Skip to main content

Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Hadist

A.    Latar Belakang Masalah

Pendidikan karakter menjadi isu menarik dan hangat dibicarakan kalangan praktisi pendidikan akhir-akhir ini. Hal ini karena dunia pendidikan selama ini dianggap terpasung oleh kepentingan-kepentingan yang absurd, hanya mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Output pendidikan memang menghasilkan orang-orang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur dan renda hati. Mereka terampil, tetapi kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, apresiasi terhadap keunggulan nilai humanistik, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal.[1]
Dalam konteks yang demikian, pendidikan selama ini dianggap telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hedonis, tanpa memiliki kecerdasan hati, emosi dan nurani. Tidaklah mengherankan jika kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat (seperti kasus Akil Muchtar ketua Mahkamah Konstitusi, kasus Prof. Dr. Rudi Rubiandini cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur BI, kasus Gayus, kasus Malinda Dee, Nazaruddin, Presiden PKS Muhammad Lutfi Hasan, beberapa petinggi partai, dan masih banyak kasus lainnya), justru melibatkan orang-orang yang secara formal berpendidikan tidak rendah. Ini artinya, pendidikan selama ini, setidaknya telah memiliki andil terhadap maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebabkan negara ini tergolong sebagai salah satu negara yang tingkat korupsinya tinggi di dunia.
Menyadari kenyataan tersebut, maka perlu dilakukan reorientasi dan penataan terhadap apa yang hilang dan kurang disentuh oleh dunia pendidikan, yakni pendidikan yang lebih fokus pada pembentukan karakter anak. Baik pendidikan yang dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Proses pentransferan nilai-nilai karakter perlu didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya pembentukan karakter melalui beragam aktivitas dan metode/cara penyampaiannya. Pendidikan karakter dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang.
 Lickona mengartikan pendidikan karakter sebagai upaya penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah (keluarga) yang mencakup komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai itu, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun masyarakat.[2] Elkind &Sweet (2004) menyatakan bahwa pendidikan karakter sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh guru/pendidik, yang mampu mempengaruhi sikap dan perilaku siswa. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru/pendidik, cara guru/pendidik berbicara atau menyampaikan materi, bertoleransi, dan berbagai hal lainnya yang terkait.[3]Dari kedua pengertian di atas, pendidikan karakter memiliki tujuan membentuk pribadi siswa/anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Menurut Harta,[4]
pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan hanya sekedar mengajarkan mana yan benar dan mana yang salah. Hal yang lebih utama, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal-hal yang baik, sehingga anak menjadi paham tentang mana yang baik dan salah (domain kognitif), mampu merasakan nilai yang baik (domain afektif) dan mau melakukannya (domain psikomotor).
Dalam pendidikan karakter yang semacam ini, rupanya pendidikan yang sedang berlangsung selama ini masih sampai pada tataran kognitif, belum sampai pada tataran afektif dan psikomotor, utamanya pada lembaga pendidikan formal atau sekolah. Sebagaimana yang dikatakan oleh mantan Menteri Agama RI Muhammad Maftuh Basyuni dalam Majalah Tempo, 24 Nopember 2004, dan juga Amin Abdullah, mereka berpendapat pendidikan agama Islam selama ini lebih mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) daripada afeksi (rasa) dan psikomotorik (perilaku). Muchtar Buchori (1992) beranggapan kegagalan pendidikan agama Islam selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatankegiatan pendidikan lainnya.[5]
Demikian juga pendidikan keluarga, sebagai lingkungan yang paling akrab dengan anak, keluarga memiliki peran sangat penting dan strategis bagi penyadaran, penanaman dan pengembangan nilai. Selain itu, anak juga mempelajari aturanaturan serta tata cara berperilaku sesuai dengan norma dan nilai sosial yang dianut keluarga dan masyarakat sekitar. Anehnya, ada beberapa keluarga yang merasa sudah mencukupkan anaknya diserahkan ke sekolah, sehingga baik buruknya anak mereka serahkan sepenuhnya kepada sekolah. Jika demikian keadaannya, maka sangat wajar jika dikatakan bahwa pendidikan di negeri ini, selama ini, telah memiliki andil terhadap maraknya KKN, kejahatan seksual, kejahatan hak asasi manusia (HAM), terjadinya dekadensi moral, yang menjadikan negara kian terpuruk.
Menyadari kenyataan tersebut, maka perlu dilakukan reorientasi dan penataan terhadap apa yang hilang dan kurang disentuh oleh dunia pendidikan, yakni pendidikan yang lebih fokus pada pembentukan karakter anak. Dengan melihat realitas yang ada, maka dalam penelitian ini penulis ingin mengembalikan alternatif solusinya kepada hadis-hadis Nabi SAW, dimana Rasulullah SAW membangun karakter sahabatnya, cara-cara mentransfer nilai-nilai karakter tersebut kepada para sahabatnya. Mengingat Rasulullah SAW diutus Allah SWT adalah untuk menyempurnakan akhlak.[6]
Secara simplisit mungkin terkesan terlalu sederhana, jika problem-problem yang sebesar itu alternatif solusi dikembalikan kepada hadis Nabi SAW, mengingat susunan hadis tersebut sangat sederhana, lagi pula hadis diproduk beberapa abad yang lalu, dimana komunitas masyarakatnya pun masih sangat sederhana. Namun, yang perlu diingat jangan hanya melihat susunan teks hadis yang sederhana itu, upaya pemahaman lebih lanjut terhadap hadis-hadis tersebut dianggap perlu.
Mengingat adanya signifikansi nilai-nilai edukatif di dalamnya bagi pendidikan karakter. Karenanya hadis-hadis tersebut perlu ditelaah lebih mendalam dan dianalisis lebih tajam. Telaah dan analisis lebih lanjut terhadap hadis-hadis tersebut perlu diupayakan mengingat masih minimnya kajian mendalam mengenai hadis-hadis yang dipahami dalam perspektif pendidikan karakter.

Hal ini perlu dilakukan karenasalah satu dasar pokok pendidikan Islam berakar pada al-Qur'an dan hadis. Melalui konsep operasionalnya dapat dipahami, dianalisis dan dikembangkan dari proses pembudayaan, pewarisan, dan pengembangan ajaran agama, budaya dan peradaban tersebut dari generasi ke generasi. Selanjutnya secara praktis dapat dipahami, dianalisis dan dikembangkan dari proses pembinaan dan pengembangan (pendidikan) pribadi Muslim setiap generasi dalam sejarah umat Islam.[7] Al-Nahlawi mensinyalir bahwa dalam hadis, dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan juga membangkitkan semangat.[8]Hadis-hadis pilihan juga menjadi salah satu alternatif, selain pelajaran al-Qur'an, hikayat-hikayat orang shaleh yang disertai contoh perilaku mereka, merupakan alat pembinaan kesadaran beragama pada anak yang mempunyai pengaruh kuat untuk meluluhkan jiwa keagamaan pada anak. Kemampuan dasar tersebut merupakan hal fundamental pada usia anak untuk bisa mempelajari berbagai disiplin ilmu pada jenjang pendidikan yang akan ditempuh selanjutnya.[9]


[1]  Sudarsono, J. Pendidikan, kemanusiaan dan peradaban. Dalam Soedijarto (Ed.). Landasan dan
Arah Pendidikan Nasional Kita (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,. 2008), hlm.117.
 [2] Lickona, T. (1996). Eleven principles of effective character education. Journal of Moral Education, 25, 93-100.
[3]  Elkind, D. H. & Sweet, F. How to do character education. Artikel diambil pada tanggal 11 April
2011 dari http://www.goodcharacter.com/Article-4.html.
[4] Harta, I. (2010). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika SMP/MTs. Artikel diakses dari internet pada tanggal 14 April 2011. hlm.2
[5] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 15
 [6] Al-Hafid ‘Ali bin Abi Bakr bin Sulaiman al-Haitami, Ghayah al-Muqsid fi Zawaid al-Musnad,
Maktabah Shaid al-Fawa’id, عَنْ أَبِى ھُرَیْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ للهَِّ صلى لله علیھ وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ.
 [7] Muhaimin,…………………. hlm. 30
[8] Abd. Al-Rahman al-Nahlawi>, Usu>l al-Tarbiyah al-Isla>miyyah wa Asa>li>buha> (Beirut:
Da>r al-Fikr al-Mu’a>sir), Cet. III, hlm, 13\5
[9] Tri Ermayati, Pembinaan Kesadaran Beragama Pada Anak (Kajian tentang Metode Pendidikan
Islam) (Yogyakarta: Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000), hlm. 152


Comments

Popular posts from this blog

Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Pemikiran Pendidikan Islam

Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Pemikiran Pendidikan Islam Adapun tujuan dan kegunaan mempelajari pemikiran pendiidkan islam yaitu: a).   Membangun kebiasaan berfikir ilmiah, dinamis, dan kritis terhadap persoalan-persoalan seputar penididkan Islam. b).    Memberikan dasar berpikir inklusif terhadap ajaran Islam dan akomodatif terhadap perkembangan Ilmu pengetahuan yang dikembangan oleh intelektual diluar Islam. c).    Menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana ditunjukan oleh Rasulullah SAW, dan para kaum intelektual Muslim pada abad pertama sampai abad pertengahan terutama dalam merekonstruksi sistem pendidikan Islam yang lebih baik. d).   Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan sistem pendidikan nasional.      Prinsip-Prinsip Pemikiran Pendidikan Islam a).   Prinsip Ontologis Prinsip ini merupakan etiket pelengkap dari metafisika tentang “ada” atau “keadaan” sesuatu. Ontology dapat mendekati masala...

Strategi Pembelajaran

Mengapa Perlu Strategi Pembelajaran ? Ada Istilah”Strategi/Metode lebih peting dari pada materi ”.... •          Di antara tugas guru d a l a m persiapan pembelajaran ad a l ah memikirkan: Cara agar siswa d a p a t memproses informasi y an g disampaikan Cara mengaitkan informasi baru d engan g pengetahu-an yg sebelumnya sudah dimiliki siswa. Cara menciptakan situasi dan kondisi agar siswa dan memproses informasi d enga g lebih mudah & cepat dipahami sekaligus melekat lama d a l a m ingatan mereka. Ceramah •          Ceramah: m e r u p akan strategi pembelajaran y an g paling populer •          Ceramah ad a l ah metode pembelajaran y an g dilakukan d en g an menyampaikan pesan & informasi secara satu arah lewat suara y an g diterima melalui indra telinga. Metode ini tepat untuk beberapa kondisi sbb: v J i ka ...

Beberapa Jenis Empirisme

Beberapa Jenis Empirisme 1. Empirio-kritisisme     Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik. baca jug:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-empirisme.html 2. Empirisme Logis      Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut : a. Ada batas-batas ba...

تَرْكِيْبُ البَرْنَامِجُ حَفْلْةُ التَخَرُجُ الفَتْرَةُ الرَابِعَة و الميلاد الجامعة ألإسلامية , العَامُ الدِرَاسِي أَلْفَيْنِ وَثمَانِيَةُ عَشَر أو ألفين وَتِسْعَةَ عَشَرَ مِلَادِيَة

تَرْكِيْبُ البَرْنَامِجُ حَفْلْةُ التَخَرُجُ الفَتْرَةُ الرَابِعَة و الميلاد الجامعة ألإسلامية , العَامُ الدِرَاسِي أَلْفَيْنِ وَثمَانِيَةُ عَشَر أو ألفين وَتِسْعَةَ عَشَرَ مِلَادِيَة تَرْتِيْبُ البَرْنَامِج البرامج الأول : دَخَلَ المَوَاكِبَ غُرْفَةِ الإِحْتِفَالُ البرنامج الثاني : قِرَاءَةُ القُرانِ الكَريم, سَيَتْلُوْهَا يُغْنِي الأَغْنِياءُ الاندونيسية رَاياَ   ومَارِسْ الجَامِعَةُ الإِسْلَامِيَةُ تُولغ باواغ Sigeh pangunten الَرقْصُ البرنامج الثالث: فَتْحُ جِلْسَةِ مَجْلِيْسُ الشُيُوْخُ البرنامج الرابع : قِرَاءَةُ مَرْسُوْم اِشْتِرَاعِيّ رَئِيْسُ الجَاِمِعَةُ الإِسْلاَمِيَةُ تولغ باواغ البرنامج الخامس : مَوْكِبُ التَخْرُجَ البرنامج السادس : تَوْكِيْدُ جَامِعُي البرنامج السابع : تَعْهِدُ الخَرِيْجِيْنَ الجَامِعَةُ الإِسْلاَمِيَة تُوْلَغْ بَاوَاغْ البرنامج الثامن : تَقْدِيمُ أَفْضَلُ الشَهَادَةِ البرنامج التاسع : كَلِمَةُ الإِسْتِقْبَالُ v       رَئِيْسُ الجَاِمَعَةِ الإِسْلَامِيَةِ تُوْلَغ بَاوَاغ v    ...