Skip to main content

ISLAM LIBERAL DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA (Studi Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid)


A.    Pendahuluan
Sesuai dengan wataknya, masyarakat adalah sosok yang selalau berubah dan berkembang. Ia tidak statis, namun dinamis.[1] Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak / benar dan tidak berubah-ubah, ini mempunyai pengaruh terhadap sikap mental dan tingkah laku pemeluknya. Oleh karena itu umat beragama tidak mudah menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi yang berlaku. Begitu juga Agama islam yang tidak luput dari anggapan serupa ini, ajaran-ajaran agama islam tercantum dalam Al-Qur’an tidak hanya terbatas pada soal pengabdian kepada Tuhan pencipta alam semesta, tetapi mencakup soal-soal hidup kemasyarakatan umat, perkawinan, perceraian, perdagangan, peseroan, pengadilan dan sebagainya.[2]
Seiring dengan proses perubahan ini, akhirnya tercetuslah sebuah ide membentuk Masyarakat Madani dalam perspektif ke-Indonesia-an. Ide ini menjadi isu sentral negara bangsa kontemporer yang didukung oleh para elit politik Indonesia.[3] Wacana civil society kembali marak diperbincangkan di Indonesia ketika terjadi perubahan kondisi sosial politik yang disponsori oleh gerakan besar Reformasi.
mengenai masyarakat madani sebenarnya baru populer di Indonesia sekitar awal tahun 1990-an. Kemunculan wacana masyarakat madani dalam banyak hal terkait erat dengan fenomena tentang kondisi sosial politik global dan meluasnya proses demokratisasi di seluruh dunia pada sekitar 1980- an, serta dinamika internal politik Indonesia.[4] Fenomena itu berawal dari bangkitnya nasionalisme di Eropa timur dan Eropa Tengah yang menandai tumbangnya rezim-rezim totalitarian yang kemudian disusul oleh arus demokratisasi di berbagai kawasan, mulai Amerika Latin, tengah dan sejumlah negara-negara di Afrika dan Asia.[5]
Dalam konteks Islam, Kajian pemikiran dalam Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk membuka kerangka berfikir dalam memperoleh khazanah ilmu pengetahuan baru yang pada titik endingnya kemudian mendapatkan kearifan, baik secara pemikiran maupun tindakan. Dalam peraturan pemikiran Islam selama ini, disatu sisi dinilai bahwa hal demikan adalah suatu keharusan, dengan harapan membangkitkan semangat dalam memahami pesan moral Ilahi yang secara aksiologis bermanfaat untuk kehidupan manusia. Dari kebodohan menuju berpengetahuan dan berkeadaban. Namun disisi lain, justru pemikiran yang tidak terkontrol, akan memiliki dampak negatif terhadap gaya berfikir seseorang, sehingga antara satu dengan yang lainnya saling klaim kebenaran dan menjatuhkan.
Sebagai sebuah contoh, berkembangnya pemikiran islam liberal ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat dalam keberagama’an merupakan suatu indikasi tentang hidupnya pemikiran dalam Islam. Disatu sisi dinilai hal tersebut baik untuk perkembangan umat yang taraf berfikirnya sudah terkontrol, namun menjadi tidak baik apabila hal tersebut menghilangkan esensi atau nilai social yang berujung pangkal pada saling mengkafirkan antara satu dengan yang lain.
Bertolak dari pemahaman tersebut, yang menjadi titik tekan sebenarnya adalah bagaimana Islam sebagai agama yang bersifat dinamis, mampu memposisikan Islam sebagai motivasi pemikiran, tindakan serta control terhadap pelbagai fenomena social yang menggejala. Islam liberal merupakan perangkat penting dalam menggerakkan pemikiran keislaman kontemporer. Islam liberal telah mempertegas kebutuhan primer untuk merambah jalan baru islam yang damai, elegan, dan membangun. Islam liberal konsisten terhadap rasionalitas dan pembaharuan. Konsep Islam liberal secara esensial menjanjikan banyak hal, terutama gagasan liberalisasi dan pembaharuan.[6]
Dengan munculnya ilmu pengetahuan, para ilmuan merasa kurang leluasa dengan kebenaran yang disodorkan oleh agama sehingga terjadi semacam “pemberontakan” dan pemisahan antara ilmu pengetahuan dengan Agama, dan pada giliranya memunculkan apa yang disebut sekularisme dan humanisme didunia barat. dengan kata lain pemikiran liberal lahir dari sebuah pemberontakan atas nama kebebasan berfikir. Dalam konteks politik gerakan pemikiran liberal lahir sebagai protes terhadap kekuasaan raja yang berkolaboasi dengan kekuasaan agama.[7]
Liberalisme menekankan hak-hak peribadi serta kesamarataan peluang. Dalam fahaman liberalisme, pelbagai aliran dengan nama “liberal” mungkin mempunyai dasar dan pandangan yang berlainan, tetapi secara umumnya aliran-aliran ini bersetuju dengan prinsip-prinsip berikut termasuk kebebasan berfikir dan kebebasan bersuara, batasan kepada kuasa kerajaan, kedaulatan undang-undang, hak individu ke atas harta persendirian, pasaran bebas dan ketelusan sistem pemerintahan. Mereka yang liberal menyokong sistem kerajaan demokrasi liberal dengan pengundian yang adil dan terbuka, di mana semua rakyat mempunyai hak-hak yang sama rata di bawah undang-undang.
Fahaman liberalisme moden berakar dari Zaman Kesadaran barat dan kini mengandungi pemikiran politik yang luas dan kaya dari segi sumber. Liberalisme menolak kebanyakan tanggapan asas dalam hampir semua teori pembentukan kerajaan awal seperti hak-hak raja yang diberikan oleh tuhan, status yang berasaskan keturunan dan institusi-institusi agama. Liberal beranggapan sistem ekonomi pasaran bebas lebih cekap dan menjana lebih banyak kemakmuran.[8]
Di sini, pemikiran liberal ingin melepaskan diri dari kesultanan yang berkolaborasi dengan symbol-simbol keagamaan. Paham keagamaan yang dominan legalistic, yang kurang memberi ruang gerak bagi pemikiran yang bercorak eksploratif. Dengan kata lain, pemikiran liberal lebih menekankan pada substansi kemanusiaan dan universal Islam yang menempatkan diri dalam berbagai manifestasi ajaran-ajaranya.
Rangkaian ajaran-ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (Fiqh), keimanan (Tauhid), serta etika (Akhlaq), seringkali disempitkan oleh masyarakat sehingga menjadi kesusilaan belaka dan dalam sikap hidup. Padahal unsure-unsur itulah yang sesungguhnya menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsure-unsur utama dari kemanusian, yang nantinya akan bergesekan dengan warisan pemikiran ortodok yang sangat teguh dalam symbol-simbol Agama. tidak ada gerakan liberalisme islam yang lahir begitu saja, melainkan merupakan respon terhadap tuntutan dan perkembangan zaman.[9]
Gerakan liberalisasi tetap menyadari mutlaknya keperluan kepada tempat atau wadah, tetapi ia menentang wadah yang disakralkan. Abdurrahman Wahid, tokoh yang mungkin bisa digambarkan dengan kata-kata yang singkat, singkat dan nyeleneh karena itu cenderung sulit dipahami. Dalam sudut tafsir atas dua kata itu, tergantung siapa yang mellihat dan memahami. Bahkan dalam masa kepresidenanya sempat muncul anekdot tentang tiga misteri Tuhan. Bahwa ada tiga misteri Tuhan yang tidak dapat dipahami atau diketahui manusia sebelum hal itu terjadi: jodoh, kematian dan Gus Dur.[10]
Beliau tokoh asli Indonesia (pribumi) yang konsen dengan gagasan liberalisasi dan pembaharuanya. Dan untuk memahami seorang Abdurrahman Wahid atu yang sering kita sebut dengan nama Gus Dur tidak cukup hanya dengan melihat sepak terjang dan mannuvel politiknya yang controversial saat-saat terakhir ini. akan tetapi perlu jejak-jejaknya dimasa lampau yang sangaat brilian yang pernah digoreskanya.[11] yang banyak melahirkan karya dan memberikan kontribusi bagi pembaharuan pemikiran keislaman Indonesia, dan seperti kita tahu bahwa Gus Dur seorang kiai, dalam tradisi dunia pesantren orang menjadi kiai karena “ascribed status” artinya seorang menjadi kiai karena ayahnya kiai, kakeknya kiai, dan kakeknya lagi kiai, dari pihak ayah ataupun ibu, semuanya kiai. Dan Gus Dur menjadi kiai juga karena “achieved status”.[12] Tetapi bagi saya merupakan penilaian persial, kerena Gus Dur pun memanggul propesi yang dicapai karena prestasi pribadi. dari latar belakang tokoh ini membuat perhatian penulis untuk melakukan kajian pemikiran yang terkait dengan islam liberalnya.
Pembaharuan islam yang digagas oleh Abdurrahman Wahid justru berangkat dari gerakan cultural dalam basis Islam Tradisional. Karena umat tidak  menjadi yatim-piatu yang ditinggalkan orang tuanya yang mengusahakan strategi structural. Setidaknya ada lima program cultural, yaitu mengembalikan dan mengembangkan 1). tradisi rasional 2). Tradisi egalitarian 3) tradisi berbudaya 4). tradisi ilmiah dan 5). Tradisi cosmopolitan.[13]
Dalam pandangan Abdurrahman Wahid nilai-nilai Islam tradisional menawarkan solusi potensional untuk mengatasi masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Seperti halnya masalah Agama dan kemungkinan relevansinya dalam hiluk-piluk kehidupan kontemporer menjadi perhatian terbesar Gus Dur sejak akhir tahun 1960-an atau awal tahun 1970-an. Sebuah masalah yang kelihatanya sangat urgen justru karena adanya pengakuan - atau keyakinan – mayoritas kaum beriman bahwa agama adalah parameter terpenting dari segala hal.[14]Corak pemikiranya lebih menitik beratkan kepada bagaimana aplikasi esensi ajaran islam dalam menjawab persoalan sosial yang terjadi di masyarakat secara konkrit. Islam mampu mentranspormasikan ajaran-ajaranya dalam menjawab realitas sosial yang selalu dinamis sesuai konteks zamanya.
Bagi Abdurrahman Wahid untuk menjadi muslim yang baik, seorang muslim kiranya perlu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran islam secara utuh atau mempelajari islam secara kaffah, menolong mereka yang membutuhkan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi ujian dan cobaan. Konsekuensinya mewujudkan sistem Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberikan predikat sebagai seorang muslim yang taat.
Abdurrahman Wahid menolak akan adanya idiologisasi Islam, baginya idiologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan islam di Indonesia, yang dikenal dengan Negerinya kaum muslim moderat. Islam di Indonesia menurut Abdurrahman Wahid muncul dalam keseharian cultural yang tidak berbaju idiologis, dan dan dalm konteks budaya di Indonesia pernah mengalami apa yang dinamakan dualism kebudayaan, yaitu antara budaya keratin dan budaya popular.[15] Dari hal tersebut timbulah pengaruh islam terhadap kebudayaan tradisional, untuk itu penulis tertarik untuk mengkaji konsep Islam liberal Abdurrahman Wahid untuk pengembangan pendidikan Islam kedepan agar lebih maju dan modern.
Abdurrahman wahid adalah tokoh pesantren yang memilik perhatian yang mendalam terhadap kehidupan umat.dia tumbuh berkembang dalam pesantren yang berkultrul tradisional serta dekat dengan kehidupan perjalanan sejarah nasional. Dia belajar dalam bimbingan kyai-kyai karismatik Nahdlatul Ulama serta para tokoh nasional. Dengan para tokkoh itulah ia sering terllibat dialog-dialog tingkat tinggi seputar keIslaman, kebangsaan dan kemanusiaan serta tema-tema penting lainya. Pergaulanya lintas agama dan dunia internasional menambah bobot pemikiranya untuk kemajuan bangsa dan Negara.Demikian Abdurrahman Wahid menjadi tokoh yang banyak diteliti pemikiran dan tindakanya.
B.     Biografi Abdurrahman Wahid
K.H. Abdurrahman Wahid,[16] lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam (Agustus) 1940. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir 4 Agustus, namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan 7 September 1940.
Kehadiran Abdurrahman Wahid dikalangan masyarakat Indonesia saat ini tidak lain disebabkan oleh kualitas pribadinya yang luar biasa, disamping faktor lingkungan keluarga yang sangat mendukung. Abdurrahman Wahid, cucu dari dua serangkai pendiri NU, Kiai Hasjim Asj’ari dan Kiai Bisri Sjansuri. Ayah Abdurrahman Wahid Kiai Wahid Hasjim, adalah putra Kiai Hasjim Asj’ari, dan ibunya shalehah, adalah putri Kiai Bisri Sjansuri.
Kemudian pada tahun 1953 sampai 1957, saat masih belajar di sekkolah menengah Ekonomi pertama (SMEP) ia tinggal di rumah Kiai H. Junaidi, seorang Kiai muhammadiyah dan anggota majlis tarjih muhammadiyah. Beberapa tahun kemudian Abdurrahman Wahid “mondok dipesantren Tegalrejo, sebuah pesantren NU terkemuka dimagelang. Dan pada tahun 1957 ia juga sempat “nyantri” di pesantren Krapyak, Yogyakarta dan tinggal ditempat Kiai H. Ali Maksum. Pada tahun 1964 Abdurrahman Wahid meninggalkan tanah air, perggi kekairo, mesir, untuk belajar ilmu-ilmu agama. dan pada tahun 1971 Abdurrahman Wahid kembali ke Indonesia, kembali kedunia pesantren dari tahun 1972 sampai 1974 dan sekaligus dosen di universitas Hasjim Asj’ari, jombang. Tahun 1974-1980 ia menjadi sekertaris umum pesantren tebu ireng jombang, dan dari situ ia terlibat masalah pengurusan NU dengan menjabat Katib Awal PB Syuriah NU sejak tahun 1979.[17]
C.     Telaah Pemikiran Abdurrahman Wahid
Dari penjelasan diatas menurut saya Abdurrahman Wahid adalah Seorang tokoh bangsa yang berani berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup di nusantara. Selama hidup, GusDur mengabdikan dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi dimensi eksistensinya.
Abdurrahman Wahid dikenal sebagai intelektual public, sebab di samping ia sering tampil dikalangan para intelektual Gus Dur juga menulis banyak esai di mass-media Jakarta, khususnya majalah mingguan Tempo. Dan Pemikiran  Abdurrahman Wahid terkenal dengan rasionalitas dan berpendirian dalam usaha-usaha membawa islam mampu menghadapi tantangan-tantangan modernitas, dan dalam pemikiranya Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa Islam Liberal, menyangkut adanya ajaran-ajaran islam yang toleransi dan keharmonisan masyarakat.
Dari pemikiranya dapat disimpulkan bahwa pendekatan metodologis yang dibawa oleh Abdurrahman Wahid yaitu.
1.      Pendekatan Antropologi cultural
Antropologi cultural (cultural Antropology) merupakan anthropology yang mempelajari kebudayaan. Dan dari anthropology cultural berkembang konsep (cultural Integration) yaitu gejala saling menyesuaikan antara unsure-unsur kebudayaan.[18]
2.       Pendekatan Historis-Nomatif
Yaitu berkenaan dng sejarah; bertalian atau ada hubungannya dng masa lampau dan berpegang teguh pd norma atau kaidah yg berlaku. Atau bisa dirinci bahwa pendekatan normative melibatkan komitmen keagamaan, yang bertujuan mencari kebenaran agama dan tak jarang mengfalsifikasi agama lain dan mengajak pemeluknya pindah ke agama si peneliiti. Sedangkan pendekatan deskriptif yaitu berusaha memahami agama-agama tanpa melibatkan komitmen peneliti terhadap kebenaran agama. hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Abdurrahman Wahid, bahwa umat islam seharusnya menjadikan fakta-fakta historis menjadikan ukuran sikap-sikap mereka.[19]
D.    Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid
Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam Liberal, yaitu  menyangkut adanya ajaran-ajaran islam yang toleransi dan keharmonisan masyarakat. Karena di indoonesia merupakan negara yang mayoritas islam maka diperlukan adanya toleransi antar umat beragama.
Berkembangnya pemikiran islam liberal ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat dalam keberagama’an merupakan suatu indikasi tentang hidupnya pemikiran dalam Islam. Disatu sisi dinilai hal tersebut baik untuk perkembangan umat yang taraf berfikirnya sudah terkontrol, namun menjadi tidak baik apabila hal tersebut menghilangkan esensi atau nilai social yang berujung pangkal pada saling mengkafirkan antara satu dengan yang lain. Dari penjelasan diatas penulis setuju tentang adanya gagasan yang disampaikan Gus Dur tentang Islam Liberal, karena Islam Liberal akan mampu membawa warna di agama islam itu sendiri, dan mudah-mudahan dengan konsep itu dapat menuju masyarakat madani.
Dilihat dari jenis penelitian, maka penelitian ini termasuk kedalam penelitian (library research) atau penelitian kepustakaan yang khusus mengkaji suatu masalah untuk memperoleh data dalam penulisan penelitian ini.Yaitu penelitian yang diadakan diperpustakaan dan bersumber pada data – data informasi yang tersedia diruang perpustakaan.[20]
Menurut M. Iqbal Hasan mengatakan bahwa, “penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu.”[21]
Dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk “Deskriptif analitis” yaitu” suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secermat mungkin mengenai suatu yang menjadi obyek, gejala atau kelompok tertentu untuk kemudian dianalisis,”[22]
Sedangkan menurut kartini kartono penelitian deskriptif adalah penelitian yang hanya melukiskan, memeparkan, dan melaporkan suatu keadaan, obyek atau peristiwa tanpa menarik kesimpulan ini.[23] Pendekatan penelitian yang digunakan dalam konteks penelitian ini yaitu pendekatan historis filisofis karena objek material dari penelitian adalah pemikiran yang sudah meninggal.
1.         Sumber data,
a.    Sumber Primer
Sumber Primer dalam hal ini adalah hasil-hasil penelitian atau tulisan-tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orisinil.Sumber primer ini berupa buku-buku dan karya ilmiah yang digunakan sebagai referensi utama, dan sebagian besar penulis gunakan sebagai rujukan dalam penulisan penelitian ini. Adapun sumber primer tersebut adalah Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan,Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur Bertutur, Prisma Pemikiran Gus Dur, Dialog kritik dan Identitas Agama, dan lain sebagainya.
b.      Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan di publikasikan oleh seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan atau berpartisipasi dalam kenyataan yang ia deskripsikan. Dengan kata lain penulis tersebut bukan penemu teori. Sumber sekunder ini digunakan sebagai bahan referensi tambahan untuk lebih memperkaya isi penelitian, dan sebagai bahan pelengkap dalam penelitian ini. Sumber ini terdiri dari buku-buku atau karya ilmiah lain yang masih ada hubungannya dengan isi penelitian. Misalnya; Biografi Gus Dur, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, 41 Kebesaran Gus Dur, The Beauty of Islam, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, karya ilmiah Islam dan Pendidikan Pluralisme, dan sebagainya.
Sejalan dengan jenis penelitianya yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, maka penulis dalam usaha menghimpun data dengan menggunakan metode studi pustaka (library research) yaitu tekhnik pengumpulan data dalam suatu penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data – data dan informasi yang berkaitan atau yang biasa kita sebut dengan metode dokumentasi, Yaitu pengumpulan data yang berupa buku, kitab, jurnal, artikel dokumen dan lain sebagainya. [24]
E.     Islam liberal dan Masyarakat Madani
1.      Islam Liberal
Wacana islam Indonesia menghentak republic ini dengan menawarkan wacana baru yang sangat kontradiktif dengan wacana islam mainstream yang cenderung revivalis, monolit, formalis-syariah sehingga mengarah intoleran karena tidak adanya kompromi. Wacana islam baru tersebut adalah Islam liberal. Sebuah istilah yang diadopsi dari ketegarisasi pengamat dan penulis asing, Leonard Binder dan Charles Kurzman.[25] 
Pada dasarnya Islam Liberal, datang sebagai warna yang menawarkan keislaman yang relevan dengan kondisi riel masyarakat Islam, bukan kontradiktif dengan realitas masyarakat tanah air, serta toleran Islam buat semua umat beragama, inklusif dan terbuka.[26]  Mengapa tawaran seperti ini kita sebut? Karena jika tawaran islam yang muncul adalah islam dengan “wajah sangar” maka islam hanya identik dengan horror dan wajah rahmatan lil alaminya tersembunyi karena umatnya, dan kita tentu senag dan bangga apabila islam mampu hadir dalam wajahnya yang santun, damai, ramah, dan sosial.
Upaya ini merupakan indikasi yang jelas dari keislaman yang demokratis, karena demokratis merupakan sistem kemasyarakatan dan kenegaraan yang paling baik dari pada sistem kenegaraan yang lain, seperti totaliter, kerajan/monarkhi atau fasis. Dan dengan demokrasi masyarakat akan hidup dengan berdampingan, menghargai perbedaan, bukan hanya pendapat, tetapi yang lebih penting adalah perbedaan agama, suku ras dan golongan.[27]
 Menurut Charles Kurzman dalam bukunya Wacana Islam Liberal, memulai pengamatannya dengan membantah istilah “Islam Liberal”, yang merupakan judul bukunya sendiri. Menurut Kurzman, ungkapan “Islam liberal” (liberal Islam) mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan (a contradictio in terms).[28] Mungkin ia bingung dengan istilahnya sendiri. Meski ia menjawab di akhir tulisannya bahwa istilah Islam Liberal itu tidak kontradiktif, tapi ketidakjelasan uraiannya masih tampak di sana-sini.
Islam itu sendiri, secara lughawi (menurut bahasa), bermakna “pasrah”, tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi, di samping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dan belenggu peribadahan kepada manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan, Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.[29]
Kurzman juga tidak menjelaskan secara rinci apa yang dia maksud dengan “Islam Liberal”. Untuk menghindari definisi itu, ia mengutip sarjana hukum India, Ali Asghar Fyzee (1899-1981) yang menulis, “Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu Islam Liberal.”[30] Bahkan, Fyzee menggunakan istilah lain untuk Islam Liberal yaitu “Islam Protestan”. Sebagaimana diungkap oleh salah satu pengajar Universitas Paramadina Mulya, Luthfi Assyaukanie, “Dengan istilah ini (“Islam Protestan” atau “Islam Liberal”), Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang nonortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan masa silam.”[31] dan Islam liberal diistilahkan oleh Abdullah Saeed menjadi “Islam Progresif” yang merupakan salah satu dari sekian banyak aliran pemikiran islam kontemporer yang berupaya untuk Incorporate the Contexts and the Neds of Modern Muslim, sedangkan menurut Alparssalan Acikgenc, Dekan Fakultas Seni dan Ilmu-Ilmu Sosial Fatih University Turki, menyatakan Islam Progresif adalah Islam yang menawarkan keseimbangan antara Mysterius and Rational Aspects of Human Nature.[32] Dari penjelasan diatas dapat diartikan bahwa Islam liberal sebagai islam yang terbuka terhadap wacana modern dan menggunakan pendekatan historis kritis terhadap wacana keagamaan kontemporer yang berkembang saat ini. islam yang mengusung gagasan yang maju dan kosmopolit.
Liberal menurut bahasa adalah murah hati, dermawan, bebas berkenaan dengan kebebasan bagi individu dalam berpendapat dan berargumentasi.[33] Elemen-elemen terkait tentang liberalism antara lain adalah sekularisme, modernitas, demokrasi, pluralisme, dan HAM.[34]Greg Barton menjelaskan beberapa prinsip gagasan islam liberal: 1) pentingnya kontektualisasi ijtihad, 2) komitmen dengan rasionalis dan pembaharuan, 3) penerimaan terhadap pluralism sosial, 4) pemisahan agama dari politik dan adanya posisi non sectarian agama. menurut Barton, ada empat tokoh islam liberal di Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid, Nur Kholis Majid, Ahmad Wahib dan Djohan Efendi,[35]tokoh-tokoh islam liberal di Indonesia kemudian kemudian menjadikan sekuleralisasi sebagai program penting gerakan liberalisasi Islam. perjuangan kelompok islam liberal di Indonesia secara jelas ingin membentuk negara sekuler (demokrasi konstitusional).[36]
Dan komunitas Islam Liberal bisa dibilang menjadi genre dalam peta baru pemikiran Islam Indinesia kontemporer, ditengah mandeknya gerak pemikiran islam dari kalangan “generasi tua”. Menurut Zuly Qodir pemikiran Islam Liberal di Indinesia kontemporer yaitu Budi Munawar-Rahman, Ulil Abshar Abdulla, Luthfi Efendy, Sukidi, Deny, Rijal Malaranggeng, JA, Ikhsan Ali Fauzi, Taufik Adnan Amal, Nasaruddin Umar, dan Zuhairi Mizrawi mereka semua merupakan nama-nama yang lekat dengan kajian Islam Liberal di Indonesia.[37]  
Setelah dikemukakan sebelumnya tentang siapa Islam Liberal di Indonesia yang sepak terjangnya dikemas secara modern, nampaknya islam liberal ingin membawa umat islam kepada perubahan pemahaman, metode dan aksi Islam di Indonesia.

2.      Masyarakat Madani
Apa ynag disebut dengan masyarakat “modern” dalam kehidupan suatu Negarayang mengembangkan realitas masyarakat madani, tidak selalu berkaitan dengan “masa” dan “waktu”. Artinya ketika kita berbicara mengenai negara-negara modern, kemoderan itu tiidak ditentukan oleh “waktu”atau “masa”. Sifat kemodernan dalam kaitan dengan masyarakat madani muncul dengan mengatasi dimensi waktu. Sebagai gantinya, kemodernan sebuah bangunan politik yang ditandai oleh adanya struktur masyarakat madani lebih merujuk pada sifat-sifat yang dikembangkan oleh bangunan politik tersebut. dilihat dari sudut konsepsinya, bangunan masyarakat madani ini memang awalnya dikembangkan oleh para pemikir dalam filusuf lama: Plato, Ariestoteles, Hobbes, Locke, Rosseau, Bentham, Hume, dan sebagainya.[38]
3.      Islam Liberal dan terbentukya masyarakat madani






















[1]Faisal Ismail, Islam Transformasi sosial dan kontinuitas sejarah, (Yogyakarta, PT.Tiara Wacana,),hlm.81
[2]Harun Nasution, Islam Rasional, gagasan dan pemikiran, (Bandung,Mizan,1998),hlm.167
[3]Muhammad A.S. Hikam, Wacana Intelektual Tentang Civil Society di Indonesia, Paramadina, , (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996), hlm.4-5, 77-90 dan 198-201.
[4]Ahmad Baso, civil society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia, (Jakarat:Pustaka Hidayah, 1999), hlm132.
[5]Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam & Civil Society; Pandangan Muslim Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.7
[6]Zuhairi misrawi, Menuju Post Tradisionalisme islam,Republika, selasa 3 juli 2001, hlm.4
[7]Zuhairi misrawi,………. hlm.4
[9]Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, (Jakarta Wahid Institute, 2007), hlm.3
[10]Lihat Pengantar Redaksi dalam buku Greg Barton, Biografi Gus Dur, penerjemah, Lie Hua, (Yogyakarta, LkiS, 2002), hlm.0
[11]Lihat pengantar Redaksi dalam buku Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta, LKiS, 2010), hlm.v
[12]Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, (Yogyakarta,LKiS,2000), hlm.x
[13]Arief Afandi, Islam Demokrasi Atas Bawah, Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amin Rais, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar,1997), hlm.24
[14]Lihat pengantar Bisri Efendy dalam buku Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela,…….hlm.xxxi
[15]Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interprestasi Untuk Aksi, (Bandung, Mizan,2008),hlm.385
[16]Greg barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antara, 1999), hlm.326
[17]Greg barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia,…… hlm.328
[18]Ralph Linton, Antropology: Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (Bandung, Jemmasr,1984),hlm.266  
[19]Millah, Jurnal Studi Islam, (Yogyakarta, Vol.III, No. 1, MSI UII,2003), hlm.53
[20]Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Social, alumni, Bandung: 1980, hlm. 28
[21]M. Iqbal Hasan, Pokok – pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta:Galia Indonesia, 2002, hlm.11
[22]Koentjaraningrat, Metode- metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta:1981,hlm. 29 
[23]Kartini Kartono………… hlm.29
[24]Kartini kartono…………… hlm. 28
[25]Zuly Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar,2001), hlm.147
[26] Zuly Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana……hlm.145
[27]Zuly Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana……hlm.149
[28]Charles Kurszman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (Jakarta, Paramadina, 2003), hlm. xi
[29]Ahmad Syafi’i Ma’arif, Menembus Batas Tradisi menuju Masa Depan yang Membebaskan: Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid, (Jakarta, Buku Kompas, 2006), hlm. 6-7 
[30]Adian Husaini, Islam Liberal; Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawaban (Jakarta, Gema Insani, 2001), hlm. 2
[31]Charles Kurszman, Wacana Islam Liberal………., hlm. 13
[32]M. Arfan Mu’amar, Abdul Wahid Hasan,dkk. Studi Islam (Perspektif Insider/Insider), (Yogyakarta, IRCiSoD,2012), hlm.353
[33]Pius A Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm.409
[34]Nur Kholis Setiawan, Akar-Akar Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, (Yogyakarta: Elsaq,2008), hlm.21
[35]Greg barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, ………hlm.68
[36]Adian khusaini dkk, Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi di Dunia Islam, (Jakarta: khirul bayan,2004), hlm. 69
[37]Zuly Qodir, Islam Liberal, Paradigama Baru Wacana……hlm.151
[38]Jurnal, Pemikiran Islam,(Jakarta, Paramadina Volume 1, Nomor 2, 1999), hlm.78

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tokoh-Tokoh Empirisme

Tokoh-Tokoh Empirisme   Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume. baca juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-filsafat-pendidiakan.html a.John Locke (1632-1704)    Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke : Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). ...

SYARI’AH: SEJARAH PEMAKNAAN ISLAM

BOOKREVIEW KHALIL ABDUL KARIM SYARI’AH: SEJARAH PEMAKNAAN ISLAM  A.       Pendahuluan 1.       Latar Belakang Masalah Syari’at dalam perspektif islam, merupakan hukum-hukum Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Syari’at dalam pengertian ini adalah wahyu, baik dalam pengertian al-wahy al-mathluww (al-qur’an) maupun dalam pengertian al-wahy ghair al-mathluww (sunnah). Meminjam istilah Satria Effendi M. Zein, syari’at adalah al-Nushush al-Muqaddasah ( nash-nash yang suci) dalam al-qur’an dan al-sunnah al-Mutawatirah (hadis yang mutawatir ). [1] Syari’at dapat dipahami sebagai ajaran Islam yang sama sekali tidak dicampuri oleh daya nalar manusia. Syari’at merupakan wahyu Allah secara murni, karenanya ia bersifat mutlak, tetap, kekal, dan tidak boleh diubah. Dengan argumentasi ini, maka syari’at merupakan sumber fiqh, karena fiqh merupakan pemahaman yang mendalam terhadap al-Nushush al-Muqaddasah te...

Pengertian Filsafat Pendidiakan

Filsafat merupakan pandangan hidup yang erat hubungannya dengan nilai-nilai sesuatu yang dianggap benar. Jika filsafat dijadikan pandangan hidup oleh sesuatu masyarakat, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Jelaslah bahwa filsafat sebagai pandangan hidup suatu bangsa berfungsi sebagai tolok ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus dicapai. Adapun untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dilakukan dengan berbagai cara salah satunya lewat pendidikan. [1] Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan atas dasar-dasar ajaran Islam, yakni Al Qur'an dan Hadits sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Melalui pendidikan inilah, kita dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan As-sunnah. Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kita terhadap ajaran Islam sangat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam yang kita terima. ...

PERAWATAN JENAH

PERAWATAN JENAH   Ada hal yag harus dilakukan bagi orang yang telah mati sebelum di lakukan perawatan terhadap jenazah antara lain, yaitu; 1.     Menutup matanya yang terbuka sambil berdoa إن الروح إذا قبض تبع البصر “sesungguhnya jika ruh telah di cabut, maka pandangan matanya mengikuti” 2.     Menutup mulutnya yang terbuka 3.     Melepas semua pakaian yang di kenakan dan menggantinya dengan selimut (kain yang menutupi mulai dari kepala hingga kaki) sebab pakaian yang melekat waktu kematiannya menyebabkan dia cepat rusak 4.     Hadapkanlah mayit tersebut kearah qiblat 5.     Gunakanlah sesuatu yang membuat ruang mayit tersebut menjadi harum, seperti kemenyan dan sebagainya. Artinya ruangan yang ditempati tidak bau. 6.     Dan perut mayit itu seyogyanya diberi benda asalkan bukan al-qur’an. Seprti hanya kaca dan lainya. 7.     Membebaskan mayit tersebut dar...

ISLAM LIBERAL DAN PENDIDIKAN ISLAM

JURNAL ISLAM LIBERAL DAN PENDIDIKAN ISLAM (Studi Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid) Email: subiantoro810@gmail.com Abstrak Tulisan ini memotret bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid terhadap Islam Liberal yang dulu Wacana Islam Liberal Indonesia menghentak republic ini dengan menawarkan wacana baru yang sangat kontradiktif dengan wacana islam mainstream yang cenderung revivalis, monolit, formalis-syariah sehingga mengarah intoleran karena tidak adanya kompromi, tetapi   menurut Abdurrahman Wahid bahwa Islam Liberal, datang sebagai warna yang menawarkan keislaman yang relevan dengan kondisi riel masyarakat Islam, bukan kontradiktif dengan realitas masyarakat tanah air, serta toleran Islam buat semua umat beragama, inklusif dan terbuka. dari sinilah islam liberal tidak hanya bermain dalam isu yang abstrak yang tidak bisa dipahami oleh orang lain, melainkan dapat merambah gagasan yang bersifat praktis dan memberikan harapan bagi masa depan kemanusiaan, karena islam...

Study Pemikiran Imam Zarkasyi Tentang Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia

A.                 Latar Belakang Pendidikan memang merupakan kunci kemajuan, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu masyarakat atau bangsa, maka akan diikuti dengan semakin baiknya kualitas masyarakat atau bangsa tersebut. [1] All of the problem that confront the muslim word today, so the educational problem is the most challengging. That future of the muslim world will depend upon the way it respons to this challenge,” yakni dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara bagaimana dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan ini. Statment ini menggaris bawahi bahwa masa depan Islam di Indonesia juga tergantung kepada bagaimana cara umat Islam merespons dan memecahkan masalah-masalah pendidikan yang berkembang di Indonesi...