Skip to main content

Parameter dan Pengujian kebenaran Ilmu Imam Al-Ghozali


Parameter dan Pengujian kebenaran Ilmu
Jika menurut Al-Ghozali, segala sesuatu mempunyai esensi yang,  selain esensi Allah dapat diketahui dengan epistemologi di atas sedangkan ilmu adalah hasil proses kegiatan epistemologi terseut berupa proposisi atau copy objek pada mental subjek yang sesuai dengan realitas objek sendiri, malahnya adalah apa parameter kebenaran ilmu itu dan bagaimana cara pengujiannya? yang lebih fundemental dalah apa kebenaran itu?
masalah kebenaran (truth) memang merupakan puncak kajian epistemplohi yang bermuara pada metafisika. Bahkan ia merupakan pokok masalah filsafat pengetahuan, yang justru di cari dan dicoba pemecahannya oleh Ghozali dengn epistemologi dan proses perjalanan hidupnya seperti di muka. Setidaknya, tiga aspek permasalahan dikaji, yaitu segi esensi, parameter, dan cara pengujian kebenaran
1. Konsep kebenaran
Esensi  "kebenaran" telah dirumuskan dengan beberapa term seperti alethei (Yunani) veritas (latin) dan truth (Inggris). Secara etimologis aletheia berarti 'luput dari perhatian, tidak kelihatan dan tersembunyi'.  kemudian ia berubah menjadi positif, yaitu "sesuatu yang ditemukan, dipahami, terlihat, dan berkilauan'. Dari sini, ia berarti" daya terang atau evidensi realitas", dan penemuan akal terhadap evidensi tersebut'. Kata veritas secara  etimologis berarti "pilihan atau kepercayaan akal', atau sesuatu yang dipilih atau dipercayai akal'. Dalam konteks lingustik ini truth berarti " apa yang di pahami dan dipilih aka", atau kegiatan yang menyebabkan akal berhasil menemukan dan memilih.
Oleh karena itu, menurut Regis, meskipun arti etimologis kata tidak memberikan batasan makna filosofisnya, pemikiran kefilsafatan mesti bertitik-tolak dari definisi nominal  mengenai kebenran yang dapat dirumuskan dengan;" Kebenaran adalah kecocokan antara pemikiran dan objeknya. Akan tetapi dalam peta pemikiran kefilsafatan telah muncul beberapa teori tentang kebenaran, yang pada pokoknya adalah teori korespondensi, koherensi, dan relativisme-kontekstualisme, kemudian  tentativisme, pragmatisme, dan dominasisme. Peta teori kebenran ini, paralel dengan peta konsep realitas, yaitu konsep "being qua being", being qua processing, dan "being qua perceived being'.
Al-Ghozali sering memakai term haqq-batil (kebenaran-kesalahan) dalam konteks ontologi, term sawab-khata (ketepatan-kekeliruan) dalam konteks ijtihad dan proses epistemologi, term sahih-fasid (valid-invalid) dalam konteks proses epistemologi dan status hukum dan term sidq-kizb (benar-bohong) dalam konteks peryataan lisan.
Menurutnya,  haqq adalah lawan batil. Ia dipakai untuk'; (a) menunjuk ada objektif, dalam arti ini adalah maujud (realitas, yang nyata ada), (b) menunjuk ada subjektif, yakni konsep mental yang sesuai dengan realitas objek, dalam arti ini, ia ilmu dan (c) menunjuk ada dalam ucapan, dalam arti ini ialah sidq sebagai lawan kizb . Dengan demikian dalam arti proposisi dan konsep akal tentang objek yang sesuai dengan realitas objek sendiri, kebenaran (haqq) indentik dengan ilmu. Makna  ini pula yang dipakai ahli semantik Arab, yaitu bahwa haqq adalah putusan yang cocok dengan kenyataan, baik dalam arti ucapan maupun dalam arti kepercayaan dan keagamaan.
Secara umum, dari keseluruhan kitab dan asumsi dasar filsafat ilmu Al-Ghozali, yang lebih melihat realitas dari sudut esensinya sebagai being qua being, diketahui bahwa esensi kebenaran ilmu menurutnya adalah cocoknya informasi, persepsi, proposisi, tesis, atau teori dengan kenyataan objek sendiri, baik berupa partikular di luar mental subjek, maupun universal dalam akal yang bersandar pada partikular-partikular itu, atau berupa satuan konsep mental yang tidak mempunyai wujud dalam realitas objektif-faktual, seperti hukum-hukum logika dan metamatika. Dengan demikian, Al-Ghozali menganut teori kebenran korespondensial.
Mengenai teori kebenaran di atas, Al-Ghozali sama dengan semua pemikir muslim dan kaum realis lain yang menentang skeptisisme absolut dan idealisme subjektif. Akan tetapi, ia membedakan secara tegas antara fakta sebagai realitas objektif yang  menjadi objek ilmu faktual-teoritis, dengan nilai yang menjadi objek ilmu praksis (etika dan hukum). Jika dalam ilmu faktual, ia mengenal kebenaran objektif-universal yang tunggal, baik yang dari sudut epistemologi finalmaupun yang tentatif, dalam ilmu praktis, ia menganut relativisme-pluralisme kebenran, kecuali yang dideklarasikan Tuhan dan diketahui secara pasti.
Dengan demikian, ia dan semua pemikir muslim serta kaum realis lain menolak teori-teori kebenran berikut; (a) Teori koherensi, yaitu bahwa kebenaran adalah apa yang koheren-konsisten dengan sesuatu yang lain dalam struktur realitas, dalam arti bahwa hanya itulah, esensi kebenaran dengan menolak kebenaran korespondensial,  seperti dari Plato, Hegel, Berkley dan sebagainya. Akan tetapi, Al-Ghozali mengakui kebenran koherensi-konsistensi dalam arti logis, di samping kebenaran metafisis, yaitu korespondensi, seperti  diikuti Thomas Aquinas. (b) Teori relativisme-kontekstualisme, yaitu bahwa kebenaran tidak mempunyai esensi pada dirinya sebagai sesuatu yang objektif-otonom, melainkan sesuatu yang relatif-kontekstual, seperti  dari kaum fenomenalis-pluralis. (c) Teori kentativisme dalam arti bahwa kebenaran adalah apa yang diterima pada masa dan tempat tertentu, dan kesalahan atau kepalsuan adalahhh apa yang ditolak. Akan tetapi , tentavisme dalam arti bahwa tentativitas itu hanya merupakan sifat dari kebenaran peryataan atau teori, bukan esensi kebenaran sendiri, seperti akan terlihat, Al-Ghozali menganutnya. (d) teori pragmatisme, yaitu bahwa kebenaran adalah apa yang berguna, dan kepalsuan adalah apa yang tidak berguna, seperti dari C.S. Peirce, William James, dan Jhon Dewey. (e) Teori dominasi yaitu bahwa kebenaran adalah apa yang menang atau menguasai, sedangkan kesalahan adalah apa yang kalah atau dikuasai, seperti diajukan Marx yang banyak dipakai orietalis dan misionaris.
Kelima teori diatas, kecuali tentativisme dalam arti sifat  dan koherensi-konsistensi dalam arti logika, sebenarya merupakan refleksi dari skeptisisme absolut yang sudah muncul sejak zaman Yunani pada kaum sofis, dan di kembangkan oleh kaum idealis, terutama sebagai dampak dari Kantianisme. Kesalahan esensial pada  kelima teori tersebut adalah bahwa semuanya mencampuradukkan antara fakta, sebagai realitas objektif dan otonom yang tidak bergantung pada disposisi kita, dengan nilai-nilai moral dan sosial politik yang menurut Al-Ghozali adalah "Tujuan-tujuan" atau sesuatu yang socialy constructed, yang pada dasarnya relatif kontekstual dan tidka mempunyai esensi pada diri.

Comments

Popular posts from this blog

Pengujian kebenaran ilmu Al-Ghozali

Pengujian kebenaran ilmu Menurut Al-Ghozali, semua proposisi atau teori ilmiah harus diuji kebenrannya dengan metode falsifikasi dan atau verifikasi berdasarkan kreteria di atas. Istilah "falsifikasi dan verifikasi" yang populer pada abad 20 dalam konteks rasionalisme kritis dan positivisme logik, esensinya inheren di dalam teori pengetahuan atau filsafat ilmu sendiri. Di sini, Al-Ghozali menyebut" pengujian" dengan beberapa term, seperti taftisy (pengujian, pemeriksaan), istiqsa, bahs, ittila, mumarrasah (analisis, pengkajian, penelaahan dan penelitian secara kritis, tajam dan mendalam), tajriban (pengujian dengan eksperimen ) dan suluk (penelusuran). Verifikasi disebutnya dengan term "tahqiq" (pembuktian kebenaran), isbat (penentapan/peneguhan) dan tamhid li haqq (penyiapan jalan atau korobasi bagi kebenaran). Falsifikasi disebutnya dengan beberapa term berikut. a. Radd (penolakan, penyanggahan) seperti dalam kalimat: Artinya"   sebagi radd...

Tips memimpin diskusi

  Lihat juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/metode-diskusi.html   Tips memimpin diskusi. Didialam diskusi tentu ada seorang yang memimpin agar diskusi yang dilakukan berjalan dengan tertib sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karenanya seorang pemimpin sangat berpengaruh besar dalam keberhasilan sebuah diskusi. Di bawah ini ada beberapa tips dalam memimpin sebuah diskusi yang dapat kita implementasikan ketika kita ditujuk oleh guru,pembibing atau siapapaun untuk menjadi pemimpin/ketua. 1.     Mengungkapkan kembali apa yang dikatakan oleh seorang siswa sehingga siswa tersebut meraasa bahwa pertanyaan atau komentarnya dipahami dan siswa lain dapat mendengar ringkasan apa yang telah ditanyakan. 2.     Mengecek pemahaman guru tentang apa yang dikatakan siswa atau meminta siswa untuk menjelaskan apa yang mereka katakan. 3.     Memberikan pujian atau komentar yang lebih mencerahkan 4...