Epistemologi Maqasid Syariah dalam Sistem
Terdapat
6 (enam) fitur epistemologi hukum Islam kontemporer, yang menggunakan
pendekatan filsafat sistem menurut Jasser Auda. Keenam fitur ini dimaksudkan
untuk mengukur dan sekaligus menjawab pertanyaan bagaimana Maqasid al-Syari’ah
diperankan secara nyata dalam metode pengambilan hukum dalam berijtihad di era
sekarang. Bagaimanakita
dapat menggunakan Filsafat Sistem Islam (Islamic Systems Philosophy) dalam
teori dan praktik yuri dis, agar supaya hukum Islam tetap dapat diperbaharui (renewable)
dan hidup (alive) dimanapun berada? Bagaimana pendekatan filsafat Systems
yang melibatkan cognition, holism, openness, interrelated hierarchy dan
multidimensionality dan purposefulness dapat diaplikasikan dan
dipraktikkan dalam teori hukum Islam ? Bagaimana kita dapat mencermati dan
menemukan kekurangan-kekurangan yang melekat pada teori-teori penafsiran teks,
teori dan praktik hukum pada era Klasik (Tradisional), Modern dan Post-modern
dalam hukum Islam dan berupaya untuk menyempurnakan dan memperbaikinya ? Secara
intelektual, upaya ini sangat penting artinya karena keberhasilan dan
kegagalannya akan berpengaruh secara langsung terhadap dunia pendidikan dan
pengajaran, proses menjaga rasa keadilan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di setiap lapis dan jenjangnya, rumusan teori, metode dan pendekatan
yang biasa berlaku dan digunakan dalam pendidikan Islam, dakwah Islam, budaya
dan sosial-politik, kegiatan research dan pengembangan ilmu pengetahuan
dalam masyarakat Muslim dimanapun mereka berada.
1. Kognisi (Cognitive Nature)
Berdasarkan perspektif
teologi Islam, fiqh adalah hasil penalaran dan refleksi (ijtihad) manusia
terhadap nass (teks kitab suci) sebagai upaya untuk menangkap makna tersembunyi
maupun implikasi praktisnya. Jasser Auda berpendapat bahwa ijtihad tidak harus
dilihat sebagai perwujudan perintah-perintah Allah, meskipun didasarkan pada
konsensus (ijma') atau penalaran analogis (qiyas). Posisi ini
mirip dengan pandangan al-musawwibah ,
yang
didasarkan adanya 'kognisi' dari hukum Islam.
2. Utuh (Wholeness)
Adapun pandangan
holistik dari sistem hukum Islam dalam buku ini menelusuri dampak pemikiran
yuridis yang didasarkan pada prinsip sebab-akibat dengan menggunakan
keprihatinan Al- Razi dengan mengklaim 'kepastian' dalam bukti tunggal. Namun,
al- Razi tidak mengatasi masalah utama dari pendekatan atomistik, yaitu
kurangnya kelengkapan di dasar “sebab” mereka. Sedangkan
pada era sekarang ini, penelitian di bidang ilmu alam dan sosial telah bergeser
secara luas dari ‘piecemeal analysis’, classic equations dan logical
statements, menuju pada penjelasan seluruh fenomena dalam istilah-istilah
yang bersifat holistic sistem.
3. Openness
(Self-Renewal)
Dalam Fitur keterbukaan
(opennes) dan pembaruan diri (self-renewal) sistem hukum Islam, Jasser
Auda menunjukkan perubahan keputusan dengan perubahan pandangan ahli hukum atau
budaya kognisi sebagai mekanisme keterbukaan dalam sistem hukum Islam, dan
keterbukaan filosofis sebagai mekanisme
pembaruan diri dalam sistem hukum Islam. Secara tradisional, implikasi
praktis dari bukti al-'urf sangat terbatas, dan hukum Islam terus
didasarkan pada kebiasaan Arab. Dengan demikian, 'pandangan ahli hukum'
diusulkan sebagai perluasan ke pertimbangan ‘urf, dalam rangka mencapai
'universalitas' tujuan hukum. Keterampilan yang diperlukan untuk
ijtihad, yang oleh ahli hukum disebut 'fiqh al-waqi'' (memahami status
quo), harus dikembangkan yang berarti seorang ahli hukum harus mempunyai
'pandangan luas yang kompeten’ dalam 'keterbukaan' sistem hukum Islam untuk
kemajuan dalam ilmu alam dan ilmu sosial.
4. Interrelated
Hierarchy
Menurut ilmu Kognisi (Cognitive
science), ada 2 alternasi teori penjelasan tentang kategorisasi yang
dilakukan oleh manusia, yaitu ‘feature-based categorisations’ dan ‘concept-based
categorisations’. Jasser Auda lebih memilih kategorisasi yang berdasarkan
konsep untuk diterapkan pada Usul-al Fiqh. Kelebihan ‘concept based
categorisations’ adalah tergolong metode yang integratif dan sistematik.
Selain itu, yang dimaksud ‘concept’ di sini tidak sekedar fitur benar atau
salah, melainkan suatu kelompok yang memuat kriteria multi-dimensi, yang dapat
mengkreasikan sejumlah kategori secara simultan untuk sejumlah entitas-entitas
yang sama. Salah satu implikasi dari fitur interrelated –hierarchy ini
adalah baik daruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat, dinilai sama
pentingnya. Lain halnya dengan klasifikasi al-Syatibi (yang menganut featurebased
categorizations), sehingga hirarkhinya bersifat kaku. Konsekwensinya, hajiyyat
dan tahsiniyyat selalu tunduk kepada daruriyyat. Contoh
penerapan fitur Interrelated–hierarchy adalah baik salat (daruriyyat),
olah raga (hajiyyat) maupun rekreasi (tahsiniyyat) adalah
sama-sama dinilai penting untuk dilakukan.
5.
Multi-dimensionality
Jasser Auda mengajak
para pembacanya untuk secara sungguh-sungguh mulai mempertimbangkan dan
menggunakan pendekatan kritis dan multi-dimensi terhadap teori hukum Islam di
era kontemporer, agar supaya terhindar dari pandangan yang bercorak
reduksionistik serta pemikiran klasifikatoris secara biner. Hanya dengan cara
seperti itu, para pembaca dan pemerhati hukum Islam akan sadar bahwa hukum
Islam sesungguhnya melibatkan banyak dimensi, antara lain sumber-sumber (sources),
asal-usul kebahasaan (linguistic derivations), metode berpikir,
aliran-aliran atau madhhab-madhhab berpikir, harus ditambah pula dimensi budaya
dan sejarah, atau ruang dan waktu. Jika segmen-segmen atau elemen-elemen tadi
yang tidak terhubung dan ‘terdekonstruksi’, maka ia tidak akan dapat membentuk
gambaran realitas hukum Islam yang utuh, kecuali jika kita mampumen jelaskannya
kembali lewat skema keterhubungan yang sistemik dan keterhub secara struktural
antar berbagai segmen dan elemen tersebut. Jasser berkeyakinan bahwa pendekatan
yang kritis, multi-dimensi, berpikir berbasiskan sistem serta berorientasi
kepada tujuan akan mampu memberi jawaban kerangka beripikr yang memadai untuk
keperluan analisis serta pengembangan teori hukum Islam, melebihi yang
ditawarkan oleh kalangan postmodernis yang dilihatnya masih sedikit berbau
oposisi biner, reduksionis dan uni-dimensional.
6. Purposefulness
Kelima fitur yang
dijelaskan di depan, yaitu kognisi (Cognitive Nature), utuh (Wholeness),
Keterbukaan (Openness), hubungan hirarkis yang saling terkait, (Interrelated
Hierarchy), mulidimensi (Multidimensionality), dan sekarang ditambah
Purposefulnes sangatlah saling saling berhubungan satu dan lainnya.
Semua fitur lainnya dibuat untuk mendukung fitur 'purposefulness' dalam
sistem hukum Islam, yang merupakan fitur yang paling mendasar bagi sistem
berpikir, sebagaimana buku ini tegaskan. Dengan demikian, pendekatan maqasid
mengambil isu-isu yuridis ke tanah filosofis yang lebih tinggi, dan
karenanya, mengatasi perbedaan atas politik antara mazhab hukum Islam, dan
mendorong dibutuhkannya budaya damai dan hidup berdampingan. Selain itu,
realisasi tujuan (maqasid) harus menjadi tujuan inti dari semua
metodologi linguistik dan rasional dasar ijtihad, terlepas dari berbagai nama
dan pendekatan mereka. Oleh karena itu, validitas ijtihad pun harus ditentukan
berdasarkan tingkat mencapai 'purposefulness,' atau mewujudkan maqasid
al-syariah.
Comments
Post a Comment