Skip to main content

PUDARNYA PESONA ILMU AGAMA


REVIEW BUKU 
“PUDARNYA PESONA ILMU AGAMA”

Karya Dr. Muhyar Fanani 



Abstrak
Dalam catatan sejarah, ada banyak paradigma-paradigma yang bermunculan pada umat Islam. Grafik pergeseran paradigma paling tinggi terjadi pada era keemasan peradaban Umat Islam antara abad IX M hingga pertengahan abad XIII M. Pada masa setelahnya, pergeseran paradigma terjadi dengan sangat lambat. Sampai saat ini, pada cabang-cabang ilmu tertentu (semisal Kalam, tasawuf, filsafat Islam), belum ada konsensus tentang paradigma mana yang dianggap paradigma terkuat. Pendekatan murni sejarah yang banyak mendominasi penelitian tentang sejarah ilmu-ilmu Keislaman, tidak memungkinkan seseorang utnuk memahami paradigma yang pernah berkembang dan mati dalam suatu ilmu. Perlu adanya suatu pendekatan baru untuk menjawab itu semua. Salah satunya adalah pendekatan dengan menggunakan teori pergeseran paradigma (paradigm shift)Thomas S Kuhn. Dalam buku ini, setidaknya penerapan pendekatan sejarah bermazhab Kuhnian mencoba untuk mengidentifikasi ada tidaknya pergeseran paradigma dari masa ke masa dalam peradaban Umat Islam. Untuk menjawab itu semua, maka dipilihlah tiga gugus pengetahuan Keislaman, yakni bayani diwakili ilmu kalam, irfani diwakili ilmu tasawuf, dan burhani diwakili filsafat Islam. Dari hasil penelitian, maka dapat diketahui bahwa terjadi persaingan tidak sehat pada paradigma yang tumbuh di umat Islam. Secara garis besar, hal ini disebabkan oleh tirani ilmiah dan intervensi penguasa. Selain itu, berdasarkan kajian sejarah pengetahuan atas ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan filsafat Islam, maka perlu diadakan upaya demokrasi ilmiah dan menghindarkan terjadinya tirani ilmiah. Upaya tersebut dapat diwujudkan dengan beberapa cara, di antaranya membangun iklim akademis yang berbasis pada civil society, membangun lembaga-lembaga pendidikan dan iklim akademik yang bebas, menimilasisasi motif perbaikan nasib umat, melalukan continuing research, sosialisasi karya-karya ilmiah secara masif, serta mengupayakan terciptanya sebuah konsensus di kalangan ilmuwan ushuluddin.

A.RINGKASAN ISI BUKU
Jika dicermati dengan seksama, grafik pergeseran paradigma paling tinggi pada kubu Islam terjadi antar abad IX M hingga pertengahan abad XIII M tepatnya pada masa Dinasti Abbasiyah.  Ada banyak penyebab kenapa hal tersebut bisa terjadi. Salah satunya adalah kecenderungan umat Islam yang lebih suka memilih paradigma ad hoc  dan mengabaikan pencarian tuntas terhadap paradigma baru. Jika pun ada pergeseran paradigma dalam satu ilmu, itu hanya berlangsung setengah-setengah (bersifat semu), karena faktor politik kekuasaan lebih mengambil peran.  Dari fenomena di atas, maka dapat diidentifikasi bahwa ada ada kesenjangan dalam dinamika keilmuan Islam. Ternyata pada masa majunya peradaban Islam, justru pergeseran paradigma berlangsung semu atau setengah-setengah. Bahkan setelah abad ke XIII M, pergeseran paradigma seakan-akan tidak terlihat sama sekali.
Untuk menjawab itu semua, Muhyar menyatakan perlu adanya suatu terobosan baru dalam mempelajari pergeseran paradigma tersebut. Salah satu bentuk terobosan yang ditawarkan adalah pendekatan dengan menggunakan teori pergeseran paradigma (paradigm shift) Thomas S Kuhn yang ia tulis pada buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama. Selanjutnya, untuk mempelajari pergeseran paradigma ini, ia hanya memilih tiga gugus pengetahuan, yaitu bayani yang diwakili dengan ilmu kalam, irfanidengan ilmu tasawuf, dan burhanidengan filsafat islam. 
Pada bab ketiga dari buku ini, Muhyar Fanani membuka pembahasan dengan subtema Tirani ilmiah pada ilmu Kalam. Ilmu kalam itu sendiri mempunyai beragam nama. Seperti ilmu tauhid, ilmu ushuluddin, ilmu dan aqidah/aqo’id. Ilmu kalam baru terbentuk pada akhir abad II H dan awal abad III H (VIII/IX M) pada masa pemerintaahan al-Mamun (198-218 H/813-833 M) dari bani Abbasiyyah. Persoalan kalam muncul pada masa tabi’in terutama Bani Umayyah yang menyokong paradigma Jabbariyah. Sayangnya, persaingan paradigma pada ilmu kalam sering tidak diselesaikan secara murni ilmiah, tetapi diselesaikan oleh adanya intervensi politik atau dukungan dari faktor eksternal yang sering tidak rasional.
Sejak terbunuhnya Utsman, muncullah tiga benih paradigma, Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Khawarij menyatakan keluar dari kepemimpinan Muawiyah yang menurut mereka terlibat dalam pembunuhan Ali. Murjiah sangat menguntungkan Bani Umayyah dan Bani Marwan karena bagi paradigma ini tindakan membunuh Ali dan Husein bin Ali merupakan takdir Allah. Karena itulah, paradigma Mur’jiah dipakai oleh penguasa Bani Umayyah untuk kepentingan politiknya 
Setelah Mu’tazilah mengalami kemerosotan, paradigma moderat Asy’ariyah muncul. Paradigma ini didirikan oleh Abdul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M).  Paradigma ini merupakan paradigma jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan tekstualis. Teologi Asy’ari yang bersifat tawasuth dan moderat itu sejalan dengan pandangan Abu Manshur al-Maturidi (w.333 H/9444 M). Selain didukung penguasa, paradigm Asy’ariyyah juga dimasyarakatkan oleh mazhab-mazhab fikih terutama Syafi’i dan Maliki. Mereka (masyarakat) tidak berani mengambil paradigma kalam yang berbeda dengan paradigma kalam para tokoh yang mereka ikuti. 
Muhyar Fanani menyimpulkan bahwa pergeseran paradigma yang terjadi dalam ilmu kalam sebelum abad XIX M berlangsung semu. Ini menandakan adanya tirani ilmiah, seperti intervensi penguasa atau dukungan mazhab fikih tertentu. Hanya ada dua paradigm kalam yang masih berlaku di dunia ini, yakni paradigm Asy’ariyyah dan paradigm Salafiyyah. 
Sedangkan paradigma kalam modern, pada akhir abad XIX dunia Islam dibangunkan oleh paradigma rasional Muhammad Abduh. Tidak ada tulisan-tulisan yang menyebutkan langsung tentang corak pemikiran teologi yang dimiliki oleh  yang oleh Muhammad Abduh. Menurut adams, teologi Muhammad Abduh termasuk kedalam aliran Ahlusunnah. Tambahnya, pada dasarnya memang tidak jauh berbeda dengan teologi pada umumnya yang diterima. Lebih jauh Horten berpendapat bahwa Muhammad Abduh dalam banyak hal mengikuti Ahlusunnah secara ekstrim. Menurut Hourani menyebutkan bahwa teologi Muhammad Abduh bercorak al-Ghazali dan al-Maturidi, serta dipengaruhi Muta’zilah. 
Salah satu kerangka berpikir teologi yang ditawarkan Abduh ada dua; 1) wahyu diterima kebenarannya dengan pengakuan bahwa maksudnya tidak dapat dipahami dan diserahkan pada Allah. 2) wahyu dipahami dengan pengertian yang ditunjukkan oleh akal, sambil memelihara ketentuan Bahasa.  Apabila dipahami sekilas, maka paradigma yang ditawarkan oleh Abduh bukanlah sesuatu hal yang baru. Ia mencoba untuk melanjutkan kembali paradigma yang muncul di masa lalu dengan variasi yang baru.
Hassan Hanafi menawarkan teologi modern yang berbeda. Menurutnya, ilmu kalam klasik terlalu teosentris, sehingga hanya berkutat pada objek yang tidak jelas dan berada di luar kenyataan hidup manusia. Ia menginginkan teologi tidak lagi bercorak teosentris, tetapi bercorak antropologis. Dalam pandangan tersebut masih bersifat teosentris. Tipologi pemahaman ini memiliki kecenderungan pada “romantisme agama”. Dalam keadaan seperti ini, manusia lupa bahwa agama tidak hanya urusan akhirat semata. Apabila hal itu terjadi, maka kemungkinan besar akan melenyapkan potensi manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. 
Karena ilmu kalam baru Hanafi tidak pernah disokong oleh para penguasa, maka hingga sekarang ide Hanafi itu kurang populer bila dibandingkan dengan kalam Asy’ariyyah. Nasib paradigma Hanafi juga dialami oleh paradigma Muhammad Sahrur dan paradigm kritis Shariati dan Ashgar. Paradigma kritis Ali Shariati (Iran) dan Asghar Ali (India) dinamakan teologi pembebasan.
Persaingan paradigma melibatkan paradigma lama (salaf, Asy’ariyah) dan paradigma baru (Hassan Hanafi, Syahrur, dan Shariati-Ashgar) belum menghasilkan paradigma terkuat. Bila sebelum abad XIX terjadi pergeseran paradigma yang bersifat semu, maka pasca abad XIX tidak terjadi pergeseran. Pada masa ini yang terjadi hanyalah persaingan (paradigm war).  
Selanjutnya dalam buku ini, dalam bab tersendiri, Muhyar membahas tentang tirani ilmiah pada ilmu tasawuf. Pada dasarnya, tasawuf sudah dikenal pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in. Hanya saja pada saat itu, sebutan yang lebih populer adalah zahid, abid, dan nasik. Term tasawuf baru dikenal secara luas pada penghujung abad kedua Hijriah. Mereka mengkhususkan diri untuk beribadah kepada Allah dan mengembangkan kehidupan rohaniah serta mengabaikan kenikmatan duniawi. Inilah pola hidup keshalehan yang kemudian menjadi awal pertumbuhan tasawuf. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme yang merupakan fase pertama dalam perkembangan tasawuf. 
Para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku, ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi, atau tasawuf sunni. Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof , disamping sebagai sufi.  Tasawuf Sunni(paradigma sunni) ditokohi oleh para ulama Asy’ariyah, seperti al-Ghazali (w. 1111 M).  Sementara tasawuf falsafi(paradigma falsafi) ditokohi para tokoh sufi-filosofis seperti Abu Yazid al-Busthami (w. 874 H).  Muhyar berpendapat bahwa ada keterkaitan pengusa dalam paradigm shift antara paradigma sunni dengan paradigma falsafi. 
Tasawuf sunni ialah bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan al quran dan al hadis secara ketat, serta mengaitkan ahwal atau keadaan dan maqamat (tingkatan ruhaniah) mereka kepada kedua sumber tersebut. Dalam konsepsiya, paradigma sunni hanya menerima tasawuf yang berdasarkan al-Qur’an dan sunnah serta bertujuan askaetisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Sementara tasawuf falsafi memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Benih-benih paradigma falsafi mulai muncul baru pada abad III H (IX M) meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Jika paradigma sunni selalu berorientasi pada sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan Sunnah), maka paradigma falsafi berorientasi pada Hermes di era Yunani Kuno. 
Dalam sejarah, paradigma sunni jauh lebih populer di mata masyarakat. Ini bukan lagi persaingan ilmiah tapi dikotori oleh persaingan politik dengan ditandai aksi pemenjaraan dan pembunuhan. Selama abad V H (XI), paradigm sunni terus tumbuh, sementara paradigma filosofis tenggelam disebabkan oleh semakin berjayanya Asy’arisme yang begitu didukung oleh para penguasa. Asy’arisme jelas menolak paradigm filosofis dalam tasawuf. Memasuki abad VI H (XII M), paradigma Sunni tumbuh menjadi tarekat-tarekat berdasarkan garis paradigm sunni rumusan al-Ghazali sementara paradigm falsafi mengalami kemerosotan yang serius. 
Dalam ilmu tasawuf, juga terjadi yang penulis sebut dengan pseudo paradigm shift. Ini berarti persaingan paradigma diselesaikan dengan cara politis. Rupanya persaingan paradigma (paradigm war) dalam bidang tasawuf ini juga dimasuki oleh keterlibatan penguasa dan dominasi Asy’arisme. Pseudo Paradigm-shift telah menjadikan ilmu tasawuf mengalami kemunduran. 
Selanjutnya, Muhyar menjelaskan tentang tirani ilmiah pada filsafat Islam. Filsafat/filosofi itu sendiri berasal dari kata Yunani yaitu philos (suka)dan sophia (kebijaksanaan), yang diturunkan dari kata kerja filosoftein, yang berarti : mencintai kebijaksanaan, tetapi arti kata ini belum menampakkan arti filsafat sendiri karena “mencintai” masih dapat dilakukan secara pasif. Pada hal dalam pengertian filosoftein terkandung sifat yang aktif. 
Definisi filsafat Islam, al-Kindi; pengetahuan tentang hakikat sesuatu dalam batas kemungkinan pengetahuan manusia. Al-Farabi; pengetahuan tentang eksistensi qua eksistensi, ada sebagai ada itu sendiri. Ibn Sina; merupakan upaya penyempurnaan jiwa manusia melalui pengkonsepsian segala sesuatu dan penimbangan kebenaran-kebenaran teoritis dan praktis dalam batas-batas kemampuan manusia. Dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu sepanjang kesanggupan manusia. 
Filsafat Islam bukanlah jiplakan dari filsafat Yunani, melainkan hasil perenungan masalah-masalah umat Islam sendiri. Memang benar berbagai penerjemahan buku-buku Ynuani ke dalam Bahasa Arab telah membantu para filsuf muslim untuk merumuskan filsafat Islam. Numn bukan berarti menjiplak apa adanya tanpa kreasi sedikitpun. Para filsuf muslim berkreasi dalam suatu kerangka yang sudah ditetapkan oleh wahyu. Walaupun mereka melakukan penyelidikan-penyelidikan filsofis yang liar, namun mereka tetap mengindahkan doktrin agama yang mereka percayai kebenaranya. 
Menurut Al-Jabiri dalam buku Takwin al-Aql al-Farabi, ada perbedaan mendasar antara pola fikir filsafat Islam dengan pola fikir Yunani. Dalam Islam, yang dimaksud dengan berfikir (aql) lebih merupakan tindakan atau penjelasan bagaimana seseorang harus berbuat. Sedangkan dalam tradisi Yunani, akal lebih merupakan pemikiran yang berkaitan dengan upaya mencari sebab dari sesuatu. Perbedaan pola pikir tersebut disebabkan perbedaan pijakan yang digunakan. Dalam pola pikir filsafat Islam, adalah kata atau bahasa, sedangkan Yunani berpijak pada makna dan logika.
Filsafat Islam tidak memiliki kontinuitas pemikiran sebagaimana filsafat barat. Filsafat Islam berpijak pada konsepsi spiritual tentang manusia dan alam, sementara filsafat barat bersifat sekuler dan mengesampingkan wawasan ketuhanan. Akibat dari filsafat Islam yang demikian spiritualistic adalah, ia tidak pernah terpisah dari semangat ideologis. 
Lebih jauh lagi, Muhyar juga menambahkan pembahasan tentang metafisika dalam Islam. Metafisika berarti sesuatu yang melampaui atau sesudah fisika. Aristoteles; metafisika adalah filsafat pertama (the first philosophy) yang membicarakan prinsip-prinsip universal. Dalam perkembangannya metafisika diartikan sebagai sesuatu yang berada di balik alam. Metafisika Islam diwarnai oleh Tarik-menarik antara paradigm dialektik yang dipergunakan oleh kaum teolog dengan paradigma demonstratif yang dipergunakan oleh kaum filsuf. Paradigma pertama ditokohi oleh al-Ghazali (1055-1111 M) , sementara paradigma kedua ditokohi oleh Ibn Rusyd (1126-1198 M).  
Paradigma dialektik menekankan metode dialektis (Tanya-jawab) yang rasional, mengabaikan pengalaman empiris, dan mengedepankan argumentasi wahyu sebagaimana terlihat dalam ilmu kalam. Sementara paradigma demonstratif berisi pembuktian atas segala bentuk penalaran rasional berdasarkan pengamatan empiris dengan tetap mempertimbangkan wahyu.
Al Ghazali, dalam penutup “Tahafut al-Falasifah” dengan uslub dialogis mengkafirkan para filosof dan keharusan memberi hukuman mati bagi siapa yang menganut aqidah mereka itu. Karena mereka menyimpang dalam tiga perkara: (1) pandangannya tentang keqadiman alam, dan bahwa semua jauhar itu qadim juga, (2) pandangannya bahwa pengetahuan Tuhan itu tidak menjangkau  “al Juziat al hadisah min al asykhas, partial yang merupakan ciptaan baru dari suatu komponen dan,(3) pandangannya tentang kebangkitan rohani dan jasad dan penghimpunannya kelak di akhirat. 
Menurut al-Ghazali, pandangan metafisika kaum filsuf itu tidak didasarkan pada nalar yang meyakinkan dan penyelidikan positif tetapi pada spekulasi yang aneh. Sebaliknya, Ibn Rusyd menuduh al-Ghazali telah salah dalam memahami Aristoteles. Ia meyakini bahwa berpikir yang menjadi esensi filsafat merupakan perintah al-Qur’an. Menurut al-Ghazali, di dunia ini tidak semua hal bergantung pada sebab, seperti peristiwa-peristiwa dalam mukjizat. Adapun Ibn Rusyd menyatakan segala sesuatu mempunyai sebab yang mempengaruhi kepada apa yang datang sesudahnya dan terpengaruh oleh apa yang ada sebelumnya, dan begitu seterusnya sampai pada sebab pertama (Allah). 
Paradigma al-Ghazali menang karena Asy’arisme lebih didukung oleh para penguasa dan mazhab-mazhab fikih. Al-Ghazali adalah eksponen utama Asy’arisme. Mereka tidak berani mengambil paradigm kalam yang berbeda dengan paradigm kalam para tokoh fikih yang mereka anut. Faktor kemenangan al-Ghazali dari Ibn Rusyd yaitu faktor dukungan penguasa dan faktor dukungan mazhab fikih. Fenomena paradigm shift dalam filsafat metafisika Islam berlangsung semu karena adanya intervensi faktor non ilmiah. Paradigma itu hidup dalam literature-literatur keislaman, namun sumbangannya bagi kemajuan dunia Islam menjadi sangat minim. 

B. KEGELISAHAN AKADEMIK
Sudah sekian lama, paradigma keilmuan Islam menjauhi praksis masyarakat. Teori-teorinya pun selalu merujuk pada era masa lalu yang jarang dikaitkan dengan problematika sosial kekinian kontekstual. Akibatnya mudah ditebak setiap kali ilmu keislaman dibicarakan, maka saat itu pula problem irrelevansi muncul.
Harus disadari, teori-teori ilmu keislaman banyak yang telah usang (obsolete) dan perlu diperbaharui lagi sesuai dengan konteks zaman sekarang. Namun, rupanya pengembangan teori berdasarkan paradigma lama akan sulit dilakukan karena anomali-anomali yang menyelimuti paradigm lama itu sendiri. Munculnya teori-teori baru hanya mungkin dilakukan bila kita menggunakan paradigma baru.
Kehilangan sikap kritis merupakan sebuah penyakit yang selalu harus diwaspadai oleh para pemerhati ilmu-ilmu keislaman. Kehilangan sikap kritis menyebabkan kita terjebak pada arus al-muhafazah li al-qadim, tanpa memilah mana yang baik dan mana yang benar. Apabila ini terjadi, maka aktivitas akademik yang dilakukan akan selalu bersifat ritual, cenderung mengulang masalah, dan cenderung menghindar dari masalah riil yang tengah terjadi di masyarakat.
Muhyar Fanani menyatakan bahwa penelitian tentang sejarah ilmu-ilmu keislaman lebih didominasi oleh pendekatan murni sejarah. Bahkan tidak jarang kajian sejarah ilmu-ilmu keislaman hanya berisi pembahasan secara kronologis para tokoh dalam suatu ilmu dan pemikirannya tanpa mendialogkan satu dengan lainnya. Pendekatan sejarah pengetahuan mazhab Kuhnian merupakan usaha seorang Muhyar Fanani dalam mengungkap fakta sejarah dalam penelitian agama. Ia merasa belum puas dengan pendekatan sejarah yang ada. Perlu adanya sebuah pendekatan baru yang dapat mengindefikasi paradigma suatu ilmu dan ada tidaknya pergeseran di dalamnya. Oleh karena itulah, Muhyar Fanani menawarkan pendekatan baru ini, yang termasuk hal baru dalam penelitian agama.

C. ARTI PENTING BUKU
Masalah utama yang dikaji dalam buku ini, dengan berdasarkan pendekatan sejarah pendekatan sejarah pengetahuan mazhab Kuhnian, adalah faktor apakah yang menyebabkan ilmu-ilmu Ushuluddin (dalam hal ini ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan filsafat Islam) mengalami kemunduran? Setelah sebab-sebab kemunduran diketahui, maka ke manakah arah pengembangan ilmu-ilmu ushuluddin ke depan? 
Selain mencoba untuk menjawab persoalan utama di atas, buku ini juga berusaha mendudukkan secara tepat kontribusi teoritis sejarah pengetahuan mazhab Kuhnian bagi pengembangan ilmu-ilmu ushuluddin. Di samping itu, kajian ini juga bertujuan untuk mencari solusi baru bagi kemacetan kreativitas yang dialami ilmu-ilmu ushuluddin saat ini, sehingga ilmu-ilmu ushuluddin dapat berkembang dan relevan dengan perkembangan zaman.
Dengan menggunakan teori paradigma shift Thomas Khun, buku ini mengurai dengan kritis tentang segi-segi kemunduran ilmu-ilmu dasar agama (ushuluddin) yang perlahan-lahan mulai redup sinarnya dan kehilangan pesonanya. Dengan merujuk pada tokoh-tokoh kontemporer seperti Muhammad Syahrur, Abid al-Jabiri, Hassan Hanafi, Asghar Ali dan lainnya. Buku ini mencoba untuk memberikan pemetaan mengenai pasang-surut ilmu-ilmu ini di tiap babakan sejarah masa lalu.


D. PENDEKATAN DAN METODOLOGI PENELITIAN
Banyak pendekatan yang digunakan dalam buku ini, antara lain pendekatan historis dan sosiologis. Satu hal yang membedakan dengan pendekatan dan metodologi penelitian dengan yang lainnya adalah penggunaan teori pergeseran paradigma (paradigm shift) Thomas S Kuhn yang –dikatakan oleh Dr. Muhyar Fanani– belum dipakai oleh para peneliti untuk meneliti ilmu-ilmu agama Islam.

 Pendekatan Historis
Dalam bahasa Arab, sejarah disebut tarikh yang secara harfiah berarti ketentuan waktu, dan secara istilah berarti keterangan yang telah terjadi pada masa lampau/masa yang masih ada. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah merupakan terjemahan dari kata history yang secara harfiah diartikan the past experience of mankind, yakni pengalaman umat manusia di masa lampau. 
Jadi sejarah adalah ilmu yang membahas berbagai masalah yang terjadi di masa lampau, baik yang berkaitan dengan masalah sosial, politik ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama dan sebagainya.
Pendekatan historis adalah salah satu upaya melakukan studi Islam dengan menumbuhkan perenungan untuk memperoleh hikmah dengan cara mempelajari sejarah nilai-nilai Islam yang berisikan kisah dan perumpamaan.
 Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Pendekatan sosiologis dilakukan dengan menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada sebuah perilaku.
Pendekatan Sosiologis digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak studi Islam dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari sosiologi. 
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya  perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Dari defenisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu itu suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut. 
Melalui pendekatan sosiologis, Islam dapat dipahami dengan mudah karena ia diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya, kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.
Ada empat pendekatan dalam sosiologis:
• Evolusionisme, yang mencari pola perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat;
• Interaksionisme, yang menerangkan interaksi individu dan kelompok,
• Fungsionalisme, yang menerangkan jeringan kerja sesama kelompok,
• Konflik, yang selalu melihat hubungan antar individu dan kelompok dalam masyarakat dalam kerangka tindakan memperoleh (merebut) dominasi dan mempertahankannya.
Dalam tulisan buku ini, sang penulis menggunakan pendekatan sosiologis konflik, dimana ia mencoba untuk melihat hubungan antara individu dan kelompok dalam mempertahankan atau memperoleh dominasi sebuah paradigma yang berkembang pada saat itu.
 Teori Pergeseran Paradigma dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Thomas Samuel Kuhn adalah pencetus teori paradigm shift. Ia lahir di Cinnati, Ohio, Amerika, 18 Juli 1922 dan meninggal pada 17 Juni 1996. Ia adalah seorang pakar sejarah sains Amerika. Mendapat gelar MA di bidang fisika pada 1946 dan beralih ke bidang sejarah sains (selesai 1949) di Harvard Univesity.  Melalui karyanya yang berjudul The Structure of Scientific Revolutions (1962), Kuhn mengkritik pandangan sebelumnya tentang perkembangan sains. 
Pergeseran paradigma adalah pergeseran secara radikal paradigma lama dengan paradigma baru karena paradigma lama sudah tidak mampu menjawab problem-problem ilmiah yang muncul kemudian. Menurut Kuhn, perkembangan sains bersifat revolusioner. Ia tidak ditentukan oleh falsifikasi empiris-logis, tetapi ditentukan oleh kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakat ilmuwan. Dalam arti lain, kesepakatan yang lama digantikan oleh kesepakatan yang sama sekali baru. 
Meskipun Kuhn menawarkan hal yang baru, tetap saja pemikirannya tersebut tidak lepas dari kritikan. Salah satunya dari Weinberg yang berpendapat bahwa pergeseran paradigma tidak otomatis mengakibatkan kita tak bisa memahami realitas ilmiah dengan paradigm lama. Selain itu ia merasa Kuhn juga tidak memberikan defenisi yang jelas tentang paradigma dan terlalu mendramatisi pertentangan sehingga menjadi revolusi antara normal science lama dengan yang baru.Sedangkan kritik Imre Lakatos, Kuhn terlalu miskin metodologi normative. Atas kriteria apa suatu paradigma bisa dianggap unggul dan berhak menjadi paradigm tunggal bagi norma science. Dalam artian lain, bahwa sesungguhnya tidak semua orang setuju dengan paradigma yang dibangun oleh Kuhn. 
E. KESIMPULAN PENELITIAN 
Setidaknya ada dua kesimpulan dari penelitian ini yang dapat dijadikan kontribusi bagi keilmuan Islam. 
 dari hasil pendekatan menggunakan teori Kuhn, maka ditemukan bahwa penyebab kemunduran ilmu-ilmu Ushuluddin adalah adanya tirani ilmiah dalam perkembangan ilmu-ilmu ushuluddin. Tirani ilmiah adalah besarnya peran penguasa alam proses pergeseran paradigma suatu ilmu, sehingga persaingan paradigma tidak lagi berjalan secara ilmiah, tetapi lebih banyak ditentukan oleh ada atau tidaknya dukungan dari penguasa. 
 Berdasarkan kajian sejarah pengetahuan atas tiga ilmu ushuluddin, dapatlah diketahui bahwa pengembangan ilmu-ilmu ushuluddin sudah semestinya dilakukan dengan upaya mewujudkan demokrasi ilmiah dan menghindarkan terjadinya tirani ilmiah. Upaya mewujudkan demokrasi ilmiah itu dilakukan dengan cara membangun iklim akademis yang berbasis pada civil society, membangun lembaga-lembaga pendidikan dan iklim akademik yang bebas, meminimalisasi motif ideologis dan merevitalisasi motif perbaikan nasib umat, melakukan continuing research, sosialisasi karya-karya ilmiah secara massif, serta mengupayakan terciptanya sebuah konsensus di kalangan ilmuwan ushuluddin. 

F. KRITIK DAN SARAN BOOK’S  REVIEWER
Buku ini terdapat beberapa poin yang perlu dikritisi, diantaranya:
 Isi buku kurang mewakili tema besar (judul) buku yang diberikan. Pada saat pertama kali melihat judul buku ini, kesan pertama yang muncul, penulis akan membahas kemunduran ilmu-ilmu agama secara menyeluruh. Akan tetapi, reviewer mendapati, penulis hanya fokus pada pembahasan ilmu ushuluddin yang menjadi acuan dalam kemunduran Islam.
Meskipun di awal penulis telah menyampaikan bahwa yang menjadi the core and kernel of Islamic Sciences adalah ilmu ushuluddin, dengan diwakili oleh ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat Islam, akan tetapi menurut reviewer, lingkup tersebut terlalu sempit jika dijadikan bahan acuan dalam membahas kemunduran ilmu-ilmu Agama. Akan lebih bijak jika penulis memakai tema yang langsung mewakili isi buku. Reviewer menduga bahwa pemakaian judul tersebut mungkin sebagai pendongkrak pemasaran buku (dalam hal ini adalah penerbit) dan promosi. Apalagi judul yang digunakan mengambil istilah salah satu novelet “Pudarnya Pesona Cleopatra” yang sedang booming pada saat itu. 
 Porsi pembahasan pada ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat Islam kurang seimbang. Terhitung dari ada 47 halaman (dari halaman  39 s.d 86) yang membahas tentang ilmu kalam. 25 halaman (dari halaman 87 s.d 112)  yang membahas tentang ilmu tasawuf. Dan 26 halaman (dari halaman 113 s.d 139) yang membahas tentang filsafat Islam. Penulis memberikan porsi yang lebih banyak pada pembahasan ilmu kalam. Hal ini dapat dimaklumi, karena latar belakang penulis yang lebih condong menguasai pada ilmu kalam (ilmu teologi).
Selain itu dari isi pembahasan ketiga ilmu tersebut, menurut reviewer yang pembahasan ilmu kalam saja yang paling lengkap dan jelas. Sedangkan pada ilmu tasawuf, penulis hanya menyampaikan sedikit tentang perkembangan paradigma ilmu ini dari zaman ke zaman. Begitu pula pada pembahasan filsafat Islam yang terlalu banyak memberikan porsi pembahasan pada paradigm war antara dua tokoh terkenal saja, al-Ghazali dan Ibn Rusyd. 


Comments

Popular posts from this blog

Beberapa Jenis Empirisme

Beberapa Jenis Empirisme 1. Empirio-kritisisme     Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik. baca jug:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-empirisme.html 2. Empirisme Logis      Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut : a. Ada batas-batas ba...

Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam

Pengertian Pemikiran Pendidikan Islam Secara etimologi, pemikiran berasal dari kata dasar pikir yang berarti proses, cara, atau perbuatan memikirkan yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijak. Dalam konteks ini, pemikiran dapat diartikan sebagai upaya cerdas dari proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaianya secara bijaksana. [1] Selama berabad-abad kaum Muslim telah terpukau oleh pemahaman keagamaan yang sempit. Seakan-akan mengkaji alam semesta dan sejarah bukan merupakan perbuatan agama. Dengan ketepukauan seperti ini, tidak mengherankan apabila kaum Teolog abad Klasik terlalu sibuk “mengurus” Tuhannya, sehingga manusia dibiarkan terlantar di bumi. Di bawah bayangbayang filsafat Hellenisme-Yunani, teologi Islam telah berkembang jauh. Akan tetapi, pada waktu yang sama, teologi ini telah mengkaburkan wawasan kaum Muslim tentang al-Qur`an. [2] Oleh karena itu, Iqbal m...

ISLAMIC STUDIES DI PTAI DI INDONESIA

GAMBARAN AWAL  DIRASAH ISLAMIYAH  DI PTAI INDONESIA  1.Pendahuluan Pada awalnya masyarakat Indonesia berharap bahwa pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) baik negeri maupun swasta ( lAIN, STAIN,UIN dan PTAIS) dapat memenuhi dua harapan sekaligus. Pertama adalah harapan yang terkait dengan eksistensinya sebagai lembaga “keilmuan” (akademis). Sebagai lembaga keilmuan, ía dituntut untuk dapat memenuhi tugas-tugas pendidikan dan pengajaran, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan agama Islam serta pengabdian pada masyarakat. Untuk itu, prasyarat minimal yang harus dipenuhi adalah kemampuan bahasa asing (Arab dan Inggris) bagi para dosen dan mahasiswanya, perpustakaan yang representatif baik dari segi gedung maupun koleksi buku-buku dan jurnal-jurnal studi keislaman dalam dan luar negeri untuk kegiatan penelitian dan penerbitan. Kedua adalah harapan yang terkait erat dengan kelembagaan PTAI ( lAIN, STAIN, UIN dan PTAIS) sebagai lembaga pendidikan “keagamaan...

Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Pemikiran Pendidikan Islam

Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Pemikiran Pendidikan Islam Adapun tujuan dan kegunaan mempelajari pemikiran pendiidkan islam yaitu: a).   Membangun kebiasaan berfikir ilmiah, dinamis, dan kritis terhadap persoalan-persoalan seputar penididkan Islam. b).    Memberikan dasar berpikir inklusif terhadap ajaran Islam dan akomodatif terhadap perkembangan Ilmu pengetahuan yang dikembangan oleh intelektual diluar Islam. c).    Menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana ditunjukan oleh Rasulullah SAW, dan para kaum intelektual Muslim pada abad pertama sampai abad pertengahan terutama dalam merekonstruksi sistem pendidikan Islam yang lebih baik. d).   Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan sistem pendidikan nasional.      Prinsip-Prinsip Pemikiran Pendidikan Islam a).   Prinsip Ontologis Prinsip ini merupakan etiket pelengkap dari metafisika tentang “ada” atau “keadaan” sesuatu. Ontology dapat mendekati masala...

Pengertian Belajar

PENGERTIAN BELAJAR Pengembangan pembelajaran yang efektif perlu didasarkan pada pemahaman tentang bagaimana peserta didik belajar atau mengalami perubahan tingkah laku. Sebab, berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan sesungguhnya banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar itu terjadi pada peserta didik. Bruce Joyce dan Marsha Weil menegaskan bahwa model pembelajaran pada hakikatnya adalah model belajar ( Models of teaching are really models of learning ). baca juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/implikasi-perkembangan-teori.html Kajian mengenai bagaimana terjadinya proses belajar pada organisme   (peserta didik) merupakan fokus kajian teori belajar. Teori ini bersifat deskriptif. Hasil dari kajian teori belajar ini dapat dijadikan dasar bagi upaya mempengaruhi peserta didik agar bisa belajar yang kemudian disebut dengan teori pembelajaran. Teori ini bersifat preskriptif. Sebelum lebih jauh membahas teori belajar dan pembelajaran, per...