Skip to main content

Maqasid Syariah Paradigma Baru

Maqasid Syariah Paradigma Baru
Dalam sistem hukum Islam, the implication of the purpose (Dilalah al-Maqsid) merupakan ekspresi baru yang akhir-akhir ini mengemuka di kalangan modernis Islam, dalam rangka memodernisasi Usul al-Fiqh. Selama ini, secara umum, dilalah al-maqsid memang belum dinilai sebagai dilalah qat’i (certain) untuk dijadikan sebagai suatu hujjah hukum (yuridical authority). Hingga sekarang, secara teoritis, purposefulness masih dilarang untuk memainkan peranan penting dalam upaya penggalian hukum dari nass. Berdasar landasan berpikir tersebut, Jasser Auda berkeyakinan bahwa tujuan dari hukum Islam (Maqasid al-Shariah al-Islamiyyah) menjadi prinsip fundamental yang sangat pokok dan sekaligus menjadi metodologi dalam analisis yang berlandaskan pada systems. Lagi pula, karena efektifitas dari sebuah sistem diukur berdasar pada terpenuhinya tujuan yang hendak dicapai, efektifitas dari sistem hukum Islam juga diukur berdasarkan terpenuhinya tujuan-tujuan pokoknya (Maqasid). Beberapa contoh pengambilan Maqasid dalam metode hukum Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: 
1. Istihsan (Yuridical Preference) berdasarkan Maqasid. Selama ini, Istihsan dipahami sebagai upaya untuk memperbaiki metode qiyas. Menurut Jasser Auda, sebenarnya permasalahannya bukan terletak pada ‘illat (sebab), melainkan pada Maqasidnya. Oleh sebab itu, Istihsan hanya dimaksudkan untuk mengabaikan implikasi qiyas dengan menerapkan maqasidnya secara langsung. Sebagai contoh: Abu Hanifah mengampuni (tidak menghukum perampok, setelah ia terbukti berubah dan bertaubat berdasarkan Istihsan, meskipun ‘illat untuk menghukumnya ada. Alasan Abu Hanifah, karena tujuan dari hukum adalah mencegah seorang dari kejahatan. Kalau sudah berhenti dari kejahatan mengapa harus dihukum? Contoh ini menunjukkan dengan jelas , bahwa pada dasarnya istihsan diterapkan dengan memahami dulu Maqasid dalam penalaran hukumnya. Bagi pihak yang tidak mau mengggunakan Istihsan, dapat mewujudkan Maqasid melalui metode lain yang menjadi pilihannya.
2. Fath Dharai’ (Opening the Means) untuk mencapai Maqasid/tujuan yang lebih baik. Beberapa kalangan Maliki mengusulkan penerapan Fath Dharai’ di samping Sadd Dharai’. Al-Qarafi menyarankan, jika sesuatu yang mengarah ke tujuan yang dilarang harus diblokir (Sadd Dharai’) maka semestinya sesuatu yang mengarah ke tujuan yang baik harus dibuka (Fath Dharai’). Untuk menentukan peringkat prioritas harus didasarkan pada maqasid. Dengan demikian, dari kalangan Maliki ini, tidak membatasi diri pada sisi konsekwensi negatifnya saja, tetapi memperluas ke sisi pemikiran positif juga.
3. ‘Urf (Customs) dan Tujuan Universalitas. Ibn Ashur menulis Maqasid Shari’ah. Dalam pembahasan tentang ‘Urf, ia menyebutnya sebagai ‘universalitas dalam Islam’. Dalam tulisan
itu, ia tidak menerapkan ‘urf pada sisi riwayat, melainkan lebih pada Maqasidnya. Argumen yang ia kemukakan sebagai berikut. Hukum Islam harus bersifat universal, sebab ada pernyataan bahwa hukum Islam dapat diterapkan untuk semua kalangan, di manapun dan kapanpun, sesuai dengan pesan yang terkandung dalam sejumlah ayat al-Qur’an dan hadis. Nabi memang berasal dari Arab, yang saat itu merupakan kawasan yang terisolasi dari dunia luar, yang kemudian berinteraksi secara terbuka dengan dunia luar. Agar tidak terjadi kontradiksi, maka sudah semestinya pemahaman tradisi lokal (baca: Arab) tidak dibawa ke kancah tradisi internasional. Jika demikian maka kemaslahatan tidak dapat dicapai dan tidak sesuai dengan Maqasid al-Syariah. Oleh sebab itu, kasus-kasus tertentu dari ‘urf tidak boleh dianggap sebagai peraturan universal. Ibn Ashur mengusulkan sebuah metode untuk menafsirkan teks/nass melalui pemahaman konteks budaya Arab saat itu. Demikian, Ibn Ashur membaca riwayat dari sisi tujuan yang lebih tinggi, dan tidak membacanya sebagai norma yang mutlak.
4. Istishab (Preassumption of Continuity) berdasarkan Maqasid. Prinsip Istishab adalah bukti logis (dalilun ‘aqliyyun). Tetapi, penerapan prinsip ini harus sesuai dengan Maqasidnya. Misalnya, penerapan asas “praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah” (al-Aslu Bara’at al-Dhimmah), Maqasidnya adalah untuk mempertahankan tujuan Keadilan. Penerapan “Praduga kebolehan sesuatu sampai terbukti ada dilarang (al-aslu fi alashya’i al-ibahah hatta yadullu al-dalil ‘ala al-ibahah) Maqasidnya adalah untuk mempertahankan tujuan kemurahan hati dan kebebasan memilih.
Akhirnya Jasser Auda setelah mendekomposisi teori hukum Islam Tradisional dengan memperbandingkannya dengan teori hukum Islam era Modern dan era Postmodern serta menggunakan kerangka analisis Systems yang rinci mengusulkan perlunya pergeseran paradigma Teori Maqasid lama (Klasik) ke teori Maqasid yang baru. Pergeseran dari teori Maqasid lama yang disusun oleh al-Syatibi ke teori Maqasid baru yang diusulkan, dengan mempertimbangkan perkembangan pemikirann tata kelola dunia dalam bingkai negara-bangsa (nation-states).

Comments

Popular posts from this blog

Beberapa Jenis Empirisme

Beberapa Jenis Empirisme 1. Empirio-kritisisme     Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik. baca jug:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-empirisme.html 2. Empirisme Logis      Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut : a. Ada batas-batas ba...

KRITIK SEJARAH FAZLUR RAHMAN; UPAYA MENCAIRKAN HADITS NABI

BOOK REVIEW KRITIK SEJARAH FAZLUR RAHMAN; UPAYA MENCAIRKAN HADITS NABI [1] Review Buku Islamic Methodology In History Karya Fazlur Rahman Abstraksi : Menelaah metodologi pemikiran Islam (Islamic Metodology) dari perspektif sejarah dewasa ini dirasa sangatlah perlu. Tujuannya adalah untuk melakukan kritik terhadap pemikiran Islam ortodok yang menyatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Dengan kembali membuka pintu ijtihad, umat Islam diharapkan bisa melakukan sebuah penafsiran yang kreatif, bebas, dan kontekstual terhadap sumber-sumber pokok ajaran Islam—al-Qur’an dan sunnah Nabi—sehingga bisa memberikan jawaban yang tepat bagi problem umat masa kini. A.     Latar Belakang Masalah Dalam konteks pemikiran Islam, Fazlur Rahman [3] dikenal sebagai salah seorang pemikir besar. Ahmad Syafii Maarif, dalam tulisan pengantar buku Islam karya Fazlur Rahman terbitan Indonesia menyatakan, bahwa pada diri Rahman, berkumpul ilmu seorang alim yang alim dan i...

Tokoh-Tokoh Empirisme

Tokoh-Tokoh Empirisme   Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume. baca juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/pengertian-filsafat-pendidiakan.html a.John Locke (1632-1704)    Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke : Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). ...