Pengujian kebenaran ilmu
Menurut Al-Ghozali,
semua proposisi atau teori ilmiah harus diuji kebenrannya dengan metode
falsifikasi dan atau verifikasi berdasarkan kreteria di atas. Istilah
"falsifikasi dan verifikasi" yang populer pada abad 20 dalam konteks
rasionalisme kritis dan positivisme logik, esensinya inheren di dalam teori
pengetahuan atau filsafat ilmu sendiri. Di sini, Al-Ghozali menyebut"
pengujian" dengan beberapa term, seperti taftisy (pengujian, pemeriksaan),
istiqsa, bahs, ittila, mumarrasah (analisis, pengkajian, penelaahan dan
penelitian secara kritis, tajam dan mendalam), tajriban (pengujian dengan
eksperimen ) dan suluk (penelusuran). Verifikasi disebutnya dengan term
"tahqiq" (pembuktian kebenaran), isbat (penentapan/peneguhan) dan
tamhid li haqq (penyiapan jalan atau korobasi bagi kebenaran). Falsifikasi
disebutnya dengan beberapa term berikut.
a. Radd (penolakan, penyanggahan)
seperti dalam kalimat:
Artinya" sebagi radd (penolakan) terhadap kaum filsof
kuno dengan menjelaskan kerancuan
kepercayaan mereka dan kontradiksi pernyataan-pernyataanya yang berkaitan
dengan Ilahiyat (metafisika).
b. Mutalabah (penuntutan), inkari
(penolakan, pembantahan) seperti;
"Hendaknya diketahui bahwa tujuan (kajian
dalam Tahafut) adalah mengiantkan orang yang baik sangka kepada filosofis dan
mengira bahwa proses penalaran mereka bebas dari kontradiksi, dengan cara
menjelaskan segi-segi kontradiksinya. Karena itu, aku memasuki penyangkalan
terhadap mereka, kecuali sebagai seorang penuntut dan penyangkal (kebenaran),
bukan sebagai seorang pengklaim dan penetap (kebenaran). Maka aku batalkan
(salahkan) apa yang mereka percayai secara pasti dengan macam-macam argumen.
c. Muqabalah. (menghadapkan
problem dengan problem), untuk mencapai netralitas (imkdn), guna mendobrak
taklid dan pengultusan teori, sebagai penytapan jalan bagi kebenaran” ketika
ada bukti lain yang menunjukkannya.
d. Mu’dradah/i’tirad (penyangkalan),
yakni “tabyinu fasad al-kalam” (menjelaskan kesalahan statemen), atau “izhar
fasadi mazhabin” (menampakkan kesalahan suatu pendapat), “sehingga jelaslah
kesalahan apa yang salah dari tesis-tesis ini”.
e. Ibtal atau hadam (pembatalan,
pengguguran, penumbangan, peruntuhan, penghancuran, dekonstruksi) Misalnya:
Di atas menunjukkan
bahwa esensi falsifikasi menurut konsep Al-Ghazali adalah penyangkalan suatu
tesis atau teori dengan cara menjelaskan segi-segi kelemahannya. Ia mengambil
empat bentuk, yaitu: (a) mutalabah (penuntutan argumen atau bukti, sebagai
bentuk terendah); (b) muqabalah (menghadapkan problem dengan problem dan
argumen dengan argumen); (c) mu’aradah, radd, dan inkar (penentangan,
pembantahan, atau penyangkalan dengan cara menjelaskan dan menunjukkan
kelemahan dan kesalahan suatu tesis atau teori; dan (d) Ibtal atau hadam
(pembatalan, penumbangan, atau dekonstruksi dengan macam-macam argumen dan
pembuktian yang menyangkal), sebagai bentuk terberat. Falsifikasi dalam arti
yang sebenarnya (ibtal atau hadam) adalah bentuk ketiga dan keempat. Bentuk
pertama hanya menghasilkan skeptik ringan (sementara), di mana validitas tesis
atau teori tersebut ditangguhkan sampai ada argumen pendukung yang dapat
diterima. Bentuk kedua menghasilkan skeptik berat, dan mendudukkan tesis atau
teori tersebut dalam status mumkin (mungkin benar dan mungkin salah), sampai
ada bukti lain yang menyangkal atau mengukuhkannya.
Al-Ghazali melihat
bahwa bangunan ilmu yang dihasilkan melalui proses inferensi sangat rapuh dan
problematik. Dari segi objek, evidensi objek ilmu-ilmu faktual (dunia fisis,
proses mental, metafisis dan Realitas Mutlak), tidak. sama dan tidak seterang
yang dikehendaki. Apalagi objek ilmu praksis yang berupa nilai yang tidak
mempunyai esensi pada dirinya. Dari segi subjek, akal tidak bisa mengetahui
apa-apa tentang dunia fisis-sensual, kecuali melalui pancaindra yang hanya
dapat menangkap objek pada aspek-aspek luarnya, seperti warna, bentuk, dan
ukuran, padahal ketiganya hanyalah aksiden yang selalu dalam proses dan banyak
faktor yang memengaruhinya. Tangkapan dan laporan pancaindera sendiri, meskipun
pada dasarnya akurat, sering tidak akurat dan bervariasi karena faktor-faktor
luar. Apalagi laporan itu sering mengalami distorsi pada tahap common sense
dan estimasi sebelum sampai kepada akal. Dalam keadaan demikian, emosi-emosi
berupa eros dan tenatos sering mencampuri dan kadang mendominasi akal, sehingga
putusan akal sering tersusupi unsur-unsur subjektivitas yang merugikan
objektivitas. Dari segi metode dan proses inferensi, ketiga metode yang paling
andal, yaitu deduksi, induksi, dan analogi komparasi, mempunyai kelemahan
berupa reduksi, eliminasi, dan manipulasi sebagian data.
Seperti terlihat
dari uraian di muka, dalam deduksi atau silogisme, konklusi selalu sama dengan
premis mayor, yakni ia tidak menghasilkan ilmu baru, kecuali dalam arti “mengingatkan”
orang terhadap ilmu yang terkandung secara potensial dalam premis mayor,
sehingga lahir secara aktual sebagai ilmu “baru”. Premis mayor pun hanya
ilmu-ilmu a priori, ditambah ilmu-ilmu inferensial yang sebenarnya merupakan
hasil induksi yang sering tidak sempurna, dan, bagi yang mengakui, ilmu-ilmu
spontan yang diperoleh melalui wahyu atau ilham. Dengan deduksi, seperti
pendapat Cohen, pertumbuhan ilmu berjalan lamban, meskipun keumum-mutlakan ilmu
lebih terpelihara. Kalaupun deduksi hipotesis yang menuntut pembuktian
verifikatif empirik bisa menolong, hal ini sering tersusupi subjektivitas yang
mengarah pada “pengultusan” teori, dengan cara mengeliminasi, mereduksi, atau
memanipulasi sebagian data khusus agar sesuai dengan teori. Akibatnya, yang ada
bukan kesimpulan ilmiah yang objektif rasional,’ melainkan justifikasi
hipotesis dan dogmatisasi teori yang dipaksakan untuk berlaku secara universal.
Fenomena “dogmatisasi”
teori yang menjurus pada kemandegan pertumbuhan ilmu itu dikritik keras oleh
Al-Ghazali, baik dalam fiqih-ushul fiqh dan kalam maupun dalam filsafat, ta’limiyah
dan tasawuf. Karena itu, Al-Ghazali sangat menekankan falsifikasi terhadap
sebagian tesis atau teori dalam kelima bidang tersebut. Pada abad 20, ini
kemudian dikembangkan oleh Popper yang, secara berlebihan, menekankan prinsip
falsifikasi dan hampir menolak verifikasi, sekaligus menolak induksi.
Menghindari reduksi
dengan membiarkan konklusi partikular tanpa generalisasi universalisasi atau
teori, juga membuat lambatnya pertumbuhan ilmu, dan ilmu hanya merupakan
tumpukan konklusi partikularistik yang miskin teori. Cohen mencoba mengajukan
solusi, dengan menjadikan hukum-hukum umum sebagai pertimbangan formal yang harus
dibuktikan lebih dahulu kebenaran materialnya. Oleh karena itu, tidak memadai
untuk melandasi hipotesis yang akan diuji, dan bahwa hipotesis tidak mesti
lahir dari teori.
Induksi memang
diperlukan dalam rangka pembentukan hukum-hukum universal, dan Al-Ghazali
mengenal konsep universal dan general yang ditarik dari partikular-partikular.
Akan tetapi, dalam proses universalisasi-generalisasi melalui induksi itu, is
sangat hati-hati, sebab pernyataan universal atau general hasil induksi
sempurna merupakan ilmu yang kebenarannya pasti, dan hasil induksi tidak sempurna
merupakan ilmu yang, dalam kaitannya dengan partikular .yang belum diteliti,
kebenarannya probable atau tentatif, yang bertumpu pada prinsip uniformitas dan
konformitas. Konsep yang mengakui deduksi hipotetik dengan catatan bahwa suatu
universal kehilangan universalitasnya bila ada satu fakta partikular saja yang
menyalahi ini lebih optimistik ketimbang tesis Hume bahwa pernyataan yang
berdasarkan observasi tunggal, betapa pun besar jumlahnya, secara logis tak
dapat menghasilkan pernyataan umum yang tak terbatas, meskipun pernyataan umum
itu bisa- dipakai secara psikologis. Apalagi tesis Topper yang menolak induksi
secara total karena menolak juga pembenaran psikologis.
Probabilitas,
tentabilitas, dan testabilitas di atas, disebabkan dasar pemasukan partikular-partikular
lain yang belum diteliti ke dalam kategori universal tersebut hanya analogi di
atas prinsip kausalitas, uniformitas, dan konformitas, yang secara
logis-metafisis masih dipersoalkan. Keberlakuan universal itu terhadap
partikular “asing” tersebut hanya bisa diakui sepanjang partikular “asing “ itu’
belum terbukti menyalahinya. Karena pada dasarnya, “bila terdapat seekor angsa
hitam, tidak mungkin semua angsa putih”, suatu pernyataan universal, betapa pun besarnya
jumlah data partikular, hanya dapat dikoroborasikan secara verifikatif dengan
analogi yang bertumpu pada prinsip kausalitas, konformitas, dan uniformitas,
tetapi dapat dirontokkan sisi universalitasnya secara falsifikatif hanya dengan
satu fakta saja yang menyalahi.
Metode analogi,
yang validitas konklusinya bertumpu pada kesamaan ‘illat (causa efficiens
atau terminus medius) antara dua partikular atau lebih (pokok dan cabang),
dalam metafisika mustahil dilakukan. Sebab, ia tak dapat dioperasikan, kecuali
dengan syarat yang bila terwujud, gugurlah efek partikular yang tampak tertentu
itu ke dalam universal yang mencakup dunia fisis dan metafisis, sedangkan
pereduksian partikular ke dalam universal sedemikian itu tidak berdasar. Dalam
ilmu-ilmu mengenai dunia fisis dan proses mental, seperti psikologi,
antropologi, dan sosiologi, pembentukan hukum atau teori itu juga sering
mengesampingkan terminus medius dan mereduksi data atau sifat-sifat spesifik
partikular, bahkan sering terjerumus, kedalam analogi sufistik yang kabur,
seperti bertumpu pada kemiripan atau kesamaan dalam kausalitas, relasi, postur,
ruang, dan waktu, yang semuanya aksidental, tidak menyentuh esensi dan
sifat-sifat esensisal atau kausalitas yang lebih signifikan ‘bagi
kausalitas-korelasi. Dalam analogi abstrak ini sering menyusup unsur-unsur
subjektivitas (bias), seperti faktor religi, ideologi, sosial politik, dan
nilai-nilai primordial, serta vested interest lain.
Fenomena keilmuan
di atas bukan hanya menunjukkan bahwa ilmu harus dibangun di atas
prinsip-prinsip ilmiah seperti di muka, dengan metode empirik, rasional, dan
pada tahap akhir, metode intuitif (kasyfi) tetapi juga bahwa ia, sebagai
produk, kebenarannya sebagian (yang konjektural) harus dipandang tentatif dan
testable, yakni sudah dan selalu siap diuji kebenarannya, baik secara
falsifikatif maupun verifikatif. Dengan demikian, kriteria atau demarkasi ilmu
bukanlah sifat-observable, induktif, deduktif, atau analogiknya yang
menunjukkan proses, dan bukan pula verifiabilitas-empiriknya saja secara
sepihak, tapi rasionalitas, obyektivitas dan testabilitasnya, baik secara
falsifikatif maupun verifikatif, yang menunjukkan keterujian validitas dan
korespondensialitasnya terhadap objek.
Dengan prinsip
testabilitas (nazari), kemajuan ilmu bukan hanya terletak pada tumpukan
informasi atau teori begitu saja, tapi terutama pada prinsip-prinsip ilmiah,
yaitu prinsip skeptik metodis dan anti taklid, objektif-faktual dan terbuka,
rasional-kritis, komprehensif dan ikhlas, yang berkembang menjadi metode
falsifikasi atau refutasi terhadap tesis, teori atau hukum yang lemah (marjuh),
atau salah (fasid, khata’, bathil), diganti dengan tesis, teori atau, hukum
yang kuat (rajih) atau benar (sahih, sawab, haqq), melalui prinsip “trial and
errorr elimination”. Metode falsifikasi-refutasi ini oleh A1-Ghazali tidak
hanya diterapkan terhadap teori ouang lain seperti ‘teologi, filsafat, ta’limiyyah
dan tasawuf batini, tapi juga terhadap semua pengetahuan yang dimiliki sebelum
melakukan tes-tes falsifikatif tersebut. Bahkan, terhadap ilmu-ilmu spontan,
ketika hasil-hasil temuan “kasyf’ yang irasional hanyalah kepalsuan belaka, dan
teks wahyu yang kedudukannya pasti, tetapi maknanya tampak irasional harus
ditakwil.
Tentu saja,
falsifikasi yang serampangan mengarah pada tindakan destruktif yang negatif dan
berakibat fatal bagi perkembangan ilmu. Karena itu, agar kalsifikasi berjalan
sehat dan mencapai sasaran sebagaimana mestinya, Al-Ghazali memberikan
rambu-rambu yang konkret mengenai objek, tujuan, metode, dan proses, subjek dan
status hasilnya.
Objek yang
difalsifikasi harus jelas, yakni konkret batasan dan rumusan masalahnya,
seperti “20 tesis filosof Yunani yang dirumuskan Aristoteles menurut riwayat
Al-Farabi dan Ibn Sina”. Bila perlu, data objek disistematisasi lebih dahulu,
supaya lebih jelas struktur dan esensinya, untuk kemudian dikenakan tes
falsifikasi.
Tujuan atau sasaran
falsifikasi bukan serta-merta mematikan suatu tesis atau teori saja. Ia bisa
sekadar menjadikan teori itu “tertangguhkan”, sampai ada bukti yang dapat
diterima atau diketahui hanya sekadar spekulasi atau tautologi, seperti dengan
bentuk muhibalah. Bisa seka.dar menjadikannya “probable sebagaimana tesis atau
teori lain, seperti dengan bentuk muqabalah, sampai ada bukti lain yang
meinfalsifikasi atau memverifikasi. Bisa menggeser teori itu lalu digantikan
teori lain yang lebih kuat atau lebih mendekati kebenaran secara tentatif atau
konjektural seperti dengan bentuk mu’aradah. Bisa pula bertaraf “mematikan”,
seperti dengan bentuk hadam/ibtail. Itu sebabnya dalam Tahdfilt, Al-Ghazali
mengklasifikasikan tesis-tesis kaum filosof kuno ke dalam tiga kategori: hanya
berbeda redaksi, yang tidak perlu ditolak, tidak berkaitan dengan dasar-dasar
agama, yang dapat atau bahkan harus diterima, dan yang menyalahi dasar-dasar
agama, yang tertolak, baik terkategori bid’ah (17 tesis) maupun kufur (3
tesis).
Falsifikasi dengan
bentuk muqabalah memang, seperti kata Ibn Rusyd, tidak mencapai taraf “menumbangkan”
(hadam), tapi sekadar menghasilkan skeptik, tidak memfalsifikasi atau memverifikasi
salah satunya. Ini adalah falsifikasi yang tidak tuntas sebab falsifikasi yang
tuntas hanyalah yang merobohkan dari sudut faktanya sendiri bukan menurut
falsifikator. Falsifikasi yang menghasilkan skeptik inilah, menurutnya,
mayoritas falsifikasi Al-Ghazali dalam Tahkfut. Ibn Rusyd memang “memaksa”
Al-Ghazali untuk memulai dengan verifikasi (tagrfr al-haqq) sebelum memulai
dengan sesuatu yang menimbulkan kebingungan atau skeptik pada peneliti, agar
peneliti tidak mati sebelum menemukan kitab verifikatifnya, atau ia sendiri
mati sebelum sempat menyusun kitab verifikatif yang dijanjikannya.
Ibn Rusyd kurang
menyadari bahwa metode mendahulukan falsifikasi,sebelum verifikasi merupakan
bagian integral dari filsafat ilmu Al-Ghazali dengan prinsip skeptik
metodisnya. Dan, al-Ghazali memang tidak bermaksud “membunuh” filsafat, tetapi
seperti ditegaskannya sendiri, ia memerangi taqlid dan pengultusan kepada para
filosof kuno, dan menjadikan ilmu mereka testable falsifiable yang kebenarannya
tentatif atau probable. Bagi Al-Ghazali, bila tesis rasional dihadapkan dengan
antitesis rasional yang seimbang, akan dihasilkan sintesis yang berupa “imkan”
(kontingensi), yang bisa dikolaborasikan salah satunya dengan verifikasi
empirik-sensual, empirik intuitif (kasyf) atau iman berdasarkan verifikasi dari
sisi lain.
Bila objek berhasil
difalsifikasi, ia tidak lulus testing, baik yang, dalam masalah keagamaan,
terkategori “bid’ah”, yaitu “tidak boleh dipercayai”, maupun yang terkategori “kufur”,
yaitu “tidak sah dipercayai. Sebaliknya, bila ia gagal difalsifikasi, yang dari
sudut rasionalitasnya tidak irasional, is lulus tes falsifikatif, baik yang
wajib secara rasioal maupun yang harus ditempatkan dalam kawasan imkan
(kontingensi), sampai terbukti benar-salahnya secara verifikatif, baik dengan
bukti empirik sensual bila objek bersifat sensual, maupun bukti empirik
intuitif (musydhadah/kasyf), atau dengan beriman kepada Nabi.
Al-Ghazali tidak
mengontradiksikan falsifikasi dengan verifikasi, tapi menjadikan keduanya saling
melengkapi dan harus ada dalam kerangka mencapai kebenaran demonstratif yang
berangkat dari prinsip skeptik metodis dan prinsip-prinsip ilmiah lain.
Falsifikasi tanpa verifikasi mengandung unsur polemik dan penyangkalan
(mujddalah dan mu’anadah) terhadap kebenaran. Ia merupakan tindakan destruktif
dan penyakit yang tidak ada obatnya, yang menjurus pada robohnya bangunan ilmu,
seperti skeptisisme absolut dari kaum sofis. Sebaliknya, verifikasi tanpa
falsifikasi mengarah pada taqlid dan dogmatisasi teori yang ujungnya sama,
yaitu kemandegan perkembangan ilmu dan kebangkrutan intelektual seperti dari Ta’limiyyah..
Keseimbangan falsifikasi dan verifikasi terlihat dari semua kitab Al-Ghazali,
yang pada umumnya mengandung kedua aspek tersebut dan disketsakan dalam al-Munqiz.
Namun demikian,
dapat dibedakan tujuh tipe kitab-kitabnya. Yaitu kitab-kitab epistemologi
sebagai “neraca ilmu” atau “timbangan yang lurus” seperti ; Mi’yar, Mahk,
al-Qistas, Qanun al-Ta’wil, Syifa’, al-Galil, al-Mustasfa dan Faisal al-Tariqah;
yang bisa disebut kitab falsifikasi; seperti Tahafut; yang lebih menekankan
falsifikasi seperti Fada’ih; yang deskriptif, seperti Maqasid; yang lebih
menekankan verifikasi, seperti al-Iqtisad dan Mizan; yang bisa disebut kitab
verifikasi, seperti al-Mankhul dan al-Risalah al-Qudsiyyah; dan kitab-kitab
demonstratif-verifikatif, seperti Ihya’, Misykat, al-Maqsad al Asna, Jawahir
Al-Quran, al-Arba’in, dan Iljam al-’Awam.
Dalam al-Iqtisad,
setelah menjelaskan judul kitab dan daftar isinya dalam “pengantar “, ia
memasuki “mukaddimah” yang berisi empat pokok masalah, yaitu urgensi kalam,
fungsinya sebagai “obat” bagi kalangan tertentu, yang hukum mempelajarinya
fardu kifayah, dan epistemologi yang dipakai dalam penetapan akidah, yaitu
silogisme. Kemudian, membahas isi pokok, yaitu Zat, Sifat dan Perbuatan Allah
(kutub I-III), serta penetapan kenabian Muhammad SAW.
Menurutnya, dalam
masalah teologi, semua mukallaf wajib mempunyai tasdiq tadzim (pembenaran yang
pasti) berupa iman, dan membersihkan hatinya dari skeptik. Kemudian, mengajak
orang lain pada kebenaran, dengan argumen-argumen yang rasional. Dengan
demikian, ada dua tugas teologi. Pertama, memfalsifikasi paham-paham yang
salah,, yaitu semua bentuk tafrit (kurang) seperti antropomorfisme, dan ifrat
(lebih) seperti, konsep penafian sifat-sifat Tuhan. Kedua, memverifikasi yang
benar, yaitu poros tengah (iqtisad) sebagai “jalan lurus”, baik dalam
epistemologinya yang mengombinasikan akal dan naql dengan prinsip tidak ada kontradiksis
antara keduanya, maupun dalam ontologinya.
Al-Ghazali mengakui
bahwa kepastian kebenaran ilmu-ilmu faktual hanya bisa dicapai dengan
verifikasi empirik, sebab pada dasarnya “orang yang tidak melakukan percobaan tidak
akan mengetahui” (man lam, yujarrib lam ya’rij). Akan tetapi, proposisi dan
informasi mengenai dunia metafisis-teologis tidak bisa diverifikasi secara
empirik-sensual, melainkan sebatas verifikasi formal-rasional. Bagi yang belum
puas, masih ada jalan lain, yaitu verifikasi empirik intuitif yang bisa
menghasilkan kasyf/musyahadah. A1-Ghazali menempuh verifikasi model ini selama
kurang lebih 10 tahun.
Menurutnya,
pengakuan berdasarkan informasi dan observasi terhadap fenomenaa orang yang mengalami
musyahadah dengan prasangka baik adalah iman. Verifikasi (tahgiq) dengan
argumen-argumen rasional sampai batas mengakui secara pasti kemungkinan
terjadinya adalah ilmu; dan mengalami langsung keadaan tersebut adalah zauq.
Verifikasi empirik intuitif ini dari sudut hasilnya memang bersifat individual.
Akan tetapi, untuk menerobos jalan buntu dalam memverifikasi masalah
metafisis-teologis, is merupakan solusi akhir. Hal ini karena memang “orang
yang tidak dikaruniai sesuatu darinya (kasyf) dengan zauq, tidak akan menangkap
esensi kenabian, kecuali sekadar nama.
Comments
Post a Comment