Al Fikr al Ushuli wa al-Istihalat al Tasil
karya dari Muhammed Arkoun
Abstrak
Makalah
dibawah ini merupakan review dari buku “Al Fikr al Ushuli wa al-Istihalat al
Tasil” karya dari Muhammed Arkoun, buku ini memaparkan pendekatan dan
metodologi pemikiran dari sang penulis, yang menurutnya lebih relevan dalam
mempelajari studi agama, serta dalam menghadapi masala-masalah Islam
Kontemporer saat ini. Ini bukanlah buku pertama Arkoun yang membahas tentang
Ushul Fiqh, tetapi buku ini mengupas lebih dalam tentang Nalar Ushuli pada
zaman dahulu dan bagaimana cara menggesernya dengan transformasi Nalar kritik
epistimologi yang dipakai penulis.
Dan dari
sinilah pula Muhammed Arkoun dalam bukunya al-Fikr al-Usuli wa Istihalah al-Tasil (Pemikiran Usuli dan
Tranformasi al Tasil) membahas tentang hubungan antara kehidupan di dunia dan
antara Nash-nash Ilahi yang menjadi kebutuhan Al Tasil, serta menegaskan kepada
kaum Islam untuk mengenal juga tentang hal yang bersifat keagamaan, ilmiah, filosofis, etis, politis, ekonomis ataupun
sosial, dan menggunakan peran rasionya, bukan hanya terdoktrin terhadap teks dan
apa yang sudah di wariskan kepada mereka.
Kata kunci: Mohammed Arkoun,
Al Fikr Al Usuli, Istihalah Al Tasil
A.
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang menjadikan umat-umatnya sebagai Rahmatan
Lil’alamin, itu adalah salah satu tujuannya, oleh sebab itu diberlakukannya
hukum Islam, yang biasa disebut dengan Syari’ah, disini bisa dikatakan Syariah
sebagai istilah pokok dalam hukum islam, karena banyak yang menerjemahkan
seperti itu. Dan Syariah sendiri bisa dimaknai sebagai jalan yang disediakan
oleh Allah bagi kaum muslim untuk diikuti, agar mereka selalu dalam
keselamatan.[1]
Dan ini bisa dilihat dari zaman Nabi, ketika Islam datang, hingga sekarang. Di
masa Nabi, jika muncul suatu perselisihan, dan permasalah maka mereka selalu
merujuk kepada Nabi, dan meminta jawaban serta solusi atas apa yang terjadi.
Tetapi setelah beliau wafat, dan agama Islam sudah menyebar luas dengan adanya
peradaban yang baru, jika muncul suatu permasalahan, mereka menggunakan ijtihad,
dan dari situlah para sahabat nabi menemukan solusi bagi pemecahan
masalah-masalah.
Wafatnya Nabi meninggalkan warisan yang menjadi pegangan dan pedoman
manusia, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, selain itu karena mereka menggunakan
cara ijtihad untuk memecahkan masalah, lahirkan ijma’ dari para sahabat,
serta qiyas, yang mana telah menjadi sandaran bagi para umat muslim
hingga saat ini. Tetapi tiga puluh tahun pertama pasca wafatnya Nabi merupakan
periode ketegangan sosial dan politik antar aliran politik dalam Islam. Masalah
yang muncul bukan hanya soal kepemimpinan politik, melainkan juga soal apa dan
siapa yang mempresentasikan sebagai pemegang otoritas agama. Kehebohan yang
terjadi dalam masyarakat muslim berlanjut hingga periode Bani Umayyah, dan dari
situlah muncul beberapa kelompok dengan beragam orientasi teologi dan religio
politiknya, seperti Khawarij, Syi’ah, Qodariah, Mu’tazilah, Jabariah, dan
Murji’ah.[2]
Ditambah lagi dengan berbagai problema dan tantangan kemodernan yang
harus di hadapi umat Islam akan semakin berat, apalagi mengingat sudah terlalu
banyak hal yang tak terpikirkan dari berbagai kemajuan Barat dalam pemikiran
Islam, dan tantangan tersebut akan bertambah banyak sesuai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan. Jika di Barat sendiri kemodernan telah
menimbulkan berbagai persoalan, apalagi bagi umat Islam.[3]
Oleh karena itu makalah ini mereview ulang tentang buku al Fikr Al Ushuli Wa
Istihalah al Tasil yaitu bagaimana
mentranformasikan al Tasil (potensial pendasaran), sekarang ini yang mana
mereka bersifat keagamaan, ilmiah,
filosofis, etis, politis, ekonomis ataupun sosial kepada para pemikir Ushuli yang hanya terdoktrin
pada warisan-warisan yang diterimanya. Dalam buku ini, kritik nalar Arkoun
tidak hanya berpijak pada pencermatan pengetahuan dan pemikiran, maksudnya
tidak hanya meruntuhkan berbagai teks, konsep, ataupun madzhab. Tetapi kritik
nalarnya merupakan analisis system pengetahuan, pengungkapan dasar-dasar
pemikiran dan mekanismenya, serta menguraikan bagaimana cara memproduksi makna
dan kaidah pembentuk wacana.
Sebelum membahas tentang Arkoun, akan dijelaskan bahwa sebagai orang
yang kritis ia mencoba mengombinasikan antara Islam dan modernitas, dengan
tujuan agar supaya Islam mudah diterima oleh masyarakat, dan mampu merespon
zaman dan rahmatan lil’alamin. Melihat pemikiran Islam yang sempit, yang
hanya terdoktrin pada warisan-warisan yang ada, dan tanpa melihat sejarah serta
realita yang terjadi, serta tidak bisa menjawab permasalahan para umat islam
kontemporer, karena belum terlalu terbuka akan kemodernan.
Sebenarnya tulisan Arkoun tentang ushul fiqh dibuku ini bukanlah
pemikirannya yang pertama. Ushul fiqh yang beliau istilahkan dengan methodologi
hukum, ashl dengan dasar teoristis, ushul dengan sumber, ijtihad,
ijma’, qiyas, dan yang terkait, telah beliau bahas dalam tulisannya yang
berjudul (introduction’a La Pensee Islamique Classique dalam Essais
sur La Pensee Islamique) yang diterbitkan di Paris 1973. Hanya saja buku
ini membahas dan mengemukakan pemikiran ijtihadnya seputar ushul fiqh lebih
khusus lagi.[4]
Di buku Arkoun ini terdiri dari lima bagian. Pada bagian pertama Arkoun
akan membahas tentang Al Quran dan olah pikir krisis kontemporer, bagian kedua
tentang doktrin dan pembentukan subjectivitas manusia dalam konteks Islam,
selanjutnya di bagian ketiga membahas tentang konsep kepribadian dalam tradisi
Islam, dan pada bagian keempat membahas dialog keagamaan sampai pemahaman
fenomena keagamaan, dan di bagian akhir Arkoun membahas tentang Ilmu-ilmu
sosial terhadap tantangan nyata dalam Islam.
B.
Kegelisahan Akademik
Melihat dari pendahuluan yang telah dipaparkan, tentang beragamnya warisan
yang telah diberikan para mujahid dimasa lalu, kepada umat Islam sampai saat
ini, yang diharapkan bisa menjadi pedoman dalam menghadapi persoalan, serta
permasalahan yang ada, tetapi saat ini banyak sekali persoalan-persoalan dan
permasalahan-permasalahan baru tentang Islam Kontemporer, yang mana tidak kita
temukan solusinya serta tidak bisa dijawab oleh warisan yang sudah ada, dan ini
yang menjadi permasalahan dan kegelisahan Arkoun. Mengapa umat Islam khususnya
para pemikir Islam tidak bisa memposisikan dan memahami kekayaan dari warisan
yang sudah diberikan, untuk menjawab persoalan-persoalan baru? Dan dari sinilah
Arkoun memberikan pendekatan dan pemikiran baru bagi para pemikir Muslim, yang
mana pemikirannya itu lebih terfokuskan pada penggunaan akal rasio, dengan
mengambalikan pemikiran filosofis dalam praktek pendasaran (al ta’sil)
sebagaimana para pendahulu memahami, menggagas, dan mewariskannya. Dan dia
mengeluarkan nalar kritiknya terhadap nalar ushuli yang terdahulu, yang mana
nalar kritiknya tersebut bercorak kritik epistimologi.
Tetapi sebelum membahas tentang apa yang Arkoun tulis dalam bukunya ini,
ada baiknya bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu tentang latar belakang
beliau, dan keluarganya, serta pendidikannya, agar kita bisa membaca bagaimana
pemikiran beliau, dan metodologi apa serta pendekatan yang bagaimana yang
beliau gunakan untuk memecahkan masalah Islam Kontemporer saat ini.
C.
Biografi Muhammed Arkoun
Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 dalam keluarga biasa di
perkampungan Berber yang berada di sebuah desa di kaki gunung Taorirt-Mimoun,
Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Keadaan itulah yang menghadapkannya
sejak masa mudanya pada tiga bahasa, bahasa Kabilia salah satu bahasa Berber
yang diwarisi Afrika Utara dari zaman pra islam dan pra Romawi, bahasa Arab
yang dibawa bersama ekspansi Islam sejak abad pertama hijriah, dan bahasa
Perancis yang dibawa oleh bangsa yang menguasai Aljazair antara tahun 1830 dan
1962. Sampai batas tertentu ketiga bahasa itu mewakili tiga tradisi dan
orientasi budaya yang berbeda.[5] Tiga
bahasa tersebut sebenarnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara
berpikir dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kabilia merupakan alat
untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai kehidupan sosial dan ekonomi
yang sudah ribuan tahun usianya, Bahasa Arab merupakan alat untuk melestarikan
tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di berbagai belahan dunia Iislam lainnya.
Sedangkan bahasa Perancis merupakan bahasa administrasi pemerintahan serta alat
untuk mengenal nilai-nilai tradisi kelilmuan Barat, terutama di perancis.
Perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulis serta hubungan antar bahasa,
pemikiran, sejarah, dan kekuasaan, termasuk persoalan yang menarik banyak
perhatian Arkoun. Usaha memadukan berbagai cara berpikir, terutama dalam
keagamaan, yang lebih terpelihara di kalangan massa penganut Muslim dan sifat
rasional serta kritis yang lebih berkembang di dunia Barat merupakan cita-cita
utamanya.[6]
Kemudian Muhammad Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di
Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah
Menengah Atas di Al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota
Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962),
Muhammad Arkoun melanjutkan studi tentang bahasa dan sastra Arab di universitas
Sorbonne, Paris. Ketika itu ia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan
kesusasteraan Arab di paris serta mengajar di sebuah SMA (lycee) di
Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta member kuliah di
Fakultas Sastra Universitas Strasbourg.
Pada tahun 1961, Muhammad Arkoun di angkat sebagai dosen di Universitas
Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan
doctor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Muhammad Arkoun menulis
desertasi doctor mengenai humanism dalam pemikiran etis Miskawaih[7].
Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan
menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran Yunani.
Semenjak menjadi dosen di universitas Sorbonne tersebut, Muhammad Arkoin
menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang di pengaruhi oleh
perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu, bahasa, dan ilmu-ilmu
sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis.
Suatu hal yang menarik perhatian adalah bahwa Arkoun menerbitkan banyak
tulisannya dengan berbahasa Perancis, dan faktor dari itu adalah Arkoun
menemukan banyak masalah dalam mengungkapkan pemikirannya dalam bahasa Arab.
Dalam artikel yang diterbitkan pada tahun 1983, dan sejak itu keadaan belum
banyak berubah, ia menulis bahwa kemajuan yang paling menentukan yang terjadi
dalam pemikiran ilmiah sejak tahun 1950 belum tersedia dalam bahasa Arab atau
bahasa Islam manapun. Tapi akhir-akhir ini Arkoun rupanya membuka diri untuk
menulis dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris.[8]
Sebagai ilmuwan yang produktif, Muhammad Arkoun telah menulis banyak buku
dan artikel di sejumlah jurnal terkemuka seperti Arabica (Leiden/Paris),
Studi Islamica (Paris), Islamo-Cristiana (Vatican) Diogene (Paris),
Maghreb-Machreq (Paris), Ulumul Qur’an (Jakarta), di beberapa
buku dan ensiklopedi, dan masih banyak lagi buku-bukunya yang berbahasa
Perancis, dan kemudian beberapa di terjemahkan oleh muridnya Hashim Saleh,
selain ada juga bukunya yang berbahasa Indonesia.
D.
Metodologi dan Pendekatan
Arkoun
Metodologi dalam pendekatan yang dilakukan oleh Muhammad Arkoun sedikit
banyak telah dipengaruhi oleh dua kekuatan tradisi pemikiran yang telah ada,
yaitu tradisi pemikiran budaya Timur Tengah Kuno yang memiliki tempat khusus di
dalam pemikiran Yunani dan tradisi pemikiran monoteisme yang dibawa oleh para
Nabi. Sehingga Arkoun mengemukakakn bahwa dirinya sebagai pengguna metodologi
historis-kritis yang mencoba merespon rasa keingintahuannya secara modern,
karena metodologi ini nnilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan
mistis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama. Dengan demikian
menurut Arkoun, saat ini usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan
secara luas kedalampemikiran tentang Islam dan tentang agama lainnya adalah
bagaimana mengevaluasi karakteristi-karakteristik dari system ilmu pengetahuan
yang historis dan mistis dengan perspektif epistimologis yang baru. Tujuan yang
ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi
epistimologi baru di bidang studi perbandingan terhadap budaya melalui contoh
yang dikembangka oleh Islam sebagai agama dan sebagai produk sosial sejarah.[9]
Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis dan
tidak menghilangakn betapa pentingnya pendekatan teologis dan filosofis. Dan
pendekatan yang dilakukan Arkoun ini bertujuan untuk memperkaya pendekatan
tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu
dipraktekkan dalam Islam. Metode Arkoun ini disebut sebagai salah satu bentuk
metode dekonstruksi. Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukannya
dengan epistimologi modern yang kritis.[10] Ini
yang membedakan pendekatan yang beliau pakai, dengan pendekatan Hassan Hanafi,
dan rekonstruksi lebih bagusnya disebut adalah pendekatan yang mana dipakai
oleh Hassan Hanafi dalam menyampaikan, dan menawarkan cara-cara baru dalam
memahami Pemikiran Islam.
E.
Pemikiran Muhammed Arkoun
Arkoun dengan pemikirannya berusaha memperkenalkan beberapa pendekatan,
salah satunya adalah tradisi hermeneutika sebagai metodologis kritis yang akan
memunculkan informasi, makna dan pemahaman baru ketika suatu teks dan aturan
didekati dengan cara pandang baru, terutama dengan menggunakan metode hermeneutika
histiros-kontekstual. Konsep hermeneutika Arkoun adalah “garis-garis pemikiran
pemikiran heuristik fundamental” untuk merekapitulasi pengetahuan Islam dan
memperhadapkannya dengan pengetahuan kontemporer. [11]Tujuan
dari metode hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang
terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia
melalui pemahaman dan interpretasi.[12] Dan
metode ini menjadi metode yang sangat mendasar bagi ilmu-ilmu humaniora, dan
ilmu agama interdisipliner.[13]
Dalam metode ini dipaparkan, bahwa sikap dari setiap pengarang, teks dan
pembaca tidaklah lepas dari kontek sosial, politis, psikologis, teologis dan
konteks lainnya dalam ruang dann waktu tertentu. Maka dalam memahami sejarah
yang diperlukan bukan hanya transfer makna melainkan juga transformasi makna.
Pemahaman tradisi Islam selalu terbuka, dan tidak pernah selesai, dalam istilah
lain bahwa pintu ijtihad belum tertutup karena pemaknaan dan pemahmannya
selalu berkembang seiring dengan perkembangan umat Islam yang selalu terlibat
dalam penafsiran ulang dari masa ke masa. Dengan begitu tidak semua doktrin dan
pemahaman agama berlaku sepanjang zaman. Gagasan universal Islam tidak semua
tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat local cultural, serta terungkapa
dari tradisi kenabian saat itu. Itulah sebabnya dari masa ke masa selalu muncul
ulama tafsir yang berusaha mengaktualisasikan pesan Al Quran dan Hadis dan
tataran keislaman yang tidak mengenal batas akhir waktu.[14]
Selain tradisi hermeneutika, Arkoun juga menggunakan cara bagaimana membaca
teks Al Quran kembali, agar dapat membangun syari’ah yang baru, dan juga
mengetahui maksud yang disampaikan Nabi, dan juga dengan cara pluralisme Agama,
karena menurutnya, islam akan mencapai kejayaan jika umat Islam mau membuka
diri terhadap pluralism pemikiran dan pluralisme bisa dicapai bila pemahaman
agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan
siapapun, dan tanpa membedakan antara agamanya dengan agama lain.
F.
Nalar Ushuli dan Transformasi
al Tasil
Dari pendahuluan yang sudah di paparkan, maka ditegaskan kembali, bahwa
maksud Arkoun tentang potensi pendasaran (al-Tasil) yang sekarang ini bersifat
keagamaan, ilmiah, filosofis, etis, politis, ekonomis
ataupun sosial. Menurutnya pemikiran pendasaran (al Tasil) lahir dari setiap kajian dalam
Al Qur’an. Jika dikaji, ujaran Al Qur’an tampak senantiasa menghubungkan
bimbingan, perintah, larangan, dan seluruh makhluknya di satu sisi, dengan
kekuasaan pencipta dan dasarnya (al ashl, fondement theorique) di sisi
lain. Oleh karena itu pendasaran (at tasil) yang telah dikaji oleh para
pakar ushul fiqh tersebut sebenarnya merupakan upaya penyambungan dasar (al
ashl) pertama yang absolute, tunggal dan benar, dengan makhluk, perbuatan,
dan hukum-hukum.[15]
1.
Al Qur’an dan Olah Pikir
Kritis Kontemporer
Al Quran adalah salah satu
naskah berjangkauan universal yang begitu sering kita utarakan, tuliskan, dan
yang meski demikian tetap kurang dipahami. Memang benar bahwa Al Quran
mematahkan berbagai upaya para penafsir terbaik, juga benar jika para pembaca
non Muslim tidak memilki emosi yang kuat tentang keagamaan dan tetap menerima
apa adanya tentang risalah itu.[16]
Berbicara tentang kritis Al Qur’an, dalam bukunya ini Arkoun mengawali
pembahasannya dengan kajian hukum akal-akal atau aturan sebab-sebab, dan
inferensi-inferensi, disini dia menegaskan serta mengkritik ciri khas akal
Barat pada disiplin ilmu-ilmu sosial yang hanya menghasilkan rasionalisme-rasionalisme
yang berantakan, dan kecenderungan pada independensi subjektif.
Pada kenyataannya bahwa setiap
spesifikasi terpisah dari spesifikasi-spesifikasi lain, maka tidak ditemukan
kesatuan pada akal akan tetapi akal itu berserakan dan tercerai berai. Ditengah
kejelasan kondisi tersebut studi orientalisme tersingkap kelemahan-kelemahan
dan kecongkakannya sebab mereka menghindari dan meninggalkan diskusi sekaligus
penerapan kerangka teori dan metodologi dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora
yang berkembang di Barat. Bahkan para filosof Barat sendiri menyingkapkan
kelemahan mereka, seperti madzhab Franfurt sampai Foucoult, Habermas, Derrida,
Adorno, dan Pierre Bourdieu.[17]
Arkoun mengemukakan tiga
formulasi tiga model pembacaan Al Qur’an dalam permasalahn pendasaran
(al-tasil) untuk model pertama yaitu model pembacaan yang bersifat
historis-ontropologis dengan keterbatasannya,[18]
model kedua ia memaparkan sekaligus menguji pembacaan linguistik, semiotik, dan
kesusteraan,[19]
dan model terakhir dia adalah pembacaan imani atau keimanan.[20]
Arkoun adalah salah satu Muslim yang memperkaya studi Islam dengan hasil
pekembangan semiotika.[21]
Arkoun menyebutkan macam-macam
manfaat analisis semiotis dalam analisis Qur’an, manfaat pertama adalah bahwa
pendekatan semiostis memandang suatu teks sebagai suatu keseluruhan dan sebagai
suatu system dari hubungan-hubungan intern. Kelebihan lain bahwa analisis
semiotik membuat kita mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu
sebelumnya atau pra anggapan lain.[22] Dari
model-model pembacaan atas Al Qur’an yang telah dipaparkan Arkoun, maka
permasalahan kejelasan Al Qur’an dan proses pemahaman teks sebagai pemegang
otoritas pemikiran Islam telah terkuak sehingga membuka peluang pembacaan
secara lebih luas.
Yang membedakan antara
pemikiran Arkoun dengan nalar ushuli adalah, Nalar Ushuli tidak pernah
membedakan sama sekali antara Al Quran yang ada di al-Lawh al-Mahfuz
dengan Al Qur’an yang di wahyukan kepada Rasulullah, dengan yang diujarkan oleh
lisan Muhammad, dan dengan yang tertulis dalam Mushaf Utsmani, bahkan dalam
batas-batas tertentu dengan yang ditafsirkan dan dengan yang diterjemahkan
dalam bahasa non-Arab. Semua sama saja tanpa jarak semantic, linguistic,
semiotic, dan historis dengan pembacanya. Sedangkan Arkoun dengan tegas
membedakan semua tingkatan yang dilalui oleh wahyu Al Quran dari tingkatannya
sebagai kalam Allah, sebagai yang tertulis di al-Lawh al-Mahfuz
atau yang biasa disebut dengan Umm al-Kitab, sebagai wahyu yang disampaikan
oleh Jibril kepada dan diujarkan secara lisan oleh Nabi Muhammad, dan Al Quran
yang kemudian melewati proses-proses profane dan imanen.[23]
Arkoun jelas membedakan semua
tingkat transformasi itu dan mengemplisitkan dampaknya dalam pemaknaan Al
Qur’an (lihat gambar).[24]
Word of God (Umm al-Kitab)
Interpretive Community
COC = Closed
Official Corpus (Korpus Resmi Tertutup)
Int. C =
Interpretive Corpus (Korpus tertafsir)
Dari gambar tersebut Arkoun ingin menunjukkan perbedaan tiga tingkatan
wahyu dari berupa kalam Allah hingga kemudian menjadi teks yang ternalar
oleh manusia: Pertama, wahyu sebagai Firman Allah yang transenden,
unlimited (mutlak, tak terbatas), yang tak diketahui oleh manusia. Inilah yang
biasanya disebut sebagai Umm al-Kitab yang tersimpan di al- Lawh al-Mahfuz,
kedua, wahyu yang menampakkan dirinya pertama kali dalam sejarah melalui
proses bertahap selama 22 tahun dengan perantaraan lisan Nabi Muhammad dan
dengan Bahasa Arab. Tingkat ini juga tidak mungkin lagi kita tangkap situasi
wacananya, dan ketiga, wahyu yang sebagaimana yang tertulis di al-mushaf
al-‘uthmani. Mushaf ini yang menjadi akses terutuh yang bisa kita peroleh
dan kemudian juga ditafsirkan oleh para mufassir selama berabad-abad.[25]
Dalam pandangan Islam khusunya ahlu Ushul Fiqh, yang mana belum ada yang
merespon apa yang dipaparkan Arkoun tentang teks Al Quran tetap meyakini bahwa
Allah akan memelihara dan tetap akan memelihara Al Qur’an untuk selamanya,[26]
seperti yang disebutkan dalam surat Al Hijr ayat 9 yang berbunyi “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya. Dari jaminan Allah inilah yang memperkuat para
pemikir Islam untuk tetap pada
kepercayaannya, bahwa tidak ada jarak pemisah, ataupun perbedaan dari Al Quran
yang dulu, dengan Al Quran yang sekarang, seperti yang telah dikatakan Arkoun.
Dari sini kita bisa melihat bahwa Arkoun menggunakan pendekatan
antropologis, ia ingin menggali faktor-faktor umum kemanusiaan, budaya, dan
agama masyarakat Timur Tengah, Mediteranian Kuno, yang telah melahirkan tiga
wahyu monoteisme dan agama besar. Pendekatan antropologis dalam mengkaji Al
Qur’an ini dimaksudkan untuk menawarkan studi Al Qur’an kepada seluruh umat
manusia secara elektif, dialogis, terbuka, dan inklusif, tanpa batas Timur dan
Barat, terutama integrasi dalam perangkat yang menggerakkan secara umum
terhadap riset dan pemikiran saat ini.[27]
2.
Doktrin dan Pembentukan Subjektifitas
Manusia dalam Konteks Islam.
Konsep manusia dalam Islam bisa diambil
dari ayat Al Quran surat Al Mu’minun ayat 12-16 yang menyebutkan bahwa manusia
di ciptakan Allah dari intisari tanah yang di jadikan nuthfah dan di
simpan di tempat yang kokoh. Kemudian nuthfah itu dijadikan darah beku,
darah beku kemudian dijadikan mudghah, kemudian mudghah dijadikan
tulang, tulang dibalut dengan daging yang kemudian dijadikan Allah makhluk
lain. Lalu dilanjutkan di surat Al Sajadah ayat 7-9 menjelaskan setelah
kejadian manusia dalam kandungan mengambil bentuk, ditiupkan Allah ke dalamnya
ruh dan dijadikannya pendengaran, penglihatan, dan perasaan.[28]
Dari situ kita bisa melihat bahwa didalam al
Nafs mempunyai dua daya, daya pikir yang disebut akal dan berpusat di
kepala, dan daya rasa yang berpusat dalam kalbu. Dan inilah hakikat manusia
menurut ajaran Islam. Ketika zaman nabi tidak ada dualisme pendidikan,
pendidikan agama dan pendidikan sains, seperti yang terdapat di Islam dewasa
ini. Maka tidak ada kesenjangan antara ulama agama dan ulama sains di zaman
itu. Keduanya mempunyai dasar yang sama, yaitu pendidikan qalbiyah yang
kuat.[29]
Tapi membicarakan tentang subjektifitas
manusia, menurut Arkoun subjektivitas manusia itu termasuk semangat dalam
perilaku manusia terhadap pengalaman yang dia alami, dan dihubungkan dengan
adanya keyakinan dalam diri masing-masing, yang mana dengan keyakinan tersebut
manusia bisa memilih untuk mempertahankan, atau malah meninggalkan pengalaman
tersebut. Dan pengalaman yang dimaksud Arkoun adalah konsep perbuatan secara
tepat.[30]
Analisis Arkoun dalam hal ini berlanjut dengan dekonstruksi dan rekonstruksi,
dan kemudian mengembalikan aspek historisnya.
3.
Konsep Kepribadian dalam Tradisi Islam
Dunia intelektual Islam masa kini
dihadapkan oleh berbagai isu kontemporer yang cukup hangat. Misalnya isu
nasionalisme, HAM, keadilan, sosial, kedudukan wanita dan sebagainya. Hal ini
secara langsung menempatkan posisi “tradisi Islam” dalam sorotan. Yang
membedakan persepsi antara pakar sosiologi, dan agamawan, bahwa tradisi tidak
lain adalah religiusitas, kedangkalan kreativitas, dan ketakukan inovasi (bid’ah
dalam Islam). Namun dalam kalangan agamawan, tradisi berarti aturan suci yang
memiliki otoritas tinggi, keseimbangan lahir, dan batin, dan karenanya harus
dilestarikan.[31]
Pembahasan Arkoun di dalam masalah ini
adalah bahwa kepribadian yang dia maksudkan merupakan istilah modern yang ia
gunakan untuk pembentukan suatu visi, yang mana artinya bisa sebagai keyakinan,
pengetahuan masa lalu, tapi dalam arti lain adalah prinsip-prinsip perumpamaan,
cerita-cerita, nash-nash keagamaan dan sebagainya. Dia mengolaborasi antara tradition
dengan t kecil, dan Tradition dengan T besar untuk menyusun kerangka
teoritisnya, dan perbedaan huruf tersebut mempunyai pengaruh makna atau arti
yang luas dalam Islam sehingga analisisnya terpusat pada Tradition
islamique.[32]
Dan menurutnya tradisi dari setiap agama tergantung dari kepribadian, atau
keyakinanan masing-masing, apakah dia akan melestarikannya, atau meninggalkannya.
Menaggapi tentang tradisi Islam, ada
pandangan berbeda tentang posisi tradisi Islam, pertama, pandangan
orientalis yang meragukan keampuhan tradisi islam untuk mengimbangi kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern, kedua, adalah pandangn kelompok
Islam “konversati/tradisionalis” berupaya menggali kembali khasanah intelektual
Islam untuk dapat diterapkan dalam konteks kekinian, tanpa harus meminjam
tradisi Barat, dan ketiga, posisi “jalan tengah” yang menganjurkan
pendekatan interaksi positif antara tradisi Islam, dan tradisi Barat modern
dalam pengertian, menyaring konsep Barat yang positif untuk memperkaya dan
memperkuat tradisi Islam, kelompok ini dipelopori pleh mereka yang menamakan
dirinya kaum modernis.[33]
Dengan adanya beberapa kelompok pandangan
tradisi Islam, kita harus melihat mana yang lebih positif, dan baik untuk
kemashlahatan bersama.
4.
Dari Dialog Agama Menuju Pemahaman Fenomena
Keagamaan
Salah satu wacana intelektual yang cukup
mengesankan dipenghujung abad 20 ini adalah maraknya perbincangan mengenai
dialog antaragama bahkan juga dialog antar iman. Gejala ini sebagaimana
lazimnya sebuah wacana tentu saja tidak berdiri sendiri, mekainkan ada banyak
faktor yang ikut mendorong kelahirannya. Dan salah satunya, kalau bukan yang
terpenting ialah apa yang oleh Gilles Kapel disebut dengan krisis modernitas (crisis
of modernity). Dengan mengecualikan mereka yang secara apriori menolak
perbincangan semacam itu. Banyak yang bilang bahwa intensitas perbincangan
mengenai hubungan agama-agama akan semakin meningkat di masa-masa mendatang.[34]
Menyinggung tentang dialog agama ini banyak
sekali muncul berbagai tawaran teologi agama, seperti teologi pembebasan,
teologi dialektis, teologi hermenetis, teologi transformative, dan lain-lain,
yang semuanya mengarah pada gagasan transformative dengan agama sebagai pelaku
utamanya. Dan gagasan tersebut terus bergulir sehingga melibatkan agama-agama
besar di dunia, seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam, yang mana selalu
bergumul tentang persoalan-persoalan seperti itu.[35]
Telah disinggung juga oleh Leonard Swidler[36]
dalam bukunya yang berjudul Death or
Dialogue, dia menegaskan bahwa “Kita tidak dapat mengabaikan pihak lain
dengan menutup mata, pikiran dan hati terhadap mereka, menatap mereka dengan
rasa curiga, prasangka, dan bahkan terkadang dengan kebencian, pola hubungan
yang semacam ini akan mengantar kita kepada permusuhan yang berakhir dengan
kontrofersi dan kematian. Manusia telah beranjak dari pola monolog kepada pola
dialog, siapa saja yang mengabaikan dialog akan tergusur sendiri”. Dari
perkataan tersebut, dia menegaskan pentingnya semangat keterbukaan antar agama.[37]
Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa untuk
mengetahui pemahaman antar agama, kita harus saling terbuka satu sama lain,
meskipun ada beberapa batasan yang mana tidak semua bisa memahami dari satu
agama ke agama yang lain, dan ini didukung oleh penegasan Arkoun dalam peran
tujuh akal maju (al-‘aql al-munbatsaq) yang ciri-cirinya yaitu pertama
akal yang mau di kaji ulang, dan di diskusikan. Kedua akal yang
mengidealkan kesatuan dan keseluruhan melalui berbagai sumber, dokumen dan
diskusi, tetapi bukan hanya dalam satu sumber bahasa saja melainkan dengan
seluruh bahasa dan sumber lainnya. Ketiga, akal yang berpedoman pada
teori pertentangan penjelasan sebagai ganti dari perpalingan satu metode. Keempat,
akal yang menyadari bahwa sumber-sumber atau dasar (al-usul) berubah
menjadi pendahuluan dan premis yang diperlukan, untuk menguatkan dan
menverifikasi, dan itu bisa didapat dengan cara menemukan transformasi dan
historitas pendasaran (al-tasil). Kelima, akal yang
memperingatkan bahayanya penyusunan kitab dari pengetahuan yang murni, dan
mengidealkan olah pikir majemuk, oleh karena itu dia memakai metodologi
hipotesis agar bidangnya menjangkau segala keraguan dan pertanyaan. Keenam, akal
maju tidak menekankan kerumitan daripada penyederhanaan, pembangunan baru
daripada pengkajian ulang yang sudah ada, Ketujuh, akal maju mesti
menepis tuduhan, argument, dan perdebatan yang tidak berarti.[38]
Dalam hal ini Arkoun mengkritik dengan
nalar Islam dan nalar pengayom, serta meletakkan analisis keislamannya dalam
antropologi agama, dan dia juga menggunakan pendekatan Arkeologi untuk
memandang medan makna dari keyakinan keberagamaan dan keterpaduan fenomena
keberagamaan.[39]
5.
Ilmu-ilmu Sosial terhadap Tantangan
Fenomena Keislaman
Membicarakan tentang tantangan nyata dalam
Islam, biasanya ini merujuk kepada tantangan modernisme yang sedang dialami
umat Islam, seperti yang kita pahami bahwa Islam lebih dikenal dengan agama
dakwah, tapi ada beberapa kelemahan dalam dakwah Islam, seperti muatan dakwah
yang tidak up to date, kemasan dakwah yang kurang menarik, serta metode
dan media dakwah yang masih lemah, dan itu yang membuat Islam terasingkan,
ditambah lagi dengan zaman yang terus melahirkan berbagai penemuan, umat Islam
harus mamapu menerobos berbagai kekakuan pemikiran untuk kemudian melahirkan
berbagai ide-ide perubahan yang visioner, baik terkait sosial kemasyarakatan,
mauapun pelestarian alam.[40]
Menyinggung tentang modernisme dalam
masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk
mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi, dan lain sebagainya,
dan paham ini mempunyai pengaruh besar pada masyarakat Barat, dan segera
memasuki lapangan agama yang dipandang di Barat sebagai penghalang kemajuan.[41]
Dan dari situlah adanya pandangan bahwa Islam menghambat atau
sekurang-kurangnya memperlambat proses modernisasi dalam lapangan hidup umatnya
tak dapat disangkal lagi. Pandangan demikian berdasarkan atas hal bahwa Islam
sebagaimana halnya agama-agama lain dikatakan bersifat dogmatis, selain itu
ajaran-ajaran Islam tidak hanya mengurus soal keakhiratan tetapi juga mengurus
soal hidup kemasyarakatan umatnya.[42]
Sedangkan menurut Arkoun para analisis
Barat tentang penemuan dan wacananya terhadap segi keberagamaan Islam,
sebenarnya berasal dari satu atau beragam disiplin ilmu sosial. Dia menarik
kembali orientalisme kedalam wacana ilmu-ilmu sosial, menurutnya kajian
orientalisme tidak bisa dihindarkan dari asumsi pribadi mereka, tetapi yang
menjadi hambatan wacana Barat adalah memandang fenomena keislaman kontemporer
seperti jihad, karena akal mereka menyebar dan terjaga oleh disiplin
masing-masing gerakan.[43]
G. PENUTUP
Dari semua pembahasan yang di paparkan Arkoun dalam buku ini, entah dari
masalah kritis Al Qur’an, tentang pembentukan subjektivitas manusia, dalam
konsep kepribadian, dialog agama, hingga masalah ilmu-ilmu sosial, Arkoun
memakai pendekatan Kritis Historis, landasan pemikiran Arkoun ini dilatar
belakangi oleh faktor historis, yaitu masa kebangkitan Eropa maupun revolusi
Perancis. Hingga kemudian berbagai kritik terlontar dari mulutnya terhadap
pemikiran sejumlah sarjana Muslim. Menurut dia, ada sebagian dari mereka yang
tak mampu melihat sejarah Islam secara kritis dan Ilmiah, layaknya sarjana
Barat melakukannya terhadap agama Kristen. Padahal Al Qur’an mendorong manusia
untuk mencari pengetahuan.
Dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat Islam tersebut, Arkoun
mencoba mengkaji permasalahan melalui pendekatan secara kontekstual sesuai
dengan situasi kontemporer saat ini. Ketepatan metode argumentative serta
keabsahan alat analitik dan deduktif diraih Arkoun melalui pendekatan
interdisipliner. Dalam upaya mengaktualisasikan pemikiran-pemikirannya yang
transformative, dia memakai ilmu bahasa (linguistic, semantic dan sastra), ilmu
humaniora (filsafat), sosiologi, antropologi, dan arkeologi. Hal ini bisa
dipahami mengingat kedekatan Arkoun dengan Barat sehingga menjadikannya mudah
menyimak, mencerna, dan mengkritik pemikiran baru Barat modern yang mapan dari
beragam disiplin ilmu serta mengubahnya menjadi perangkat konsepsionis dan
pembacaan produktif terhadap tradisi.
Tapi dari segala yang dia bahas,
tidak semua bisa menerima, mungkin bagi orang yang memahami tentang ilmu
histori bisa memahami apa yang di bicarakannya, melihat Arkoun sering memakai
bahasa yang rumit, dan sulit di cerna, selain itu bagi orang yang baru membaca
artikel-artikel miliknya, mungkin dia akan menemukan beberapa istilah baru,
tapi dengan saran dia untuk menghubungkan pendasaran (al-tasil) yang bersifat
baru dengan pemikiran Ushuli yang sudah dijadikan pedoman bagi orang
Islam kebanyakan, khususnya para pemuka Agama di tambah lagi dengan banyaknya
gerakan-gerakan yang muncul dalam Islam, menurut reviewer akan sulit, karena
letak pemikirannya sudah berbeda. Tapi untuk menambah pengetahuan, buku ini
bisa bermanfaat bagi siapa saja, dan untuk para pemikir-pemikir entah setelah
itu mereka akan sepakat atau tidak, karena Arkoun hanya mentramsformasikan apa
yang dia pikirkan tentang Peradaban Islam dan cara memahaminya dengan
pendekatan yang dia pakai. Dalam tulisan review ini, masih terdapat beberapa
kesalahan, tapi semoga tulisan ini bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Arif,
Syarifudin. 2004. Book review Al-Fikr Al-Usuli wa Istihalah Al-Tasil.
Yogyakarta: Jurnal Al Jami’ah, Vol. 42, No. 1.
Arkoun,
Mohammed. 1994. Nalar Islami dan Nalar Modern: berbegai tantangan dan jalan
baru. cet. 1. Jakarta: INIS.
_______,
Mohammed. 1999. Al Fikr al-Usuli wa
Istihalat al-Ta’sil Nakhwa Tarikh Akhor li al-Fikr al-Islami. (alih bahasa
dan pengomentar: Hasyim Salih). Libanon: Dar al Saqi.
_______,
Mohammad . 1998. Kajian Kontemporer Al Qur’an. cet. 1. Diterjemahkan
dari buku berbahasa Perancis Lectures du Coran. terbitan G.P.
Maisonneuve et Larose, Paris 1982. Bandung: Penerbit Pustaka.
_______, Muhammed. 1988. Rethinking Islam Today,
Charlez Kurzman (editor) Liberal Islam: A Souce Book. New York: Oxford
University Press.
Baharun,
Hasan, Akmal Mundiri dkk. 2011. Metodologi Studi Islam Percikan Pemikiran
Tokoh dalam Membumikan Agama. Cetakan 1. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Iswahyudi.
2011. Hermeneutika Praksis Liberatif Farid Esack, (Ponorogo: Jurnal
Religio, Vol. 02, No. 01.
Julaeha,
Siti. 2011. Islam dan Tantangan Modernitas. Jurnal Bimas Islam. Vol. 4
no. 2.
Kaelan, 2010.
Metode penelitian Agama Kualitatif interdisipliner Metode Penelitian Ilmu
Agama Interkonektif Interdisipliner dengan Ilmu lain. Yogyakarta: Paradigma.
Maftuhin,
Arif. Dari Nalar Ushuli ke Nalar
Interdisiplin Studi atas implikasi kritik nalar Islami Mohammad Arkoun.
[pdf]. www.digilib.uin-suka.ac.id, diakses tanggal 16 agustus 2013.
Meuleman,
Johan Hendrik. 1996. Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme. Yogyakarta.
Putro,
Suadi. 1996. Islam Menghadapi
Tantangan Kemodernan: Pandangan Mohammed Arkoun, dalam Johan Hendrik
Meuleman dkk. Tradisi, Kemodernan, dan Metamodernisme. Yogyakarta: LKIS.
Saeed,
Abdullah. 2014. Pemikiran Islam sebuah pengantar. Yogyakarta: Kaukaba
Shihab,
Alwi. 1999. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Cet. V.
Bandung: Mizan.
Shofan, Moh.
2006. Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme
dan Liberalisme. Cet. 1. Kata Pengantar: Amin Abdullah. Yogyakarta:
IRCiSoD.
[3] Suadi Putro, Islam Menghadapi Tantangan Kemodernan:
Pandangan Mohammed Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman dkk, Tradisi,
Kemodernan, dan Metamodernisme, (Yogyakarta: LKIS, 1996), hlm. 105
[4] Syarifudin Arif, Book review Al-Fikr Al-Usuli wa
Istihalah Al-Tasil, (Yogyakarta: Jurnal Al Jami’ah, Vol. 42, No. 1, 2004), hlm.
249
[5] Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern:
berbegai tantangan dan jalan baru, (Jakarta: INIS, cet. 1, 1994), hlm.1
[9] Muhammed Arkoun, Rethinking Islam Today,
Charlez Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Souce Book (New York: Oxford
University Press, 1988), hlm. 206
[11] Iswahyudi, Hermeneutika Praksis Liberatif Farid
Esack, (Ponorogo: Jurnal Religio, Vol. 02, No. 01, 2011), hlm. 30
[12] Kaelan, Metode penelitian Agama Kualitatif
interdisipliner Metode Penelitian Ilmu Agama Interkonektif Interdisipliner
dengan Ilmu lain, (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm. 180
[15] Mohammed Arkoun, Al Fikr al-Usuli wa Istihalat
al-Ta’sil Nakhwa Tarikh Akhor li al-Fikr al-Islami, (alih bahasa dan
pengomentar: Hasyim Salih), (Libanon: Dar al Saqi, 1999), hlm. 8
[16] Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al Qur’an, diterjemahkan
dari buku berbahasa Perancis Lectures du Coran, terbitan G.P.
Maisonneuve et Larose, Paris 1982, (Bandung: Penerbit Pustaka, cet. 1, 1998), hlm.
44
[21] Semiotika adalah ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari kata
Yunani semeion yang berarti tanda.
[22] Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi
Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme, (Kata Pengantar: Amin
Abdullah), (Jogjakarta: IRCiSoD, cet. 1, 2006), hlm. 141
[23] Arif maftuhin, Dari Nalar Ushuli ke Nalar
Interdisiplin Studi atas implikasi kritik nalar islami Mohammad Arkoun,
[pdf], (digilib.uin-suka.ac.id, diakses tanggal 16 agustus 2013)
[26] Abdul Aziz, Menuju Islam yang benar kajian kritis
Qur’ani menjelaskan hakikat Islam, (Semarang: Dina Utama), hlm. 38
[27] Hasan Baharun, Akmal Mundiri dkk, Metodologi Studi
Islam Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (Jogjakarta: Ar Ruzz
Media, cet. 1, 2011), hlm. 246
[28] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan
Pemikiran, (Bandung: Mizan anggota IKAPI, cet. V, 1998), hlm. 37
[31]
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka
Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, cet. V, 1999), hlm. 287
[32]
Syarifudin Arif, Book review Al-Fikr Al-Usuli wa
Istihalah Al-Tasil, hlm. 252
[40] Siti Julaeha, Islam dan Tantangan Modernitas,
dikutip dalam Jurnal Bimas Islam, vol. 4 no. 2, tahun 2011
Comments
Post a Comment