Skip to main content

Pengujian kebenaran ilmu Al-Ghozali


Pengujian kebenaran ilmu
Menurut Al-Ghozali, semua proposisi atau teori ilmiah harus diuji kebenrannya dengan metode falsifikasi dan atau verifikasi berdasarkan kreteria di atas. Istilah "falsifikasi dan verifikasi" yang populer pada abad 20 dalam konteks rasionalisme kritis dan positivisme logik, esensinya inheren di dalam teori pengetahuan atau filsafat ilmu sendiri. Di sini, Al-Ghozali menyebut" pengujian" dengan beberapa term, seperti taftisy (pengujian, pemeriksaan), istiqsa, bahs, ittila, mumarrasah (analisis, pengkajian, penelaahan dan penelitian secara kritis, tajam dan mendalam), tajriban (pengujian dengan eksperimen ) dan suluk (penelusuran). Verifikasi disebutnya dengan term "tahqiq" (pembuktian kebenaran), isbat (penentapan/peneguhan) dan tamhid li haqq (penyiapan jalan atau korobasi bagi kebenaran). Falsifikasi disebutnya dengan beberapa term berikut.
a. Radd (penolakan, penyanggahan) seperti dalam kalimat:
Artinya"  sebagi radd (penolakan) terhadap kaum filsof kuno  dengan menjelaskan kerancuan kepercayaan mereka dan kontradiksi pernyataan-pernyataanya yang berkaitan dengan Ilahiyat (metafisika).
b. Mutalabah (penuntutan), inkari (penolakan, pembantahan) seperti;
 "Hendaknya diketahui bahwa tujuan (kajian dalam Tahafut) adalah mengiantkan orang yang baik sangka kepada filosofis dan mengira bahwa proses penalaran mereka bebas dari kontradiksi, dengan cara menjelaskan segi-segi kontradiksinya. Karena itu, aku memasuki penyangkalan terhadap mereka, kecuali sebagai seorang penuntut dan penyangkal (kebenaran), bukan sebagai seorang pengklaim dan penetap (kebenaran). Maka aku batalkan (salahkan) apa yang mereka percayai secara pasti dengan macam-macam argumen.
c. Muqabalah. (menghadapkan problem dengan problem), untuk mencapai netralitas (imkdn), guna mendobrak taklid dan pengultusan teori, sebagai penytapan jalan bagi kebenaran” ketika ada bukti lain yang menunjukkannya.
d. Mu’dradah/i’tirad (penyangkalan), yakni “tabyinu fasad al-kalam” (menjelaskan kesalahan statemen), atau “izhar fasadi mazhabin” (menampakkan kesalahan suatu pendapat), “sehingga jelaslah kesalahan apa yang salah dari tesis-tesis ini”.
e. Ibtal atau hadam (pembatalan, pengguguran, penumbangan, peruntuhan, penghancuran, dekonstruksi) Misalnya:

Di atas menunjukkan bahwa esensi falsifikasi menurut konsep Al-Ghazali adalah penyangkalan suatu tesis atau teori dengan cara menjelaskan segi-segi kelemahannya. Ia mengambil empat bentuk, yaitu: (a) mutalabah (penuntutan argumen atau bukti, sebagai bentuk terendah); (b) muqabalah (menghadapkan problem dengan problem dan argumen dengan argumen); (c) mu’aradah, radd, dan inkar (penentangan, pembantahan, atau penyangkalan dengan cara menjelaskan dan menunjukkan kelemahan dan kesalahan suatu tesis atau teori; dan (d) Ibtal atau hadam (pembatalan, penumbangan, atau dekonstruksi dengan macam-macam argumen dan pembuktian yang menyangkal), sebagai bentuk terberat. Falsifikasi dalam arti yang sebenarnya (ibtal atau hadam) adalah bentuk ketiga dan keempat. Bentuk pertama hanya menghasilkan skeptik ringan (sementara), di mana validitas tesis atau teori tersebut ditangguhkan sampai ada argumen pendukung yang dapat diterima. Bentuk kedua menghasilkan skeptik berat, dan mendudukkan tesis atau teori tersebut dalam status mumkin (mungkin benar dan mungkin salah), sampai ada bukti lain yang menyangkal atau mengukuhkannya.
Al-Ghazali melihat bahwa bangunan ilmu yang dihasilkan melalui proses inferensi sangat rapuh dan problematik. Dari segi objek, evidensi objek ilmu-ilmu faktual (dunia fisis, proses mental, metafisis dan Realitas Mutlak), tidak. sama dan tidak seterang yang dikehendaki. Apalagi objek ilmu praksis yang berupa nilai yang tidak mempunyai esensi pada dirinya. Dari segi subjek, akal tidak bisa mengetahui apa-apa tentang dunia fisis-sensual, kecuali melalui pancaindra yang hanya dapat menangkap objek pada aspek-aspek luarnya, seperti warna, bentuk, dan ukuran, padahal ketiganya hanyalah aksiden yang selalu dalam proses dan banyak faktor yang memengaruhinya. Tangkapan dan laporan pancaindera sendiri, meskipun pada dasarnya akurat, sering tidak akurat dan bervariasi karena faktor-faktor luar. Apalagi laporan itu sering mengalami distorsi pada tahap common sense dan estimasi sebelum sampai kepada akal. Dalam keadaan demikian, emosi-emosi berupa eros dan tenatos sering mencampuri dan kadang mendominasi akal, sehingga putusan akal sering tersusupi unsur-unsur subjektivitas yang merugikan objektivitas. Dari segi metode dan proses inferensi, ketiga metode yang paling andal, yaitu deduksi, induksi, dan analogi komparasi, mempunyai kelemahan berupa reduksi, eliminasi, dan manipulasi sebagian data.
Seperti terlihat dari uraian di muka, dalam deduksi atau silogisme, konklusi selalu sama dengan premis mayor, yakni ia tidak menghasilkan ilmu baru, kecuali dalam arti “mengingatkan” orang terhadap ilmu yang terkandung secara potensial dalam premis mayor, sehingga lahir secara aktual sebagai ilmu “baru”. Premis mayor pun hanya ilmu-ilmu a priori, ditambah ilmu-ilmu inferensial yang sebenarnya merupakan hasil induksi yang sering tidak sempurna, dan, bagi yang mengakui, ilmu-ilmu spontan yang diperoleh melalui wahyu atau ilham. Dengan deduksi, seperti pendapat Cohen, pertumbuhan ilmu berjalan lamban, meskipun keumum-mutlakan ilmu lebih terpelihara. Kalaupun deduksi hipotesis yang menuntut pembuktian verifikatif empirik bisa menolong, hal ini sering tersusupi subjektivitas yang mengarah pada “pengultusan” teori, dengan cara mengeliminasi, mereduksi, atau memanipulasi sebagian data khusus agar sesuai dengan teori. Akibatnya, yang ada bukan kesimpulan ilmiah yang objektif rasional,’ melainkan justifikasi hipotesis dan dogmatisasi teori yang dipaksakan untuk berlaku secara universal.
Fenomena “dogmatisasi” teori yang menjurus pada kemandegan pertumbuhan ilmu itu dikritik keras oleh Al-Ghazali, baik dalam fiqih-ushul fiqh dan kalam maupun dalam filsafat, ta’limiyah dan tasawuf. Karena itu, Al-Ghazali sangat menekankan falsifikasi terhadap sebagian tesis atau teori dalam kelima bidang tersebut. Pada abad 20, ini kemudian dikembangkan oleh Popper yang, secara berlebihan, menekankan prinsip falsifikasi dan hampir menolak verifikasi, sekaligus menolak induksi.
Menghindari reduksi dengan membiarkan konklusi partikular tanpa generalisasi universalisasi atau teori, juga membuat lambatnya pertumbuhan ilmu, dan ilmu hanya merupakan tumpukan konklusi partikularistik yang miskin teori. Cohen mencoba mengajukan solusi, dengan menjadikan hukum-hukum umum sebagai pertimbangan formal yang harus dibuktikan lebih dahulu kebenaran materialnya. Oleh karena itu, tidak memadai untuk melandasi hipotesis yang akan diuji, dan bahwa hipotesis tidak mesti lahir dari teori.
Induksi memang diperlukan dalam rangka pembentukan hukum-hukum universal, dan Al-Ghazali mengenal konsep universal dan general yang ditarik dari partikular-partikular. Akan tetapi, dalam proses universalisasi-generalisasi melalui induksi itu, is sangat hati-hati, sebab pernyataan universal atau general hasil induksi sempurna merupakan ilmu yang kebenarannya pasti, dan hasil induksi tidak sempurna merupakan ilmu yang, dalam kaitannya dengan partikular .yang belum diteliti, kebenarannya probable atau tentatif, yang bertumpu pada prinsip uniformitas dan konformitas. Konsep yang mengakui deduksi hipotetik dengan catatan bahwa suatu universal kehilangan universalitasnya bila ada satu fakta partikular saja yang menyalahi ini lebih optimistik ketimbang tesis Hume bahwa pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal, betapa pun besar jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan pernyataan umum yang tak terbatas, meskipun pernyataan umum itu bisa- dipakai secara psikologis. Apalagi tesis Topper yang menolak induksi secara total karena menolak juga pembenaran psikologis.
Probabilitas, tentabilitas, dan testabilitas di atas, disebabkan dasar pemasukan partikular-partikular lain yang belum diteliti ke dalam kategori universal tersebut hanya analogi di atas prinsip kausalitas, uniformitas, dan konformitas, yang secara logis-metafisis masih dipersoalkan. Keberlakuan universal itu terhadap partikular “asing” tersebut hanya bisa diakui sepanjang partikular “asing “ itu’ belum terbukti menyalahinya. Karena pada dasarnya, “bila terdapat seekor angsa hitam, tidak mungkin semua angsa putih”, suatu  pernyataan universal, betapa pun besarnya jumlah data partikular, hanya dapat dikoroborasikan secara verifikatif dengan analogi yang bertumpu pada prinsip kausalitas, konformitas, dan uniformitas, tetapi dapat dirontokkan sisi universalitasnya secara falsifikatif hanya dengan satu fakta saja yang menyalahi.
Metode analogi, yang validitas konklusinya bertumpu pada kesamaan ‘illat (causa efficiens atau terminus medius) antara dua partikular atau lebih (pokok dan cabang), dalam metafisika mustahil dilakukan. Sebab, ia tak dapat dioperasikan, kecuali dengan syarat yang bila terwujud, gugurlah efek partikular yang tampak tertentu itu ke dalam universal yang mencakup dunia fisis dan metafisis, sedangkan pereduksian partikular ke dalam universal sedemikian itu tidak berdasar. Dalam ilmu-ilmu mengenai dunia fisis dan proses mental, seperti psikologi, antropologi, dan sosiologi, pembentukan hukum atau teori itu juga sering mengesampingkan terminus medius dan mereduksi data atau sifat-sifat spesifik partikular, bahkan sering terjerumus, kedalam analogi sufistik yang kabur, seperti bertumpu pada kemiripan atau kesamaan dalam kausalitas, relasi, postur, ruang, dan waktu, yang semuanya aksidental, tidak menyentuh esensi dan sifat-sifat esensisal atau kausalitas yang lebih signifikan ‘bagi kausalitas-korelasi. Dalam analogi abstrak ini sering menyusup unsur-unsur subjektivitas (bias), seperti faktor religi, ideologi, sosial politik, dan nilai-nilai primordial, serta vested interest lain.
Fenomena keilmuan di atas bukan hanya menunjukkan bahwa ilmu harus dibangun di atas prinsip-prinsip ilmiah seperti di muka, dengan metode empirik, rasional, dan pada tahap akhir, metode intuitif (kasyfi) tetapi juga bahwa ia, sebagai produk, kebenarannya sebagian (yang konjektural) harus dipandang tentatif dan testable, yakni sudah dan selalu siap diuji kebenarannya, baik secara falsifikatif maupun verifikatif. Dengan demikian, kriteria atau demarkasi ilmu bukanlah sifat-observable, induktif, deduktif, atau analogiknya yang menunjukkan proses, dan bukan pula verifiabilitas-empiriknya saja secara sepihak, tapi rasionalitas, obyektivitas dan testabilitasnya, baik secara falsifikatif maupun verifikatif, yang menunjukkan keterujian validitas dan korespondensialitasnya terhadap objek.
Dengan prinsip testabilitas (nazari), kemajuan ilmu bukan hanya terletak pada tumpukan informasi atau teori begitu saja, tapi terutama pada prinsip-prinsip ilmiah, yaitu prinsip skeptik metodis dan anti taklid, objektif-faktual dan terbuka, rasional-kritis, komprehensif dan ikhlas, yang berkembang menjadi metode falsifikasi atau refutasi terhadap tesis, teori atau hukum yang lemah (marjuh), atau salah (fasid, khata’, bathil), diganti dengan tesis, teori atau, hukum yang kuat (rajih) atau benar (sahih, sawab, haqq), melalui prinsip “trial and errorr elimination”. Metode falsifikasi-refutasi ini oleh A1-Ghazali tidak hanya diterapkan terhadap teori ouang lain seperti ‘teologi, filsafat, ta’limiyyah dan tasawuf batini, tapi juga terhadap semua pengetahuan yang dimiliki sebelum melakukan tes-tes falsifikatif tersebut. Bahkan, terhadap ilmu-ilmu spontan, ketika hasil-hasil temuan “kasyf’ yang irasional hanyalah kepalsuan belaka, dan teks wahyu yang kedudukannya pasti, tetapi maknanya tampak irasional harus ditakwil.
Tentu saja, falsifikasi yang serampangan mengarah pada tindakan destruktif yang negatif dan berakibat fatal bagi perkembangan ilmu. Karena itu, agar kalsifikasi berjalan sehat dan mencapai sasaran sebagaimana mestinya, Al-Ghazali memberikan rambu-rambu yang konkret mengenai objek, tujuan, metode, dan proses, subjek dan status hasilnya.
Objek yang difalsifikasi harus jelas, yakni konkret batasan dan rumusan masalahnya, seperti “20 tesis filosof Yunani yang dirumuskan Aristoteles menurut riwayat Al-Farabi dan Ibn Sina”. Bila perlu, data objek disistematisasi lebih dahulu, supaya lebih jelas struktur dan esensinya, untuk kemudian dikenakan tes falsifikasi.
Tujuan atau sasaran falsifikasi bukan serta-merta mematikan suatu tesis atau teori saja. Ia bisa sekadar menjadikan teori itu “tertangguhkan”, sampai ada bukti yang dapat diterima atau diketahui hanya sekadar spekulasi atau tautologi, seperti dengan bentuk muhibalah. Bisa seka.dar menjadikannya “probable sebagaimana tesis atau teori lain, seperti dengan bentuk muqabalah, sampai ada bukti lain yang meinfalsifikasi atau memverifikasi. Bisa menggeser teori itu lalu digantikan teori lain yang lebih kuat atau lebih mendekati kebenaran secara tentatif atau konjektural seperti dengan bentuk mu’aradah. Bisa pula bertaraf “mematikan”, seperti dengan bentuk hadam/ibtail. Itu sebabnya dalam Tahdfilt, Al-Ghazali mengklasifikasikan tesis-tesis kaum filosof kuno ke dalam tiga kategori: hanya berbeda redaksi, yang tidak perlu ditolak, tidak berkaitan dengan dasar-dasar agama, yang dapat atau bahkan harus diterima, dan yang menyalahi dasar-dasar agama, yang tertolak, baik terkategori bid’ah (17 tesis) maupun kufur (3 tesis).
Falsifikasi dengan bentuk muqabalah memang, seperti kata Ibn Rusyd, tidak mencapai taraf “menumbangkan” (hadam), tapi sekadar menghasilkan skeptik, tidak memfalsifikasi atau memverifikasi salah satunya. Ini adalah falsifikasi yang tidak tuntas sebab falsifikasi yang tuntas hanyalah yang merobohkan dari sudut faktanya sendiri bukan menurut falsifikator. Falsifikasi yang menghasilkan skeptik inilah, menurutnya, mayoritas falsifikasi Al-Ghazali dalam Tahkfut. Ibn Rusyd memang “memaksa” Al-Ghazali untuk memulai dengan verifikasi (tagrfr al-haqq) sebelum memulai dengan sesuatu yang menimbulkan kebingungan atau skeptik pada peneliti, agar peneliti tidak mati sebelum menemukan kitab verifikatifnya, atau ia sendiri mati sebelum sempat menyusun kitab verifikatif yang dijanjikannya.
Ibn Rusyd kurang menyadari bahwa metode mendahulukan falsifikasi,sebelum verifikasi merupakan bagian integral dari filsafat ilmu Al-Ghazali dengan prinsip skeptik metodisnya. Dan, al-Ghazali memang tidak bermaksud “membunuh” filsafat, tetapi seperti ditegaskannya sendiri, ia memerangi taqlid dan pengultusan kepada para filosof kuno, dan menjadikan ilmu mereka testable falsifiable yang kebenarannya tentatif atau probable. Bagi Al-Ghazali, bila tesis rasional dihadapkan dengan antitesis rasional yang seimbang, akan dihasilkan sintesis yang berupa “imkan” (kontingensi), yang bisa dikolaborasikan salah satunya dengan verifikasi empirik-sensual, empirik intuitif (kasyf) atau iman berdasarkan verifikasi dari sisi lain.
Bila objek berhasil difalsifikasi, ia tidak lulus testing, baik yang, dalam masalah keagamaan, terkategori “bid’ah”, yaitu “tidak boleh dipercayai”, maupun yang terkategori “kufur”, yaitu “tidak sah dipercayai. Sebaliknya, bila ia gagal difalsifikasi, yang dari sudut rasionalitasnya tidak irasional, is lulus tes falsifikatif, baik yang wajib secara rasioal maupun yang harus ditempatkan dalam kawasan imkan (kontingensi), sampai terbukti benar-salahnya secara verifikatif, baik dengan bukti empirik sensual bila objek bersifat sensual, maupun bukti empirik intuitif (musydhadah/kasyf), atau dengan beriman kepada Nabi.
Al-Ghazali tidak mengontradiksikan falsifikasi dengan verifikasi, tapi menjadikan keduanya saling melengkapi dan harus ada dalam kerangka mencapai kebenaran demonstratif yang berangkat dari prinsip skeptik metodis dan prinsip-prinsip ilmiah lain. Falsifikasi tanpa verifikasi mengandung unsur polemik dan penyangkalan (mujddalah dan mu’anadah) terhadap kebenaran. Ia merupakan tindakan destruktif dan penyakit yang tidak ada obatnya, yang menjurus pada robohnya bangunan ilmu, seperti skeptisisme absolut dari kaum sofis. Sebaliknya, verifikasi tanpa falsifikasi mengarah pada taqlid dan dogmatisasi teori yang ujungnya sama, yaitu kemandegan perkembangan ilmu dan kebangkrutan intelektual seperti dari Ta’limiyyah.. Keseimbangan falsifikasi dan verifikasi terlihat dari semua kitab Al-Ghazali, yang pada umumnya mengandung kedua aspek tersebut dan disketsakan dalam al-Munqiz.
Namun demikian, dapat dibedakan tujuh tipe kitab-kitabnya. Yaitu kitab-kitab epistemologi sebagai “neraca ilmu” atau “timbangan yang lurus” seperti ; Mi’yar, Mahk, al-Qistas, Qanun al-Ta’wil, Syifa’, al-Galil, al-Mustasfa dan Faisal al-Tariqah; yang bisa disebut kitab falsifikasi; seperti Tahafut; yang lebih menekankan falsifikasi seperti Fada’ih; yang deskriptif, seperti Maqasid; yang lebih menekankan verifikasi, seperti al-Iqtisad dan Mizan; yang bisa disebut kitab verifikasi, seperti al-Mankhul dan al-Risalah al-Qudsiyyah; dan kitab-kitab demonstratif-verifikatif, seperti Ihya’, Misykat, al-Maqsad al Asna, Jawahir Al-Quran, al-Arba’in, dan Iljam al-’Awam.
Dalam al-Iqtisad, setelah menjelaskan judul kitab dan daftar isinya dalam “pengantar “, ia memasuki “mukaddimah” yang berisi empat pokok masalah, yaitu urgensi kalam, fungsinya sebagai “obat” bagi kalangan tertentu, yang hukum mempelajarinya fardu kifayah, dan epistemologi yang dipakai dalam penetapan akidah, yaitu silogisme. Kemudian, membahas isi pokok, yaitu Zat, Sifat dan Perbuatan Allah (kutub I-III), serta penetapan kenabian Muhammad SAW.
Menurutnya, dalam masalah teologi, semua mukallaf wajib mempunyai tasdiq tadzim (pembenaran yang pasti) berupa iman, dan membersihkan hatinya dari skeptik. Kemudian, mengajak orang lain pada kebenaran, dengan argumen-argumen yang rasional. Dengan demikian, ada dua tugas teologi. Pertama, memfalsifikasi paham-paham yang salah,, yaitu semua bentuk tafrit (kurang) seperti antropomorfisme, dan ifrat (lebih) seperti, konsep penafian sifat-sifat Tuhan. Kedua, memverifikasi yang benar, yaitu poros tengah (iqtisad) sebagai “jalan lurus”, baik dalam epistemologinya yang mengombinasikan akal dan naql dengan prinsip tidak ada kontradiksis antara keduanya, maupun dalam ontologinya.
Al-Ghazali mengakui bahwa kepastian kebenaran ilmu-ilmu faktual hanya bisa dicapai dengan verifikasi empirik, sebab pada dasarnya “orang yang tidak melakukan percobaan tidak akan mengetahui” (man lam, yujarrib lam ya’rij). Akan tetapi, proposisi dan informasi mengenai dunia metafisis-teologis tidak bisa diverifikasi secara empirik-sensual, melainkan sebatas verifikasi formal-rasional. Bagi yang belum puas, masih ada jalan lain, yaitu verifikasi empirik intuitif yang bisa menghasilkan kasyf/musyahadah. A1-Ghazali menempuh verifikasi model ini selama kurang lebih 10 tahun.
Menurutnya, pengakuan berdasarkan informasi dan observasi terhadap fenomenaa orang yang mengalami musyahadah dengan prasangka baik adalah iman. Verifikasi (tahgiq) dengan argumen-argumen rasional sampai batas mengakui secara pasti kemungkinan terjadinya adalah ilmu; dan mengalami langsung keadaan tersebut adalah zauq. Verifikasi empirik intuitif ini dari sudut hasilnya memang bersifat individual. Akan tetapi, untuk menerobos jalan buntu dalam memverifikasi masalah metafisis-teologis, is merupakan solusi akhir. Hal ini karena memang “orang yang tidak dikaruniai sesuatu darinya (kasyf) dengan zauq, tidak akan menangkap esensi kenabian, kecuali sekadar nama.



Comments

Popular posts from this blog

Parameter dan Pengujian kebenaran Ilmu Imam Al-Ghozali

Parameter dan Pengujian kebenaran Ilmu Jika menurut Al-Ghozali, segala sesuatu mempunyai esensi yang,   selain esensi Allah dapat diketahui dengan epistemologi di atas sedangkan ilmu adalah hasil proses kegiatan epistemologi terseut berupa proposisi atau copy objek pada mental subjek yang sesuai dengan realitas objek sendiri, malahnya adalah apa parameter kebenaran ilmu itu dan bagaimana cara pengujiannya? yang lebih fundemental dalah apa kebenaran itu? baca juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/01/pemikiran-pendidikan-islam-gagasan_24.html masalah kebenaran ( truth ) memang merupakan puncak kajian epistemplohi yang bermuara pada metafisika. Bahkan ia merupakan pokok masalah filsafat pengetahuan, yang justru di cari dan dicoba pemecahannya oleh Ghozali dengn epistemologi dan proses perjalanan hidupnya seperti di muka. Setidaknya, tiga aspek permasalahan dikaji, yaitu segi esensi, parameter, dan cara pengujian kebenaran baca juga:  https://kopiirengad...

Tips memimpin diskusi

  Lihat juga:  https://kopiirengadrees.blogspot.com/2019/02/metode-diskusi.html   Tips memimpin diskusi. Didialam diskusi tentu ada seorang yang memimpin agar diskusi yang dilakukan berjalan dengan tertib sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karenanya seorang pemimpin sangat berpengaruh besar dalam keberhasilan sebuah diskusi. Di bawah ini ada beberapa tips dalam memimpin sebuah diskusi yang dapat kita implementasikan ketika kita ditujuk oleh guru,pembibing atau siapapaun untuk menjadi pemimpin/ketua. 1.     Mengungkapkan kembali apa yang dikatakan oleh seorang siswa sehingga siswa tersebut meraasa bahwa pertanyaan atau komentarnya dipahami dan siswa lain dapat mendengar ringkasan apa yang telah ditanyakan. 2.     Mengecek pemahaman guru tentang apa yang dikatakan siswa atau meminta siswa untuk menjelaskan apa yang mereka katakan. 3.     Memberikan pujian atau komentar yang lebih mencerahkan 4...