Parameter kebenran ilmu
apa paremeter
kebenran ilmu itu? Parameter kebenaran ilmu secara umum adalah logika
peripatetik, yang disebutnya Mi'yar al- Ilm dan al-Qistas al-Mustaqim, yang
berupa burhan haqiqi, baik unsur premis-premisnya (daruriyah yang lima) maupun
unsur bentuknya yang lima (al-mawazin al-kamsah). ia mengatakan:
Artinya" Aku
berkata, "jauh sekali. Aku tidak mengklaim bahwa aku menimbang dengannya
(logika peripatetik) hanya pengetahuan-pengetahuan keagamaan saja, tapi aku
menimbang dengannya ilmu -ilmu matematika, geometri, fisika, fiqih, kalam, dan
semua ilmu esensial (natural) dan bukan kultural, dan aku membedakan yang benar
dengan yang salahnya dengan neraca-neraca ini. Betapa tidak, sebab dialah
" timbangan yang lurus' dan neraca yang merupakan pendamping Al-Kitab dan
Al-Qur'an.
Artinya, parameter
kebenaran ilmu mengenai objek-objek sensual adalah sesuainya proposisi atau
dengan realitas objek sensual sendiri
menurut bukti-bukti empirik-sensual yang dikontrool oleh akal, yaitu pengalaman
intenal (musyahadat batiniyah), obervasi dan emipri sensual lain (mushadat
zahirah/hisyyiyat0, eksperimen-eksperimen (tajribat0 dan tawatur mengenai
objek-objek tertentu. Mengenai objek-objek rasional-metafisis adalah silogisme
(qiyas) yang tersusun dari premis-premis a priori menurut bnetuk "yang
lima "(al Mawazin al-Khamsah) yakni suatu proposisi atau teori
rasional-metafisis tidak benar jika irasional atau kontradiksi dengan kebenaran
menurut kreteria tersebut, benar jika rasioanl menurut kreteria tersbut, dalam
arti memenuhi persyaratan materi dan bentuk silogisme dan mempunyai peluang
untuk benar (mukmin, probab;le) bila transendental samapai ada bukti empirik
yang menyangkal (falsifikatif) atau mengukuhkanya (verifikatif) seperti wahyu
bagi nabi dan musyahadah (kasyf) yang
tidak irasional bagi wali.
Kreteria di atas kelihatnya bukan hanya di
ajukan Al-Ghozali, tapi juga oleh para filsof relis-paripatetik lain, kecuali
mengenai pembuktian dengan wahyu dan penyaksian kasyfi, yang tidak irasional. Seperti
dikatakan Sbhani, banyakk kaum modernis yang mengira bahwa konsep Aristotelian
tersebut merupakan konsep rasional murni yang dilawankan dengan empirisme
Francis Bacon (1561-1626). Bila yang
dimaksud adalah konsep Aristotelian tidak berpijak pada bukti -bukti
empirik-sensual, anggapan tersebut tidak benar, sebab silogisme sendiri
berpijak pada premis-premsi a priori. Yang benar adalah bahwa keabsahan
teori-teori menurut konsep Aristotelian itu bersandar pada penalaran rasional,
termausk pengakuan terhadap konklusi-konklusi dari bukti-bukti empirik
tersebut.
Sperti sering
disebutkan, menurut Al-Ghozali, laporan pancaindra sebagai"
serdadu-serdadu" akal untuk dunia fisis-sensual yang disebar ke lima
sektor itu, cukup akuart dan secara kumulatif tak dapat diragukan. Kekeliruan
laporan salah satunya, seperti indra mata dalam kasus tertentu, dikontrol oleh
laporan kumulatif indra-indra lain dan oleh akal sendiri. Dengan kata lain,
Al-Ghozali menjadikan pancaindra sebagai sarana memperoleh ilmu mengenai dunia
fisis, sekaligus sebagai parameter kebenarannya di bawah kontrol akal dan
logika.
Akan tetapi,
proposisi bahwa bukti-bukti empirik adalah parameter kebenaran ilmu-ilmu empirik diketahui akal
secara a priori. dan, esensi dari subtansi material dalam arti filosofisnya
tidak terjangkau oleh pancaindra yang hanya bisa menangkap aspek-aspek luarnya,
seperti warna, bentuk, dan ukuran, melainkan hanya bisa diterobos dengan akal.
akan tetapi, ketika menurutnya akal tdak mengetahui apa-apa tentang dunia
fisis, kecuali dengan bentuk pancaindra, bagaimana mungkin akal bisa mengetahui
esensi fisis tersebut? ini berarti, yang dimaksud bahw aakal mampu mengetahui
esensi fisis sesuatu itu bukanlah melalui pancaindra, melainkan melalui kasyf
dalam epistemologi fase II. Jika metode kasfyi dibuang, dapat dipahami tesis
Syatibi dan Kant bahwa manusia tidak akan bisa mengetahui esensi sesuatu yang
oleh Kant disebut "neumena" melainkan hanya dapat mengetahui aspek
luarnya, yang oleh Kant disebut" Fenomena".
Mengenai aspek-aspek
dunia metafisis dan Realitas Mutlak yang transendental , parameter kebenaran
itu adalah teks wahyu (Al-Qur'an dan hadist) yang maknanya diketahui secara
pasti menurut standar Ijma dan logika untuk derajat "formal". Akan
tetapi, untuk derajat "esensial" adalah pembuktian empirik intuitif
(musyahadah/mukasafah) melalui mujahadah-riyadah, dengan syarat tidak irasional
yakni tidak kontradiksi dengan akal dan logika. Dengan demikain, pada akhirnya
parameter kebenaran dalam soal-soal metafisis pun adalah akal dan logika dalam
arti di atas.
Karena itu,
Al-Ghozali menegaskan bahwa semua
realitas yang diungkapkan oleh teks wahyu yang kedudukan dan penunjukannya
pasti, dan tersingkap melalui kasfy, yang menurut akal dan logika tidak
irasional, oleh orang yang tidak mencapai wahyu atau kasyf harus ditempatkan
dalam kawasan "kemungkinan rasional" yang transendental, yang akal
dan logika hanya merupakan kreteria falsifikasi. Dan, keterbatasan pengalaman
hanya pada dunia fisis sensual dari orang-orang tertentu, seperti kaum Stoa,
kaumZindiq , Comte, Marx, dan Carnap tak dapat dijadikan parameter kebenaran
ilmu dan melegitimasi" demarkasi fakta empirik" sebagai alat untuk
mengeliminasi realitas metafisis dan ilmu tentangnya. Akan tetapi, seperti kata
Al-Qur'an "itulah puncak capaian ilmu mereka. Dalilny sederhana saja,
"Tidak menyaksikan tidak menunjukkan kemustahilan".
mengenai ilmu
praksis (etika dan hukum), parameter kebenarannya secara umum terlihat dari
kelima prinsip" teori penafsiran" dan prinsip-prinsip dasar ilmu usul-fiqh
di muka. Intinya adalah akal dan prinsip-prinsip dasar logika, ijma, serta teks
Al-Qur'an dan Hadist yang kedudukan dan penunjukannya pasti. Akan tetapi, dalam
lapangan ijtihadi, yang relatif-kontekstual, parameter itu adalah ketepatan
dalam persyaratan dan proses ijtihadi sendiri. Ia mengatakan:
Artinya" Bila
ijtihadi yang sempurna terbit dari ahlinya serta mengenai lapangannya apa yang
dihasilkan oleh ijtihad itu adalah kebenaran dan ketepatan'.
Dalam tataran
politik praktis di dalam praktis di dalam komunitas muslim, Al-Ghozali mengakui
kreteria "kebenaran" yuridis berupa prinsip mayoritas dan dominasi
sesudah kualifikasi yuridis sendiri, yakni bahwa sebuah otoritas dan pendapat
dukungan mayoritas atau secara de facto mendominasi semua kukuatan politik
lain.
Comments
Post a Comment