Pendahuluan
In The Name of ‘Islamic Law’? merupakan pedahuluan dari buku Jasser Auda Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A SystemApproach yang membahas tentang awal mula ditulisnya buku ini. Saat itu, teroris mengancam daerah tempat tinggal Jasser Auda (Eropa) sehingga membuat semua penduduk lokal khawatir dan selalu was-was dengan lingkungan sekitar. Begitu pula dengan Jasser Auda yang merasakan hal yang sama, namun baginya hal yang menjadi masalah besar adalah ketika teror tersebut mengatasnamakan hukum Islam. Apakah hukum Islam sehina itu sehingga membolehkan membunuh manusia di sebuah negara? Hukum Islam yang berasal dari al-Quran dan Hadits lahir melalui proses penafsiran-penafsiran dan ijtihad para ulama sehingga hasilnya akan memungkinkan untuk berbeda. Sejarah pemikiran hukum Islam sendiri mengalami banyak dinamika sehingga lahirlah apa yang disebut era tradisionalis, modern dan postmodern. Perkembangan pemikiran hukum Islam ini lahir sebagai jawaban atas permasalahan dalam dunia globalisasi.
Saat ini kita tidak bisa hanya memikirkan dunia kita sendiri (dunia muslim) akan tetapi juga bagaimana kita berinteraksi dengan dunia global. Muslim di daerah mayoritas mungkin tidak terlalu merasakan perbedaan mencolok dengan kehidupan muslim yang tinggal di daerah minoritas. Di sini sulitnya mengangkat tema pembahasan seperti di atas, karena para pelaku di lapangan (socio-fact) harus bersedia mendialogkan, mendekatkan dan mempertemukan antara keduanya secara adil, proporsional dan bijak. Harus ada kesediaan dan mentalitas (ideo-fact) untuk saling ‘take’ and ‘give’, saling mendekat, dialog, konsensus, kompromi dan negosiasi. Tidak boleh ada pemaksaan kehendak dari salah satu dari keduanya. Tidak ada pula perasaan yang satu merasa ditinggal oleh yang lain. Oleh karenanya, perlu disentuh bagaimana struktur bangunan dasar yang melandasi cara berpikir umat manusia (humanities) secara umum dan sekaligus juga harus disentuh bagaimana bangunan dasar cara berpikir keagamaan Islam secara khusus (ulum ad-din). Ketika menyebut epistemologi keilmuan kalam dan ulum ad-din secara umum, mau tidak mau para ahli dan peneliti harus bersentuhan dengan keilmuan atau pendekatan usul fikih, sedang menyebut perubahan di era global –yang melibatkan pengalaman umat manusia pada umumnya, (humanities) mau tidak mau perlu mengenal ruang lingkup cara berpikir secara lebih umum, sehingga harus bersentuhan dan berkenalan dengan metode filsafat (rasional) dan metode berpikir sains (empiris) pada umumnya. Dalam prespektif ini sangat menarik sekali untuk mengkaji pemikiran Jasser Auda dari Qatar/Dublin. Amin Abdullah memberikan beberapa alasan mengapa pemikiran ini menarik sebagai epistemologi Islam dalam menghadapi globalisasi. Pertama, adalah karena dia hidup di tengahtengah era kontemporer, di tengah-tengah arus deras era global sekarang ini. Kedua, dia datang dari belahan dunia Eropa, namun mempunyai basis pendidikan Islam Tradisional dari negara yang berpenduduk Muslim. Ketiga, Jasser Auda sengaja dipilih untuk mewakili suara ‘intelektual’ minoritas Muslim yang hidup di dunia Barat, di wilayah mayoritas non- Muslim. Dunia baru tempat mereka tinggal dan hidup sehari-hari bekerja, berpikir, melakukan penelitian, berkontemplasi, berkomunitas, bergaul, berinteraksi, berperilaku, bertindak, mengambil keputusan. Mereka hidup di tempat yang sama sekali berbeda dari tempat mayoritas Muslim dimanapun mereka berada, mengalami sendiri bagaimana harus berpikir, mencari penghidupan, berijtihad, berinteraksi dengan negara dan warga setempat, bertindak dan berperilaku dalam dunia global, tanpa harus menunggu petunjuk dan fatwa-fatwa keagamaan dari dunia mayoritas Muslim. Keempat, Jasser Auda- peneliti tersebut mempunyai kemampuan untuk mendialogkan dan mempertautkan antara paradigma Ulumu al-Din, al-Fikr al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah kontemporer dengan baik. Yakni, Ulumu al Din atau biasa disebut al-Turats (Kalam, Fiqh, Tafsir,Ulum al-Qur’an, Hadis) yang telah didialogkan, dipertemukan dengan sungguh-sungguh untuk tidak menyebutnya diintegrasikan dengan Dirasat Islamiyyah atau al-Hadatsah yang menggunakan sains modern, social sciences dan humanities kontemporer sebagai pisau analisisnya dan cara berpikir keagamaannya. Lewat lensa pandang seperti itu, ada hal lain yang hendak ditegaskan pula di sini bahwa manusia Muslim yang hidup saat sekarang ini di manapun mereka berada adalah warga dunia (global citizenship), untuk tidak mengatakan hanya terbatas sebagai warga lokal (local citizenship). Sudah barang tentu, dalam perjumpaaan antara local dan global citizenship ini ada pergumulan dan pergulatan identitas yang tidak mudah. Ada dinamika dan dialektika antara keduanya, antara being a true Muslim atau being a member of tribe or ethnicity dan sekaligus sebagai being member of nation state dan being a member of global citizenship. Perjumpaan dan pergumulan identitas ini pasti akan berujung pada pencarian sintesis baru yang dapat memayungi dan menjadi jangkar spiritual bagi mereka yang hidup dalam dunia baru dan dalam arus pusaran perubahan sosial yang mengglobal sifatnya. Selain itu, juga ingin menyadarkan manusia Muslim yang tinggal di negara-negara Muslim mayoritas, bahwa di sana ada genre baru kelompok masyarakat dan corak intelektual Muslim yang tumbuh berkembang di wilayah benua-benua non-Muslim. Bicara umat Islam sekarang, tidak lagi cukup, bahkan tidak lagi valid, hanya menyebut secara konvensional seperti Kairo, Teheran, Karachi, Jakarta, Kualalumpur, Istanbul atau Riyadh. Sekarang kita juga perlu belajar menerima kehadiran pemikiran Muslim dari London, Koln, Berlin, Paris, Melbourne, Washington DC, Michigan, Houston, New York, Chicago dan lain-lain.
Comments
Post a Comment