihat dari sifatnya, penelitian
ini termasuk “Deskriptif analitis” yaitu” suatu penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan secermat mungkin mengenai suatu yang menjadi obyek, gejala atau
kelompok tertentu untuk kemudian dianalisis,”[22]
Sedangkan menurut kartini kartono
penelitian deskriptif adalah penelitian yang hanya melukiskan, memeparkan, dan
melaporkan suatu keadaan, obyek atau peristiwa tanpa menarik kesimpulan ini.[23]
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam konteks penelitian ini yaitu
pendekatan historis filisofis karena objek material dari penelitian
adalah pemikiran yang sudah meninggal.
1.
Sumber data,
a.
Sumber Primer
Sumber Primer dalam hal ini adalah hasil-hasil penelitian atau
tulisan-tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orisinil.Sumber primer ini
berupa buku-buku dan karya ilmiah yang digunakan sebagai referensi utama, dan
sebagian besar penulis gunakan sebagai rujukan dalam penulisan penelitian ini.
Adapun sumber primer tersebut adalah Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia
dan Transformasi Kebudayaan,Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur Bertutur,
Prisma Pemikiran Gus Dur, Dialog kritik dan Identitas Agama, dan lain
sebagainya.
b.
Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan di
publikasikan oleh seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan
pengamatan atau berpartisipasi dalam kenyataan yang ia deskripsikan. Dengan
kata lain penulis tersebut bukan penemu teori. Sumber sekunder ini digunakan
sebagai bahan referensi tambahan untuk lebih memperkaya isi penelitian, dan
sebagai bahan pelengkap dalam penelitian ini. Sumber ini terdiri dari buku-buku
atau karya ilmiah lain yang masih ada hubungannya dengan isi penelitian.
Misalnya; Biografi Gus Dur, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Gus Dur, NU dan
Masyarakat Sipil, 41 Kebesaran Gus Dur, The Beauty of Islam, Pendidikan
Pluralisme di Indonesia, karya ilmiah Islam dan Pendidikan Pluralisme, dan
sebagainya.
Sejalan dengan jenis penelitianya
yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, maka penulis dalam usaha
menghimpun data dengan menggunakan metode studi pustaka (library research)
yaitu tekhnik pengumpulan data dalam suatu penelitian yang bertujuan untuk
mengumpulkan data – data dan informasi yang berkaitan atau yang biasa kita
sebut dengan metode dokumentasi, Yaitu pengumpulan data yang berupa buku,
kitab, jurnal, artikel dokumen dan lain sebagainya. [24]
E.
Islam liberal dan Masyarakat Madani
1.
Islam Liberal
Wacana
islam Indonesia menghentak republic ini dengan menawarkan wacana baru yang
sangat kontradiktif dengan wacana islam mainstream yang cenderung
revivalis, monolit, formalis-syariah sehingga mengarah intoleran karena tidak
adanya kompromi. Wacana islam baru tersebut adalah Islam liberal. Sebuah
istilah yang diadopsi dari ketegarisasi pengamat dan penulis asing, Leonard
Binder dan Charles Kurzman.[25]
Pada
dasarnya Islam Liberal, datang sebagai warna yang menawarkan keislaman yang
relevan dengan kondisi riel masyarakat Islam, bukan kontradiktif dengan
realitas masyarakat tanah air, serta toleran Islam buat semua umat beragama,
inklusif dan terbuka.[26] Mengapa tawaran seperti ini kita sebut?
Karena jika tawaran islam yang muncul adalah islam dengan “wajah sangar” maka
islam hanya identik dengan horror dan wajah rahmatan lil alaminya tersembunyi
karena umatnya, dan kita tentu senag dan bangga apabila islam mampu hadir dalam
wajahnya yang santun, damai, ramah, dan sosial.
Upaya
ini merupakan indikasi yang jelas dari keislaman yang demokratis, karena
demokratis merupakan sistem kemasyarakatan dan kenegaraan yang paling baik dari
pada sistem kenegaraan yang lain, seperti totaliter, kerajan/monarkhi atau
fasis. Dan dengan demokrasi masyarakat akan hidup dengan berdampingan,
menghargai perbedaan, bukan hanya pendapat, tetapi yang lebih penting adalah
perbedaan agama, suku ras dan golongan.[27]
Menurut Charles Kurzman dalam bukunya Wacana
Islam Liberal, memulai pengamatannya dengan membantah istilah “Islam Liberal”,
yang merupakan judul bukunya sendiri. Menurut Kurzman, ungkapan “Islam liberal”
(liberal Islam) mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan
(a contradictio in terms).[28]
Mungkin ia bingung dengan istilahnya sendiri. Meski ia menjawab di akhir
tulisannya bahwa istilah Islam Liberal itu tidak kontradiktif, tapi
ketidakjelasan uraiannya masih tampak di sana-sini.
Islam
itu sendiri, secara lughawi (menurut bahasa), bermakna “pasrah”, tunduk kepada
Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi, di samping Islam tunduk kepada Allah
SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dan belenggu peribadahan kepada
manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan, Islam itu “bebas” dan “tidak
bebas”.[29]
Kurzman
juga tidak menjelaskan secara rinci apa yang dia maksud dengan “Islam Liberal”.
Untuk menghindari definisi itu, ia mengutip sarjana hukum India, Ali Asghar Fyzee
(1899-1981) yang menulis, “Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi
jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu Islam
Liberal.”[30]
Bahkan, Fyzee menggunakan istilah lain untuk Islam Liberal yaitu “Islam
Protestan”. Sebagaimana diungkap oleh salah satu pengajar Universitas
Paramadina Mulya, Luthfi Assyaukanie, “Dengan istilah ini (“Islam Protestan”
atau “Islam Liberal”), Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan
wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang nonortodoks; Islam yang kompatibel
terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan
masa silam.”[31]
dan Islam liberal diistilahkan oleh Abdullah Saeed menjadi “Islam Progresif”
yang merupakan salah satu dari sekian banyak aliran pemikiran islam kontemporer
yang berupaya untuk Incorporate the Contexts and the Neds of Modern Muslim,
sedangkan menurut Alparssalan Acikgenc, Dekan Fakultas Seni dan Ilmu-Ilmu
Sosial Fatih University Turki, menyatakan Islam Progresif adalah Islam yang
menawarkan keseimbangan antara Mysterius and Rational Aspects of Human
Nature.[32]
Dari penjelasan diatas dapat diartikan bahwa Islam liberal sebagai islam yang
terbuka terhadap wacana modern dan menggunakan pendekatan historis kritis
terhadap wacana keagamaan kontemporer yang berkembang saat ini. islam yang
mengusung gagasan yang maju dan kosmopolit.
Liberal
menurut bahasa adalah murah hati, dermawan, bebas berkenaan dengan kebebasan
bagi individu dalam berpendapat dan berargumentasi.[33] Elemen-elemen
terkait tentang liberalism antara lain adalah sekularisme, modernitas,
demokrasi, pluralisme, dan HAM.[34]Greg
Barton menjelaskan beberapa prinsip gagasan islam liberal: 1) pentingnya
kontektualisasi ijtihad, 2) komitmen dengan rasionalis dan pembaharuan, 3)
penerimaan terhadap pluralism sosial, 4) pemisahan agama dari politik dan
adanya posisi non sectarian agama. menurut Barton, ada empat tokoh islam
liberal di Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid, Nur Kholis Majid, Ahmad Wahib
dan Djohan Efendi,[35]tokoh-tokoh
islam liberal di Indonesia kemudian kemudian menjadikan sekuleralisasi sebagai
program penting gerakan liberalisasi Islam. perjuangan kelompok islam liberal
di Indonesia secara jelas ingin membentuk negara sekuler (demokrasi
konstitusional).[36]
Dan
komunitas Islam Liberal bisa dibilang menjadi genre dalam peta baru
pemikiran Islam Indinesia kontemporer, ditengah mandeknya gerak pemikiran islam
dari kalangan “generasi tua”. Menurut Zuly Qodir pemikiran Islam Liberal di
Indinesia kontemporer yaitu Budi Munawar-Rahman, Ulil Abshar Abdulla, Luthfi
Efendy, Sukidi, Deny, Rijal Malaranggeng, JA, Ikhsan Ali Fauzi, Taufik Adnan
Amal, Nasaruddin Umar, dan Zuhairi Mizrawi mereka semua merupakan nama-nama
yang lekat dengan kajian Islam Liberal di Indonesia.[37]
Setelah
dikemukakan sebelumnya tentang siapa Islam Liberal di Indonesia yang sepak
terjangnya dikemas secara modern, nampaknya islam liberal ingin membawa umat
islam kepada perubahan pemahaman, metode dan aksi Islam di Indonesia.
2.
Masyarakat Madani
Apa ynag
disebut dengan masyarakat “modern” dalam kehidupan suatu Negarayang
mengembangkan realitas masyarakat madani, tidak selalu berkaitan dengan “masa”
dan “waktu”. Artinya ketika kita berbicara mengenai negara-negara modern,
kemoderan itu tiidak ditentukan oleh “waktu”atau “masa”. Sifat kemodernan dalam
kaitan dengan masyarakat madani muncul dengan mengatasi dimensi waktu. Sebagai
gantinya, kemodernan sebuah bangunan politik yang ditandai oleh adanya struktur
masyarakat madani lebih merujuk pada sifat-sifat yang dikembangkan oleh bangunan
politik tersebut. dilihat dari sudut konsepsinya, bangunan masyarakat madani
ini memang awalnya dikembangkan oleh para pemikir dalam filusuf lama: Plato,
Ariestoteles, Hobbes, Locke, Rosseau, Bentham, Hume, dan sebagainya.[38]
3.
Islam Liberal dan terbentukya masyarakat madani
[1]Faisal
Ismail, Islam Transformasi sosial dan kontinuitas sejarah, (Yogyakarta,
PT.Tiara Wacana,),hlm.81
[2]Harun
Nasution, Islam Rasional, gagasan dan pemikiran,
(Bandung,Mizan,1998),hlm.167
[3]Muhammad
A.S. Hikam, Wacana Intelektual Tentang Civil Society di Indonesia,
Paramadina, , (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996), hlm.4-5, 77-90 dan 198-201.
[4]Ahmad
Baso, civil society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil
Society dalam Islam Indonesia, (Jakarat:Pustaka Hidayah, 1999), hlm132.
[5]Hendro
Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam & Civil Society; Pandangan Muslim
Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.7
[6]Zuhairi
misrawi, Menuju Post Tradisionalisme islam,Republika, selasa 3 juli
2001, hlm.4
[7]Zuhairi
misrawi,………. hlm.4
[8]http://asparaswin.blogspot.com/2012/10/pengertian-dan-definisi-liberalisme.html, diakses pada 9 Mei
2015
[9]Abdurrahman
Wahid, Islam Kosmopolitan, (Jakarta Wahid Institute, 2007), hlm.3
[10]Lihat
Pengantar Redaksi dalam buku Greg Barton, Biografi Gus Dur, penerjemah,
Lie Hua, (Yogyakarta, LkiS, 2002), hlm.0
[11]Lihat
pengantar Redaksi dalam buku Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta,
LKiS, 2010), hlm.v
[12]Abdurrahman
Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, (Yogyakarta,LKiS,2000), hlm.x
[13]Arief
Afandi, Islam Demokrasi Atas Bawah, Polemik Strategi Perjuangan Umat Model
Gus Dur dan Amin Rais, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar,1997), hlm.24
[14]Lihat
pengantar Bisri Efendy dalam buku Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu
Dibela,…….hlm.xxxi
[15]Kuntowijoyo,
Paradigma Islam, Interprestasi Untuk Aksi, (Bandung, Mizan,2008),hlm.385
[16]Greg
barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antara,
1999), hlm.326
[17]Greg
barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia,…… hlm.328
[18]Ralph
Linton, Antropology: Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (Bandung,
Jemmasr,1984),hlm.266
[19]Millah,
Jurnal Studi Islam, (Yogyakarta, Vol.III, No. 1, MSI UII,2003), hlm.53
[20]Kartini
Kartono, Pengantar Metodologi Research Social, alumni, Bandung: 1980,
hlm. 28
[21]M.
Iqbal Hasan, Pokok – pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,
Jakarta:Galia Indonesia, 2002, hlm.11
[22]Koentjaraningrat,
Metode- metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta:1981,hlm.
29
[23]Kartini
Kartono………… hlm.29
[24]Kartini
kartono…………… hlm. 28
[25]Zuly
Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia,
(Yogyakarta,Pustaka Pelajar,2001), hlm.147
[26]
Zuly Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana……hlm.145
[27]Zuly
Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana……hlm.149
[28]Charles
Kurszman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu
Global (Jakarta, Paramadina, 2003), hlm. xi
[29]Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Menembus Batas Tradisi menuju Masa Depan yang Membebaskan:
Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid, (Jakarta, Buku Kompas, 2006),
hlm. 6-7
[30]Adian
Husaini, Islam Liberal; Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawaban
(Jakarta, Gema Insani, 2001), hlm. 2
[31]Charles
Kurszman, Wacana Islam Liberal………., hlm. 13
[32]M.
Arfan Mu’amar, Abdul Wahid Hasan,dkk. Studi Islam (Perspektif
Insider/Insider), (Yogyakarta, IRCiSoD,2012), hlm.353
[33]Pius
A Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, 1994), hlm.409
[34]Nur
Kholis Setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Elsaq,2008), hlm.21
[35]Greg
barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, ………hlm.68
[36]Adian
khusaini dkk, Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam,
(Jakarta: khirul bayan,2004), hlm. 69
[37]Zuly
Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana……hlm.151
[38]Jurnal,
Pemikiran Islam,(Jakarta, Paramadina Volume 1, Nomor 2, 1999), hlm.78
Izin copas
ReplyDelete