Skip to main content

Al Fikr al Ushuli wa al-Istihalat al Tasil


Al Fikr al Ushuli wa al-Istihalat al Tasil
karya dari Muhammed Arkoun
Abstrak
Makalah dibawah ini merupakan review dari buku “Al Fikr al Ushuli wa al-Istihalat al Tasil” karya dari Muhammed Arkoun, buku ini memaparkan pendekatan dan metodologi pemikiran dari sang penulis, yang menurutnya lebih relevan dalam mempelajari studi agama, serta dalam menghadapi masala-masalah Islam Kontemporer saat ini. Ini bukanlah buku pertama Arkoun yang membahas tentang Ushul Fiqh, tetapi buku ini mengupas lebih dalam tentang Nalar Ushuli pada zaman dahulu dan bagaimana cara menggesernya dengan transformasi Nalar kritik epistimologi yang dipakai penulis.
Dan dari sinilah pula Muhammed Arkoun dalam bukunya al-Fikr al-Usuli wa Istihalah al-Tasil (Pemikiran Usuli dan Tranformasi al Tasil) membahas tentang hubungan antara kehidupan di dunia dan antara Nash-nash Ilahi yang menjadi kebutuhan Al Tasil, serta menegaskan kepada kaum Islam untuk mengenal juga tentang hal yang bersifat keagamaan, ilmiah, filosofis, etis, politis, ekonomis ataupun sosial, dan menggunakan peran rasionya, bukan hanya terdoktrin terhadap teks dan apa yang sudah di wariskan kepada mereka.
Kata kunci: Mohammed Arkoun, Al Fikr Al Usuli, Istihalah Al Tasil

A.    PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang menjadikan umat-umatnya sebagai Rahmatan Lil’alamin, itu adalah salah satu tujuannya, oleh sebab itu diberlakukannya hukum Islam, yang biasa disebut dengan Syari’ah, disini bisa dikatakan Syariah sebagai istilah pokok dalam hukum islam, karena banyak yang menerjemahkan seperti itu. Dan Syariah sendiri bisa dimaknai sebagai jalan yang disediakan oleh Allah bagi kaum muslim untuk diikuti, agar mereka selalu dalam keselamatan.[1] Dan ini bisa dilihat dari zaman Nabi, ketika Islam datang, hingga sekarang. Di masa Nabi, jika muncul suatu perselisihan, dan permasalah maka mereka selalu merujuk kepada Nabi, dan meminta jawaban serta solusi atas apa yang terjadi. Tetapi setelah beliau wafat, dan agama Islam sudah menyebar luas dengan adanya peradaban yang baru, jika muncul suatu permasalahan, mereka menggunakan ijtihad, dan dari situlah para sahabat nabi menemukan solusi bagi pemecahan masalah-masalah.
Wafatnya Nabi meninggalkan warisan yang menjadi pegangan dan pedoman manusia, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, selain itu karena mereka menggunakan cara ijtihad untuk memecahkan masalah, lahirkan ijma’ dari para sahabat, serta qiyas, yang mana telah menjadi sandaran bagi para umat muslim hingga saat ini. Tetapi tiga puluh tahun pertama pasca wafatnya Nabi merupakan periode ketegangan sosial dan politik antar aliran politik dalam Islam. Masalah yang muncul bukan hanya soal kepemimpinan politik, melainkan juga soal apa dan siapa yang mempresentasikan sebagai pemegang otoritas agama. Kehebohan yang terjadi dalam masyarakat muslim berlanjut hingga periode Bani Umayyah, dan dari situlah muncul beberapa kelompok dengan beragam orientasi teologi dan religio politiknya, seperti Khawarij, Syi’ah, Qodariah, Mu’tazilah, Jabariah, dan Murji’ah.[2]  
Ditambah lagi dengan berbagai problema dan tantangan kemodernan yang harus di hadapi umat Islam akan semakin berat, apalagi mengingat sudah terlalu banyak hal yang tak terpikirkan dari berbagai kemajuan Barat dalam pemikiran Islam, dan tantangan tersebut akan bertambah banyak sesuai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Jika di Barat sendiri kemodernan telah menimbulkan berbagai persoalan, apalagi bagi umat Islam.[3] Oleh karena itu makalah ini mereview ulang tentang buku al Fikr Al Ushuli Wa Istihalah al Tasil  yaitu bagaimana mentranformasikan al Tasil (potensial pendasaran), sekarang ini yang mana mereka bersifat keagamaan, ilmiah, filosofis, etis, politis, ekonomis ataupun sosial kepada para pemikir Ushuli yang hanya terdoktrin pada warisan-warisan yang diterimanya. Dalam buku ini, kritik nalar Arkoun tidak hanya berpijak pada pencermatan pengetahuan dan pemikiran, maksudnya tidak hanya meruntuhkan berbagai teks, konsep, ataupun madzhab. Tetapi kritik nalarnya merupakan analisis system pengetahuan, pengungkapan dasar-dasar pemikiran dan mekanismenya, serta menguraikan bagaimana cara memproduksi makna dan kaidah pembentuk wacana.
Sebelum membahas tentang Arkoun, akan dijelaskan bahwa sebagai orang yang kritis ia mencoba mengombinasikan antara Islam dan modernitas, dengan tujuan agar supaya Islam mudah diterima oleh masyarakat, dan mampu merespon zaman dan rahmatan lil’alamin. Melihat pemikiran Islam yang sempit, yang hanya terdoktrin pada warisan-warisan yang ada, dan tanpa melihat sejarah serta realita yang terjadi, serta tidak bisa menjawab permasalahan para umat islam kontemporer, karena belum terlalu terbuka akan kemodernan.
Sebenarnya tulisan Arkoun tentang ushul fiqh dibuku ini bukanlah pemikirannya yang pertama. Ushul fiqh yang beliau istilahkan dengan methodologi hukum, ashl dengan dasar teoristis, ushul dengan sumber, ijtihad, ijma’, qiyas, dan yang terkait, telah beliau bahas dalam tulisannya yang berjudul (introduction’a La Pensee Islamique Classique dalam Essais sur La Pensee Islamique) yang diterbitkan di Paris 1973. Hanya saja buku ini membahas dan mengemukakan pemikiran ijtihadnya seputar ushul fiqh lebih khusus lagi.[4]
Di buku Arkoun ini terdiri dari lima bagian. Pada bagian pertama Arkoun akan membahas tentang Al Quran dan olah pikir krisis kontemporer, bagian kedua tentang doktrin dan pembentukan subjectivitas manusia dalam konteks Islam, selanjutnya di bagian ketiga membahas tentang konsep kepribadian dalam tradisi Islam, dan pada bagian keempat membahas dialog keagamaan sampai pemahaman fenomena keagamaan, dan di bagian akhir Arkoun membahas tentang Ilmu-ilmu sosial terhadap tantangan nyata dalam Islam.

B.     Kegelisahan Akademik
Melihat dari pendahuluan yang telah dipaparkan, tentang beragamnya warisan yang telah diberikan para mujahid dimasa lalu, kepada umat Islam sampai saat ini, yang diharapkan bisa menjadi pedoman dalam menghadapi persoalan, serta permasalahan yang ada, tetapi saat ini banyak sekali persoalan-persoalan dan permasalahan-permasalahan baru tentang Islam Kontemporer, yang mana tidak kita temukan solusinya serta tidak bisa dijawab oleh warisan yang sudah ada, dan ini yang menjadi permasalahan dan kegelisahan Arkoun. Mengapa umat Islam khususnya para pemikir Islam tidak bisa memposisikan dan memahami kekayaan dari warisan yang sudah diberikan, untuk menjawab persoalan-persoalan baru? Dan dari sinilah Arkoun memberikan pendekatan dan pemikiran baru bagi para pemikir Muslim, yang mana pemikirannya itu lebih terfokuskan pada penggunaan akal rasio, dengan mengambalikan pemikiran filosofis dalam praktek pendasaran (al ta’sil) sebagaimana para pendahulu memahami, menggagas, dan mewariskannya. Dan dia mengeluarkan nalar kritiknya terhadap nalar ushuli yang terdahulu, yang mana nalar kritiknya tersebut bercorak kritik epistimologi.
Tetapi sebelum membahas tentang apa yang Arkoun tulis dalam bukunya ini, ada baiknya bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang beliau, dan keluarganya, serta pendidikannya, agar kita bisa membaca bagaimana pemikiran beliau, dan metodologi apa serta pendekatan yang bagaimana yang beliau gunakan untuk memecahkan masalah Islam Kontemporer saat ini.


C.    Biografi Muhammed Arkoun
Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 dalam keluarga biasa di perkampungan Berber yang berada di sebuah desa di kaki gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Keadaan itulah yang menghadapkannya sejak masa mudanya pada tiga bahasa, bahasa Kabilia salah satu bahasa Berber yang diwarisi Afrika Utara dari zaman pra islam dan pra Romawi, bahasa Arab yang dibawa bersama ekspansi Islam sejak abad pertama hijriah, dan bahasa Perancis yang dibawa oleh bangsa yang menguasai Aljazair antara tahun 1830 dan 1962. Sampai batas tertentu ketiga bahasa itu mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda.[5] Tiga bahasa tersebut sebenarnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kabilia merupakan alat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, Bahasa Arab merupakan alat untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di berbagai belahan dunia Iislam lainnya. Sedangkan bahasa Perancis merupakan bahasa administrasi pemerintahan serta alat untuk mengenal nilai-nilai tradisi kelilmuan Barat, terutama di perancis. Perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulis serta hubungan antar bahasa, pemikiran, sejarah, dan kekuasaan, termasuk persoalan yang menarik banyak perhatian Arkoun. Usaha memadukan berbagai cara berpikir, terutama dalam keagamaan, yang lebih terpelihara di kalangan massa penganut Muslim dan sifat rasional serta kritis yang lebih berkembang di dunia Barat merupakan cita-cita utamanya.[6]
Kemudian Muhammad Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di Al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Muhammad Arkoun melanjutkan studi tentang bahasa dan sastra Arab di universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu ia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di paris serta mengajar di sebuah SMA (lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta member kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg.
Pada tahun 1961, Muhammad Arkoun di angkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doctor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Muhammad Arkoun menulis desertasi doctor mengenai humanism dalam pemikiran etis Miskawaih[7]. Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran Yunani. Semenjak menjadi dosen di universitas Sorbonne tersebut, Muhammad Arkoin menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang di pengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu, bahasa, dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis.
Suatu hal yang menarik perhatian adalah bahwa Arkoun menerbitkan banyak tulisannya dengan berbahasa Perancis, dan faktor dari itu adalah Arkoun menemukan banyak masalah dalam mengungkapkan pemikirannya dalam bahasa Arab. Dalam artikel yang diterbitkan pada tahun 1983, dan sejak itu keadaan belum banyak berubah, ia menulis bahwa kemajuan yang paling menentukan yang terjadi dalam pemikiran ilmiah sejak tahun 1950 belum tersedia dalam bahasa Arab atau bahasa Islam manapun. Tapi akhir-akhir ini Arkoun rupanya membuka diri untuk menulis dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris.[8]
Sebagai ilmuwan yang produktif, Muhammad Arkoun telah menulis banyak buku dan artikel di sejumlah jurnal terkemuka seperti Arabica (Leiden/Paris), Studi Islamica (Paris), Islamo-Cristiana (Vatican) Diogene (Paris), Maghreb-Machreq (Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta), di beberapa buku dan ensiklopedi, dan masih banyak lagi buku-bukunya yang berbahasa Perancis, dan kemudian beberapa di terjemahkan oleh muridnya Hashim Saleh, selain ada juga bukunya yang berbahasa Indonesia.

D.    Metodologi dan Pendekatan Arkoun
Metodologi dalam pendekatan yang dilakukan oleh Muhammad Arkoun sedikit banyak telah dipengaruhi oleh dua kekuatan tradisi pemikiran yang telah ada, yaitu tradisi pemikiran budaya Timur Tengah Kuno yang memiliki tempat khusus di dalam pemikiran Yunani dan tradisi pemikiran monoteisme yang dibawa oleh para Nabi. Sehingga Arkoun mengemukakakn bahwa dirinya sebagai pengguna metodologi historis-kritis yang mencoba merespon rasa keingintahuannya secara modern, karena metodologi ini nnilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mistis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama. Dengan demikian menurut Arkoun, saat ini usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan secara luas kedalampemikiran tentang Islam dan tentang agama lainnya adalah bagaimana mengevaluasi karakteristi-karakteristik dari system ilmu pengetahuan yang historis dan mistis dengan perspektif epistimologis yang baru. Tujuan yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi epistimologi baru di bidang studi perbandingan terhadap budaya melalui contoh yang dikembangka oleh Islam sebagai agama dan sebagai produk sosial sejarah.[9]
Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis dan tidak menghilangakn betapa pentingnya pendekatan teologis dan filosofis. Dan pendekatan yang dilakukan Arkoun ini bertujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan dalam Islam. Metode Arkoun ini disebut sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi. Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukannya dengan epistimologi modern yang kritis.[10] Ini yang membedakan pendekatan yang beliau pakai, dengan pendekatan Hassan Hanafi, dan rekonstruksi lebih bagusnya disebut adalah pendekatan yang mana dipakai oleh Hassan Hanafi dalam menyampaikan, dan menawarkan cara-cara baru dalam memahami Pemikiran Islam.

E.     Pemikiran Muhammed Arkoun
Arkoun dengan pemikirannya berusaha memperkenalkan beberapa pendekatan, salah satunya adalah tradisi hermeneutika sebagai metodologis kritis yang akan memunculkan informasi, makna dan pemahaman baru ketika suatu teks dan aturan didekati dengan cara pandang baru, terutama dengan  menggunakan metode hermeneutika histiros-kontekstual. Konsep hermeneutika Arkoun adalah “garis-garis pemikiran pemikiran heuristik fundamental” untuk merekapitulasi pengetahuan Islam dan memperhadapkannya dengan pengetahuan kontemporer. [11]Tujuan dari metode hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia melalui pemahaman dan interpretasi.[12] Dan metode ini menjadi metode yang sangat mendasar bagi ilmu-ilmu humaniora, dan ilmu agama interdisipliner.[13]
Dalam metode ini dipaparkan, bahwa sikap dari setiap pengarang, teks dan pembaca tidaklah lepas dari kontek sosial, politis, psikologis, teologis dan konteks lainnya dalam ruang dann waktu tertentu. Maka dalam memahami sejarah yang diperlukan bukan hanya transfer makna melainkan juga transformasi makna. Pemahaman tradisi Islam selalu terbuka, dan tidak pernah selesai, dalam istilah lain bahwa pintu ijtihad belum tertutup karena pemaknaan dan pemahmannya selalu berkembang seiring dengan perkembangan umat Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari masa ke masa. Dengan begitu tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku sepanjang zaman. Gagasan universal Islam tidak semua tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat local cultural, serta terungkapa dari tradisi kenabian saat itu. Itulah sebabnya dari masa ke masa selalu muncul ulama tafsir yang berusaha mengaktualisasikan pesan Al Quran dan Hadis dan tataran keislaman yang tidak mengenal batas akhir waktu.[14]
Selain tradisi hermeneutika, Arkoun juga menggunakan cara bagaimana membaca teks Al Quran kembali, agar dapat membangun syari’ah yang baru, dan juga mengetahui maksud yang disampaikan Nabi, dan juga dengan cara pluralisme Agama, karena menurutnya, islam akan mencapai kejayaan jika umat Islam mau membuka diri terhadap pluralism pemikiran dan pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapapun, dan tanpa membedakan antara agamanya dengan agama lain.

F.     Nalar Ushuli dan Transformasi al Tasil
Dari pendahuluan yang sudah di paparkan, maka ditegaskan kembali, bahwa maksud Arkoun tentang potensi pendasaran (al-Tasil) yang sekarang ini bersifat keagamaan, ilmiah, filosofis, etis, politis, ekonomis ataupun sosial. Menurutnya pemikiran pendasaran (al Tasil) lahir dari setiap kajian dalam Al Qur’an. Jika dikaji, ujaran Al Qur’an tampak senantiasa menghubungkan bimbingan, perintah, larangan, dan seluruh makhluknya di satu sisi, dengan kekuasaan pencipta dan dasarnya (al ashl, fondement theorique) di sisi lain. Oleh karena itu pendasaran (at tasil) yang telah dikaji oleh para pakar ushul fiqh tersebut sebenarnya merupakan upaya penyambungan dasar (al ashl) pertama yang absolute, tunggal dan benar, dengan makhluk, perbuatan, dan hukum-hukum.[15]

                              1.            Al Qur’an dan Olah Pikir Kritis Kontemporer
Al Quran adalah salah satu naskah berjangkauan universal yang begitu sering kita utarakan, tuliskan, dan yang meski demikian tetap kurang dipahami. Memang benar bahwa Al Quran mematahkan berbagai upaya para penafsir terbaik, juga benar jika para pembaca non Muslim tidak memilki emosi yang kuat tentang keagamaan dan tetap menerima apa adanya tentang risalah itu.[16] Berbicara tentang kritis Al Qur’an, dalam bukunya ini Arkoun mengawali pembahasannya dengan kajian hukum akal-akal atau aturan sebab-sebab, dan inferensi-inferensi, disini dia menegaskan serta mengkritik ciri khas akal Barat pada disiplin ilmu-ilmu sosial yang hanya menghasilkan rasionalisme-rasionalisme yang berantakan, dan kecenderungan pada independensi subjektif.
Pada kenyataannya bahwa setiap spesifikasi terpisah dari spesifikasi-spesifikasi lain, maka tidak ditemukan kesatuan pada akal akan tetapi akal itu berserakan dan tercerai berai. Ditengah kejelasan kondisi tersebut studi orientalisme tersingkap kelemahan-kelemahan dan kecongkakannya sebab mereka menghindari dan meninggalkan diskusi sekaligus penerapan kerangka teori dan metodologi dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang berkembang di Barat. Bahkan para filosof Barat sendiri menyingkapkan kelemahan mereka, seperti madzhab Franfurt sampai Foucoult, Habermas, Derrida, Adorno, dan Pierre Bourdieu.[17]
Arkoun mengemukakan tiga formulasi tiga model pembacaan Al Qur’an dalam permasalahn pendasaran (al-tasil) untuk model pertama yaitu model pembacaan yang bersifat historis-ontropologis dengan keterbatasannya,[18] model kedua ia memaparkan sekaligus menguji pembacaan linguistik, semiotik, dan kesusteraan,[19] dan model terakhir dia adalah pembacaan imani atau keimanan.[20] Arkoun adalah salah satu Muslim yang memperkaya studi Islam dengan hasil pekembangan semiotika.[21]
Arkoun menyebutkan macam-macam manfaat analisis semiotis dalam analisis Qur’an, manfaat pertama adalah bahwa pendekatan semiostis memandang suatu teks sebagai suatu keseluruhan dan sebagai suatu system dari hubungan-hubungan intern. Kelebihan lain bahwa analisis semiotik membuat kita mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau pra anggapan lain.[22] Dari model-model pembacaan atas Al Qur’an yang telah dipaparkan Arkoun, maka permasalahan kejelasan Al Qur’an dan proses pemahaman teks sebagai pemegang otoritas pemikiran Islam telah terkuak sehingga membuka peluang pembacaan secara lebih luas.
Yang membedakan antara pemikiran Arkoun dengan nalar ushuli adalah, Nalar Ushuli tidak pernah membedakan sama sekali antara Al Quran yang ada di al-Lawh al-Mahfuz dengan Al Qur’an yang di wahyukan kepada Rasulullah, dengan yang diujarkan oleh lisan Muhammad, dan dengan yang tertulis dalam Mushaf Utsmani, bahkan dalam batas-batas tertentu dengan yang ditafsirkan dan dengan yang diterjemahkan dalam bahasa non-Arab. Semua sama saja tanpa jarak semantic, linguistic, semiotic, dan historis dengan pembacanya. Sedangkan Arkoun dengan tegas membedakan semua tingkatan yang dilalui oleh wahyu Al Quran dari tingkatannya sebagai kalam Allah, sebagai yang tertulis di al-Lawh al-Mahfuz atau yang biasa disebut dengan Umm al-Kitab, sebagai wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada dan diujarkan secara lisan oleh Nabi Muhammad, dan Al Quran yang kemudian melewati proses-proses profane dan imanen.[23]
Arkoun jelas membedakan semua tingkat transformasi itu dan mengemplisitkan dampaknya dalam pemaknaan Al Qur’an (lihat gambar).[24]

Word of God (Umm al-Kitab)
                       

                                                                Salvation History (Sejarah penyelamat)       
                                   
Quranic Discours           COC                  Int. C                  Early History
                                         Interpretive Community
COC     = Closed Official Corpus (Korpus Resmi Tertutup)
Int. C    = Interpretive Corpus (Korpus tertafsir)
Dari gambar tersebut Arkoun ingin menunjukkan perbedaan tiga tingkatan wahyu dari berupa kalam Allah hingga kemudian menjadi teks yang ternalar oleh manusia: Pertama, wahyu sebagai Firman Allah yang transenden, unlimited (mutlak, tak terbatas), yang tak diketahui oleh manusia. Inilah yang biasanya disebut sebagai Umm al-Kitab yang tersimpan di al- Lawh al-Mahfuz, kedua, wahyu yang menampakkan dirinya pertama kali dalam sejarah melalui proses bertahap selama 22 tahun dengan perantaraan lisan Nabi Muhammad dan dengan Bahasa Arab. Tingkat ini juga tidak mungkin lagi kita tangkap situasi wacananya, dan ketiga, wahyu yang sebagaimana yang tertulis di al-mushaf al-‘uthmani. Mushaf ini yang menjadi akses terutuh yang bisa kita peroleh dan kemudian juga ditafsirkan oleh para mufassir selama berabad-abad.[25]
Dalam pandangan Islam khusunya ahlu Ushul Fiqh, yang mana belum ada yang merespon apa yang dipaparkan Arkoun tentang teks Al Quran tetap meyakini bahwa Allah akan memelihara dan tetap akan memelihara Al Qur’an untuk selamanya,[26] seperti yang disebutkan dalam surat Al Hijr ayat 9 yang berbunyi “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. Dari jaminan Allah inilah yang memperkuat para pemikir Islam untuk tetap  pada kepercayaannya, bahwa tidak ada jarak pemisah, ataupun perbedaan dari Al Quran yang dulu, dengan Al Quran yang sekarang, seperti yang telah dikatakan Arkoun.
Dari sini kita bisa melihat bahwa Arkoun menggunakan pendekatan antropologis, ia ingin menggali faktor-faktor umum kemanusiaan, budaya, dan agama masyarakat Timur Tengah, Mediteranian Kuno, yang telah melahirkan tiga wahyu monoteisme dan agama besar. Pendekatan antropologis dalam mengkaji Al Qur’an ini dimaksudkan untuk menawarkan studi Al Qur’an kepada seluruh umat manusia secara elektif, dialogis, terbuka, dan inklusif, tanpa batas Timur dan Barat, terutama integrasi dalam perangkat yang menggerakkan secara umum terhadap riset dan pemikiran saat ini.[27]
                              2.            Doktrin dan Pembentukan Subjektifitas Manusia dalam Konteks Islam.
Konsep manusia dalam Islam bisa diambil dari ayat Al Quran surat Al Mu’minun ayat 12-16 yang menyebutkan bahwa manusia di ciptakan Allah dari intisari tanah yang di jadikan nuthfah dan di simpan di tempat yang kokoh. Kemudian nuthfah itu dijadikan darah beku, darah beku kemudian dijadikan mudghah, kemudian mudghah dijadikan tulang, tulang dibalut dengan daging yang kemudian dijadikan Allah makhluk lain. Lalu dilanjutkan di surat Al Sajadah ayat 7-9 menjelaskan setelah kejadian manusia dalam kandungan mengambil bentuk, ditiupkan Allah ke dalamnya ruh dan dijadikannya pendengaran, penglihatan, dan perasaan.[28]
Dari situ kita bisa melihat bahwa didalam al Nafs mempunyai dua daya, daya pikir yang disebut akal dan berpusat di kepala, dan daya rasa yang berpusat dalam kalbu. Dan inilah hakikat manusia menurut ajaran Islam. Ketika zaman nabi tidak ada dualisme pendidikan, pendidikan agama dan pendidikan sains, seperti yang terdapat di Islam dewasa ini. Maka tidak ada kesenjangan antara ulama agama dan ulama sains di zaman itu. Keduanya mempunyai dasar yang sama, yaitu pendidikan qalbiyah yang kuat.[29]
Tapi membicarakan tentang subjektifitas manusia, menurut Arkoun subjektivitas manusia itu termasuk semangat dalam perilaku manusia terhadap pengalaman yang dia alami, dan dihubungkan dengan adanya keyakinan dalam diri masing-masing, yang mana dengan keyakinan tersebut manusia bisa memilih untuk mempertahankan, atau malah meninggalkan pengalaman tersebut. Dan pengalaman yang dimaksud Arkoun adalah konsep perbuatan secara tepat.[30] Analisis Arkoun dalam hal ini berlanjut dengan dekonstruksi dan rekonstruksi, dan kemudian mengembalikan aspek historisnya.
                              3.            Konsep Kepribadian dalam Tradisi Islam
Dunia intelektual Islam masa kini dihadapkan oleh berbagai isu kontemporer yang cukup hangat. Misalnya isu nasionalisme, HAM, keadilan, sosial, kedudukan wanita dan sebagainya. Hal ini secara langsung menempatkan posisi “tradisi Islam” dalam sorotan. Yang membedakan persepsi antara pakar sosiologi, dan agamawan, bahwa tradisi tidak lain adalah religiusitas, kedangkalan kreativitas, dan ketakukan inovasi (bid’ah dalam Islam). Namun dalam kalangan agamawan, tradisi berarti aturan suci yang memiliki otoritas tinggi, keseimbangan lahir, dan batin, dan karenanya harus dilestarikan.[31]
Pembahasan Arkoun di dalam masalah ini adalah bahwa kepribadian yang dia maksudkan merupakan istilah modern yang ia gunakan untuk pembentukan suatu visi, yang mana artinya bisa sebagai keyakinan, pengetahuan masa lalu, tapi dalam arti lain adalah prinsip-prinsip perumpamaan, cerita-cerita, nash-nash keagamaan dan sebagainya. Dia mengolaborasi antara tradition dengan t kecil, dan Tradition dengan T besar untuk menyusun kerangka teoritisnya, dan perbedaan huruf tersebut mempunyai pengaruh makna atau arti yang luas dalam Islam sehingga analisisnya terpusat pada Tradition islamique.[32] Dan menurutnya tradisi dari setiap agama tergantung dari kepribadian, atau keyakinanan masing-masing, apakah dia akan melestarikannya, atau meninggalkannya.
Menaggapi tentang tradisi Islam, ada pandangan berbeda tentang posisi tradisi Islam, pertama, pandangan orientalis yang meragukan keampuhan tradisi islam untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, kedua, adalah pandangn kelompok Islam “konversati/tradisionalis” berupaya menggali kembali khasanah intelektual Islam untuk dapat diterapkan dalam konteks kekinian, tanpa harus meminjam tradisi Barat, dan ketiga, posisi “jalan tengah” yang menganjurkan pendekatan interaksi positif antara tradisi Islam, dan tradisi Barat modern dalam pengertian, menyaring konsep Barat yang positif untuk memperkaya dan memperkuat tradisi Islam, kelompok ini dipelopori pleh mereka yang menamakan dirinya kaum modernis.[33]
Dengan adanya beberapa kelompok pandangan tradisi Islam, kita harus melihat mana yang lebih positif, dan baik untuk kemashlahatan bersama.
                              4.            Dari Dialog Agama Menuju Pemahaman Fenomena Keagamaan
Salah satu wacana intelektual yang cukup mengesankan dipenghujung abad 20 ini adalah maraknya perbincangan mengenai dialog antaragama bahkan juga dialog antar iman. Gejala ini sebagaimana lazimnya sebuah wacana tentu saja tidak berdiri sendiri, mekainkan ada banyak faktor yang ikut mendorong kelahirannya. Dan salah satunya, kalau bukan yang terpenting ialah apa yang oleh Gilles Kapel disebut dengan krisis modernitas (crisis of modernity). Dengan mengecualikan mereka yang secara apriori menolak perbincangan semacam itu. Banyak yang bilang bahwa intensitas perbincangan mengenai hubungan agama-agama akan semakin meningkat di masa-masa mendatang.[34]
Menyinggung tentang dialog agama ini banyak sekali muncul berbagai tawaran teologi agama, seperti teologi pembebasan, teologi dialektis, teologi hermenetis, teologi transformative, dan lain-lain, yang semuanya mengarah pada gagasan transformative dengan agama sebagai pelaku utamanya. Dan gagasan tersebut terus bergulir sehingga melibatkan agama-agama besar di dunia, seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam, yang mana selalu bergumul tentang persoalan-persoalan seperti itu.[35]
Telah disinggung juga oleh Leonard Swidler[36] dalam bukunya yang berjudul  Death or Dialogue, dia menegaskan bahwa “Kita tidak dapat mengabaikan pihak lain dengan menutup mata, pikiran dan hati terhadap mereka, menatap mereka dengan rasa curiga, prasangka, dan bahkan terkadang dengan kebencian, pola hubungan yang semacam ini akan mengantar kita kepada permusuhan yang berakhir dengan kontrofersi dan kematian. Manusia telah beranjak dari pola monolog kepada pola dialog, siapa saja yang mengabaikan dialog akan tergusur sendiri”. Dari perkataan tersebut, dia menegaskan pentingnya semangat keterbukaan antar agama.[37]
Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa untuk mengetahui pemahaman antar agama, kita harus saling terbuka satu sama lain, meskipun ada beberapa batasan yang mana tidak semua bisa memahami dari satu agama ke agama yang lain, dan ini didukung oleh penegasan Arkoun dalam peran tujuh akal maju (al-‘aql al-munbatsaq) yang ciri-cirinya yaitu pertama akal yang mau di kaji ulang, dan di diskusikan. Kedua akal yang mengidealkan kesatuan dan keseluruhan melalui berbagai sumber, dokumen dan diskusi, tetapi bukan hanya dalam satu sumber bahasa saja melainkan dengan seluruh bahasa dan sumber lainnya. Ketiga, akal yang berpedoman pada teori pertentangan penjelasan sebagai ganti dari perpalingan satu metode. Keempat, akal yang menyadari bahwa sumber-sumber atau dasar (al-usul) berubah menjadi pendahuluan dan premis yang diperlukan, untuk menguatkan dan menverifikasi, dan itu bisa didapat dengan cara menemukan transformasi dan historitas pendasaran (al-tasil). Kelima, akal yang memperingatkan bahayanya penyusunan kitab dari pengetahuan yang murni, dan mengidealkan olah pikir majemuk, oleh karena itu dia memakai metodologi hipotesis agar bidangnya menjangkau segala keraguan dan pertanyaan. Keenam, akal maju tidak menekankan kerumitan daripada penyederhanaan, pembangunan baru daripada pengkajian ulang yang sudah ada, Ketujuh, akal maju mesti menepis tuduhan, argument, dan perdebatan yang tidak berarti.[38] 
Dalam hal ini Arkoun mengkritik dengan nalar Islam dan nalar pengayom, serta meletakkan analisis keislamannya dalam antropologi agama, dan dia juga menggunakan pendekatan Arkeologi untuk memandang medan makna dari keyakinan keberagamaan dan keterpaduan fenomena keberagamaan.[39]

                              5.            Ilmu-ilmu Sosial terhadap Tantangan Fenomena Keislaman
Membicarakan tentang tantangan nyata dalam Islam, biasanya ini merujuk kepada tantangan modernisme yang sedang dialami umat Islam, seperti yang kita pahami bahwa Islam lebih dikenal dengan agama dakwah, tapi ada beberapa kelemahan dalam dakwah Islam, seperti muatan dakwah yang tidak up to date, kemasan dakwah yang kurang menarik, serta metode dan media dakwah yang masih lemah, dan itu yang membuat Islam terasingkan, ditambah lagi dengan zaman yang terus melahirkan berbagai penemuan, umat Islam harus mamapu menerobos berbagai kekakuan pemikiran untuk kemudian melahirkan berbagai ide-ide perubahan yang visioner, baik terkait sosial kemasyarakatan, mauapun pelestarian alam.[40]
Menyinggung tentang modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi, dan lain sebagainya, dan paham ini mempunyai pengaruh besar pada masyarakat Barat, dan segera memasuki lapangan agama yang dipandang di Barat sebagai penghalang kemajuan.[41] Dan dari situlah adanya pandangan bahwa Islam menghambat atau sekurang-kurangnya memperlambat proses modernisasi dalam lapangan hidup umatnya tak dapat disangkal lagi. Pandangan demikian berdasarkan atas hal bahwa Islam sebagaimana halnya agama-agama lain dikatakan bersifat dogmatis, selain itu ajaran-ajaran Islam tidak hanya mengurus soal keakhiratan tetapi juga mengurus soal hidup kemasyarakatan umatnya.[42]
Sedangkan menurut Arkoun para analisis Barat tentang penemuan dan wacananya terhadap segi keberagamaan Islam, sebenarnya berasal dari satu atau beragam disiplin ilmu sosial. Dia menarik kembali orientalisme kedalam wacana ilmu-ilmu sosial, menurutnya kajian orientalisme tidak bisa dihindarkan dari asumsi pribadi mereka, tetapi yang menjadi hambatan wacana Barat adalah memandang fenomena keislaman kontemporer seperti jihad, karena akal mereka menyebar dan terjaga oleh disiplin masing-masing gerakan.[43]

G.    PENUTUP
Dari semua pembahasan yang di paparkan Arkoun dalam buku ini, entah dari masalah kritis Al Qur’an, tentang pembentukan subjektivitas manusia, dalam konsep kepribadian, dialog agama, hingga masalah ilmu-ilmu sosial, Arkoun memakai pendekatan Kritis Historis, landasan pemikiran Arkoun ini dilatar belakangi oleh faktor historis, yaitu masa kebangkitan Eropa maupun revolusi Perancis. Hingga kemudian berbagai kritik terlontar dari mulutnya terhadap pemikiran sejumlah sarjana Muslim. Menurut dia, ada sebagian dari mereka yang tak mampu melihat sejarah Islam secara kritis dan Ilmiah, layaknya sarjana Barat melakukannya terhadap agama Kristen. Padahal Al Qur’an mendorong manusia untuk mencari pengetahuan.
Dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat Islam tersebut, Arkoun mencoba mengkaji permasalahan melalui pendekatan secara kontekstual sesuai dengan situasi kontemporer saat ini. Ketepatan metode argumentative serta keabsahan alat analitik dan deduktif diraih Arkoun melalui pendekatan interdisipliner. Dalam upaya mengaktualisasikan pemikiran-pemikirannya yang transformative, dia memakai ilmu bahasa (linguistic, semantic dan sastra), ilmu humaniora (filsafat), sosiologi, antropologi, dan arkeologi. Hal ini bisa dipahami mengingat kedekatan Arkoun dengan Barat sehingga menjadikannya mudah menyimak, mencerna, dan mengkritik pemikiran baru Barat modern yang mapan dari beragam disiplin ilmu serta mengubahnya menjadi perangkat konsepsionis dan pembacaan produktif terhadap tradisi.
 Tapi dari segala yang dia bahas, tidak semua bisa menerima, mungkin bagi orang yang memahami tentang ilmu histori bisa memahami apa yang di bicarakannya, melihat Arkoun sering memakai bahasa yang rumit, dan sulit di cerna, selain itu bagi orang yang baru membaca artikel-artikel miliknya, mungkin dia akan menemukan beberapa istilah baru, tapi dengan saran dia untuk menghubungkan pendasaran (al-tasil) yang bersifat baru dengan pemikiran Ushuli yang sudah dijadikan pedoman bagi orang Islam kebanyakan, khususnya para pemuka Agama di tambah lagi dengan banyaknya gerakan-gerakan yang muncul dalam Islam, menurut reviewer akan sulit, karena letak pemikirannya sudah berbeda. Tapi untuk menambah pengetahuan, buku ini bisa bermanfaat bagi siapa saja, dan untuk para pemikir-pemikir entah setelah itu mereka akan sepakat atau tidak, karena Arkoun hanya mentramsformasikan apa yang dia pikirkan tentang Peradaban Islam dan cara memahaminya dengan pendekatan yang dia pakai. Dalam tulisan review ini, masih terdapat beberapa kesalahan, tapi semoga tulisan ini bermanfaat.









DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syarifudin. 2004. Book review Al-Fikr Al-Usuli wa Istihalah Al-Tasil. Yogyakarta: Jurnal Al Jami’ah, Vol. 42, No. 1.
Arkoun, Mohammed. 1994. Nalar Islami dan Nalar Modern: berbegai tantangan dan jalan baru. cet. 1. Jakarta: INIS.
_______, Mohammed. 1999.  Al Fikr al-Usuli wa Istihalat al-Ta’sil Nakhwa Tarikh Akhor li al-Fikr al-Islami. (alih bahasa dan pengomentar: Hasyim Salih). Libanon: Dar al Saqi.
_______, Mohammad . 1998. Kajian Kontemporer Al Qur’an. cet. 1. Diterjemahkan dari buku berbahasa Perancis Lectures du Coran. terbitan G.P. Maisonneuve et Larose, Paris 1982. Bandung: Penerbit Pustaka.
_______,  Muhammed. 1988. Rethinking Islam Today, Charlez Kurzman (editor) Liberal Islam: A Souce Book. New York: Oxford University Press.
Baharun, Hasan, Akmal Mundiri dkk. 2011. Metodologi Studi Islam Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama. Cetakan 1. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Iswahyudi. 2011. Hermeneutika Praksis Liberatif Farid Esack, (Ponorogo: Jurnal Religio, Vol. 02, No. 01.
Julaeha, Siti. 2011. Islam dan Tantangan Modernitas. Jurnal Bimas Islam. Vol. 4 no. 2.
Kaelan, 2010. Metode penelitian Agama Kualitatif interdisipliner Metode Penelitian Ilmu Agama Interkonektif Interdisipliner dengan Ilmu lain. Yogyakarta: Paradigma.
Maftuhin, Arif.  Dari Nalar Ushuli ke Nalar Interdisiplin Studi atas implikasi kritik nalar Islami Mohammad Arkoun. [pdf]. www.digilib.uin-suka.ac.id, diakses tanggal 16 agustus 2013.
Meuleman, Johan Hendrik. 1996. Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta.
Putro, Suadi. 1996.  Islam Menghadapi Tantangan Kemodernan: Pandangan Mohammed Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman dkk. Tradisi, Kemodernan, dan Metamodernisme. Yogyakarta: LKIS.
Saeed, Abdullah. 2014. Pemikiran Islam sebuah pengantar. Yogyakarta: Kaukaba
Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Cet. V. Bandung: Mizan.
Shofan, Moh. 2006. Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme. Cet. 1. Kata Pengantar: Amin Abdullah. Yogyakarta: IRCiSoD.









[1] Abdullah Saeed, Pemikiran Islam sebuah pengantar, (Yogyakarta, Kaukaba, 2014), hlm. 76
[2] Ibid, hlm. 9
[3] Suadi Putro, Islam Menghadapi Tantangan Kemodernan: Pandangan Mohammed Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman dkk, Tradisi, Kemodernan, dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LKIS, 1996), hlm. 105
[4] Syarifudin Arif, Book review Al-Fikr Al-Usuli wa Istihalah Al-Tasil, (Yogyakarta: Jurnal Al Jami’ah, Vol. 42, No. 1, 2004), hlm. 249

[5] Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: berbegai tantangan dan jalan baru, (Jakarta: INIS, cet. 1, 1994), hlm.1
[6] ibid
[7] Adalah seorang pemikir Arab di Persia pada abad X M yang menekuni kedokteran dan filsafat
[8] Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: berbagai tantangan dan jalan baru, hlm. 3
[9] Muhammed Arkoun, Rethinking Islam Today, Charlez Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Souce Book (New York: Oxford University Press, 1988), hlm. 206
[10] Ibid
[11] Iswahyudi, Hermeneutika Praksis Liberatif Farid Esack, (Ponorogo: Jurnal Religio, Vol. 02, No. 01, 2011), hlm. 30
[12] Kaelan, Metode penelitian Agama Kualitatif interdisipliner Metode Penelitian Ilmu Agama Interkonektif Interdisipliner dengan Ilmu lain, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm. 180
[13] Ibid
[14] Johan hendrik Meuleman, Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme, (Yogyakarta, 1996), hlm. 26
[15] Mohammed Arkoun, Al Fikr al-Usuli wa Istihalat al-Ta’sil Nakhwa Tarikh Akhor li al-Fikr al-Islami, (alih bahasa dan pengomentar: Hasyim Salih), (Libanon: Dar al Saqi, 1999), hlm. 8
[16] Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al Qur’an, diterjemahkan dari buku berbahasa Perancis Lectures du Coran, terbitan G.P. Maisonneuve et Larose, Paris 1982, (Bandung: Penerbit Pustaka, cet. 1, 1998), hlm. 44
[17] Syarifudin Arif, Book review Al-Fikr Al-Usuli wa Istihalah Al-Tasil, hlm. 251
[18] Mohammed Arkoun, Al Fikr al-Usuli wa Istihalat al-Ta’sil, hlm. 39
[19] Ibid, hlm. 59
[20] Ibid, hlm. 64
[21] Semiotika adalah  ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda.
[22] Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme, (Kata Pengantar: Amin Abdullah), (Jogjakarta: IRCiSoD, cet. 1, 2006), hlm. 141
[23] Arif maftuhin, Dari Nalar Ushuli ke Nalar Interdisiplin Studi atas implikasi kritik nalar islami Mohammad Arkoun, [pdf], (digilib.uin-suka.ac.id, diakses tanggal 16 agustus 2013)
[24] Loc.Cit, hlm. 6
[25] Loc.Cit, hlm.7
[26] Abdul Aziz, Menuju Islam yang benar kajian kritis Qur’ani menjelaskan hakikat Islam, (Semarang: Dina Utama), hlm. 38
[27] Hasan Baharun, Akmal Mundiri dkk, Metodologi Studi Islam Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, cet. 1, 2011), hlm. 246
[28] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan anggota IKAPI, cet. V, 1998), hlm. 37
[29] Ibid, hlm. 39
[30] Mohammed Arkoun, Al Fikr al-Usuli wa Istihalat al-Ta’sil, hlm. 80
[31] Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, cet. V, 1999), hlm. 287
[32] Syarifudin Arif, Book review Al-Fikr Al-Usuli wa Istihalah Al-Tasil, hlm. 252
[33] Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, hlm.  288
[34] Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, hlm. 197
[35] Ibid, hlm. 198
[36] Pakar dalam bidang teologi Katolik dan hubungan antar agama di Universitas Tample, Philadelpia
[37] Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, hlm.  67
[38] Syarifudin Arif, Book review Al-Fikr Al-Usuli wa Istihalah Al-Tasil, hlm.250
[39] Ibid, hlm. 253
[40] Siti Julaeha, Islam dan Tantangan Modernitas, dikutip dalam Jurnal Bimas Islam, vol. 4 no. 2, tahun 2011
[41] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 181
[42] Ibid, hlm. 157
[43] Mohammed Arkoun, Al Fikr al-Usuli wa Istihalat al-Ta’sil, hlm. 295


Comments

Popular posts from this blog

DOUBLE MOVEMENT TEORI KAJIAN ISLAM FAZLUR RAHMAN

Baca Juga : https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/kritik-sejarah-fazlur-rahman-upaya.html

Beberapa Jenis Empirisme

Beberapa Jenis Empirisme 1. Empirio-kritisisme     Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik. baca jug:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-empirisme.html 2. Empirisme Logis      Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut : a. Ada batas-batas ba...

KRITIK SEJARAH FAZLUR RAHMAN; UPAYA MENCAIRKAN HADITS NABI

BOOK REVIEW KRITIK SEJARAH FAZLUR RAHMAN; UPAYA MENCAIRKAN HADITS NABI [1] Review Buku Islamic Methodology In History Karya Fazlur Rahman Abstraksi : Menelaah metodologi pemikiran Islam (Islamic Metodology) dari perspektif sejarah dewasa ini dirasa sangatlah perlu. Tujuannya adalah untuk melakukan kritik terhadap pemikiran Islam ortodok yang menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Dengan kembali membuka pintu ijtihad, umat Islam diharapkan bisa melakukan sebuah penafsiran yang kreatif, bebas, dan kontekstual terhadap sumber-sumber pokok ajaran Islam—al-Qur’an dan sunnah Nabi—sehingga bisa memberikan jawaban yang tepat bagi problem umat masa kini. A.     Latar Belakang Masalah Dalam konteks pemikiran Islam, Fazlur Rahman [3] dikenal sebagai salah seorang pemikir besar. Ahmad Syafii Maarif, dalam tulisan pengantar buku Islam karya Fazlur Rahman terbitan Indonesia menyatakan, bahwa pada diri Rahman, berkumpul ilmu seorang alim yang alim dan i...

Tokoh-Tokoh Empirisme

Tokoh-Tokoh Empirisme   Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume. baca juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-filsafat-pendidiakan.html a.John Locke (1632-1704)    Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke : Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). ...